Bab 9

3.2K 179 4
                                    

Tiga setengah tahun yang lalu

"Aku udah enggak mau jadi pacar kamu lagi..."

Aku mahasiswa tingkat akhir yang sedang disibukkan oleh skripsi oleh karena itu aku dan Satya sangat jarang bertemu. Sebetulnya pertemuan kami sudah semakin jarang sejak Satya lulus dan bekerja, tapi kali ini jauh lebih parah. Maka tak terkatakan betapa senangnya aku saat Satya bilang akan ke Depok untuk menemuiku. Tapi apa coba yang aku dapatkan?

"Ma...maksudnya?" tenggorakanku terasa tercekat.

Satya menggenggam kedua tanganku. Aku diam, tak mengerti.

"Maaf, aku udah enggak mau jadi pacar kamu lagi." Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya dan meletakkan benda itu di telapak tanganku. "Aku mau jadi suami kamu."

Cincin.

Aku menatap benda itu nanar. Kedua mataku mulai dibanjiri air mata.

"Will you marry me?"

Aku langsung mengalungkan kedua lengan di leher Satya. Sebagian karena merasa ingin menyentuhnya, sebagian lagi karena butuh pegangan mengingat kedua kakiku sudah berubah menjadi agar-agar. Isakanku teredam di dada Satya. Dia membelai pundakku pelan, mencoba menenangkan. Aku tidak membalas, mengiyakan, ataupun mengangguk. Tapi kami berdua tahu apa yang menjadi jawabanku.

*

"Seriusan lo mau nikah?" Rayna yang kutelepon setelah Satya pulang, langsung mendatangi kosanku.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Terus gimana kerjaan yang mau kita apply?"

"Gue sama Satya sepakat kalau gue enggak akan kerja dulu karena..."

"Wahh..." Potong Rayna. "Pak Randy bisa nangis darah kalau tahu mahasiswa kesayangannya memilih untuk tidak berkarir."

Aku cuma nyengir. Tak peduli apa pendapat Pak Randy karena sedang terlalu bahagia.

"Lagian lo berdua kan masih muda banget. Ngapain sih nikah buru-buru?"

"When you realize you want to spend the rest of your life with somebody, you want the rest of your life to start as soon as possible." Jawabku mengutip quote yang entah kudengar dari mana.

"Halah prett..." Dengus Rayna.

Aku terkikik geli.

"Look, you were one of the brightest fellow student I've ever known, and you'll be a great auditor, and I pity all that KAP because they will never have you thanks to that Pulgoso, but still...you're my best friend and I'm so happy for you." Kata Rayna sambil memelukku.

Aku betul-betul terharu dengan kata-katanya.

*

"Saya rasa Aini masih terlalu muda..."

Karena aku diwisuda hari ini, maka Om Danu dan Tante Wita datang ke Depok untuk menghadirinya. Satya, yang juga datang sebagai pendamping wisudaku, memanfaatkan kesempatan ini untuk memintaku pada Om dan Tante.

"Kami berdua memang masih muda, Om, tapi saya rasa kami sudah sama-sama dewasa." Kata Satya mantap. "Saya berjanji akan selalu mencintai dan membahagiakan Aini."

Om Danu mendesah. Aku tahu ini berat untuknya. Om dan Tanteku memang ingin aku segera menikah namun bukan berarti langsung menikah segera setelah diwisuda. Mereka ingin aku merasakan dunia kerja dulu selama satu atau dua tahun. Terlebih lagi, mereka sangat hati-hati dan pilih-pilih untuk pasanganku. Khawatir mengecewakan kedua orangtua kandungku kalau sampai aku menikah dengan orang yang salah.

"Kamu sendiri bagaimana?" Akhirnya Om Danu bertanya padaku.

"Aini sudah setuju menikah dengan Satya, Om. Kami berdua saling mencintai, karena itu Aini harap Om dan Tante merestui." Jawabku takut-takut.

"Baiklah..." Jawab Om Danu setelah terdiam cukup lama. "Kami tunggu kedatangan kedua orangtuamu di rumah kami untuk lamaran resmi." Jawaban Om Danu akhirnya bisa membuatku menarik nafas lega.

*

Present day

Sekali lagi aku sesenggukan di pelukan Tania.

Kali ini dia sudah berada di sampingku sejak semalam. Karena tahu pasti akan menangis habis-habisan hari ini, jadi sebelumnya aku sudah meminta ditemani.

Hari ini hari jadi pernikahanku.

Harusnya hari ini kami menikah selama tiga tahun.

Harusnya kami merayakannya berdua.

Dengan makan malam romantis di restoran mahal, atau

Dengan second honeymoon, atau

Bahkan hanya dengan bermesraan di rumah saja.

Tapi tentu saja tidak. Aku memperingati hari ini di apartemenku dengan menangis meraung-raung. Bagaimana bisa aku menikahi pria yang memberikan beragam janji manis sebelum menikahiku tapi menorehkan duka teramat dalam sebelum mencampakkanku. Bagaimana bisa aku sebodoh itu?!

"Dulu dia bilang bakal membahagiakan gue sampai kapanpun. Bahagia apanya. Yang dia lakukan cuma ngancurin gue!"

Tania masih mengelus-elus bahuku, berusaha menenangkanku dari banjir air mata ini.

"Nangisnya satu hari ini aja, ya..." Kata Tania sambil menghapus air mataku dengan jemarinya saat aku sudah mulai tenang.

Kutatap dirinya tak mengerti.

"Iya, nangisnya cukup satu hari ini aja. Puas-puasin deh. Tapi besok senyum lagi, ya."

"Gue ga punya tenaga buat senyum. Gue cuma punya banyak stok air mata." Jawabku ketus.

"Bukannya dulu lo bilang ga mau nangisin mereka lagi?"

"Itu sebelum gue ngerasain wedding anniversary di saat menjanda." Elakku. "Gara-gara tanggal keramat ini, semua rencana move on jadi buyar."

Tania menggenggam tanganku. "Ni, nanti, enggak tahu kapan, pasti akan ada seseorang yang bakal mencintai dan menyayangi lo setulus hati. Pasti."

Aku cuma diam. Seseorang yang baru? Aku memang mengharapkan kehadirannya. Tapi itu jauh di masa depan. Kehadirannya masih terasa seperti angan-angan. Mana mungkin dia bisa menghiburku sekarang.

"Laki-laki itu datangnya masih lama, Tan." Jawabku.

"We'll never know."Jawab Tania lagi. "Jadi untuk seseorang itu, paling ga lo harus menghargai dia dengan enggak menangisi seseorang dari masa lalu yang ga pantas menerimanya."

Well... that's truer than true. Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Heh! Gue bilang sekarang tuh waktunya nangis! Kenapa lo malah senyum-senyum ga jelas?!"

Bukannya kembali menangis aku malah terkikik geli.

Tania benar. Nanti akan ada orang lain. Orang yang bisa mencintaiku dengan setulus hati. Orang yang saat menyakitiku hanya sejauh dengan meletakkan handuk kotor di tempat tidur atau meninggalkan jejak tanah di lantai teras yang baru disapu, bukan dengan menyelingkuhiku bersama wanita lain. Tapi aku baru bisa bertemu dia setelah sepenuhnya move on. Untuk orang itu, hanya untuk orang itu, aku akan berusaha lebih baik lagi.

*

"Saya tidak menyangka. Bisa-bisanya saya dibodohi orang yang sangat saya cintai..." Pria yang lebih muda itu mendesah kalah.

"Saya menyesal harus menjadi orang yang menyampaikan hal ini, tapi..." Si lelaki yang lebih tua terdiam sebentar. Terdengar kresek-kresek di seberang sana. Ini memang bukan panggilan telepon paling nyaman yang pernah dilakukannya.

"...saya bahkan rela melakukan apapun untuk dia."

"Saya harus segera pergi." Kata pria yang lebih tua itu. "Silahkan hubungi saya kalau ada yang ingin ditanyakan lagi.

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang