Bab 21

3.2K 174 7
                                    

Satu tahun yang lalu

"Selamat ya, Bu, sudah enam minggu."

Di antara empat orang yang berada di ruangan itu, Tante Wita adalah yang paling nampak berbahagia. Dokter Sugeng dan Suster Tri memang sedang tersenyum namun ekspresi mereka terlihat biasa saja. Keduanya pasti sudah terbiasa menyampaikan ratusan kabar bahagia semacam ini pada para ibu yang datang. Tapi aku...wajahku datar. Ini bukan wajah seorang ibu yang mendapatkan kabar kehamilan pertamanya setelah menunggu-nunggu kabar serupa selama dua tahun.

Sudah beberapa hari ini aku mengalami mual-mual di pagi hari. Tante Wita adalah yang paling pertama curiga dan menanyakan jadwal haidku. Setelah tak bersama Satya, aku memang tak terlalu memperhatikan yang satu itu. Butuh mengingat-ingat selama beberapa waktu sampai akhirnya tersadar bahwa jadwalku memang sudah terlambat beberapa minggu.

Tante Wita berinisiatif membelikanku test pack tapi aku menolak memakainya. Bukan karena tak bisa menerima kenyataan, tapi karena aku tak yakin dengan perasaanku mengenai hasilnya. Jika yang muncul adalah garis satu, aku pasti akan merasa sedih seperti biasa. Tapi jika garis dua, aku tak tahu apakah bisa merasa bahagia, terutama jika mengingat kondisi rumahtanggaku yang seperti sekarang ini.

Tante Wita akhirnya tak tahan dan memaksaku ke obgyn. Hasilnya seperti yang diduga. Dia menoleh sembari meremas tanganku dan tersenyum senang. Wajahnya berbinar. Tapi binar dan senyum itu langsung musnah seketika setelah memperhatikan ekspresiku. Perlahan sinar matanya berganti dengan kesedihan. Aku bisa melihat bahwa Tante Wita berusaha menahan diri dan memilih berbicara kepada dokter mengenai kondisiku, apa saja yang boleh dan tidak boleh kukonsumsi, vitamin dan obat-obatan, dan lain sebagainya.

Tante Wita juga yang paling bersemangat saat aku di USG. Aku bisa mengerti, bagaimanapun ini cucu pertamanya. Aku hanya tak bisa mengerti diriku sendiri, mengingat ini anak pertamaku. Akan tetapi semuanya mulai berubah saat melihat janinku untuk pertama kalinya di layar petak kecil itu. Aku menangis saat pertama kali mendengar detak jantungnya. Ini bayiku. Siapa yang peduli kalau setengah tubuhnya berasal dari laki-laki paling brengsek di dunia, tapi ini bayiku. Aku akan merawatnya, menyayanginya, mencintainya. Dia akan menjadi orang paling penting dalam hidupku.

Dia pula yang berhasil mendorongku untuk meraih hidupku lagi. Aku keluar dari rumah Wildan dan tinggal di apartemen yang kupilih dan kudandani sendiri. Ini akan menjadi rumah kami. Sarang kami. Tempat kami menghabiskan banyak waktu bersama. Tempat dia mungkin akan tumbuh besar hingga pada akhirnya bisa melangkah dan menghadapi dunianya sendiri.

Tante Wita sangat getol merawatku. Dia memperhatikan asupan giziku, mengawasi istirahatku, kami berdua juga sangat memperhatikan sisi psikologisku. Aku tak boleh stress. Tak mau. Aku betul-betul berusaha keras untuk tidak memikirkan hancurnya hidupku bersama Satya. Itu bukan masalah besar. Aku akan melakukan semuanya demi bayi ini.

Sampai akhirnya aku mulai merasa tidak baik-baik saja. Beberapa hari terakhir, adakalanya muncul flek di celana dalamku yang sering kali disertai dengan nyeri dan kram perut. Kami sudah berencana untuk pergi ke dokter keesokan harinya. Namun malam itu bukan cuma ada flek, aku juga mengeluarkan gumpalan darah yang lebih pekat sehingga Tante Wita melarikanku ke dokter. Terlambat. Dokter memutuskan aku harus dikuret.

Maka berakhir sudah. Bayi ini, bayiku, sebagaimana tiba-tiba dia datang, secepat itu juga dia pergi.

*

Present day

Aku menangis tersedu-sedu sendirian di atas ranjang, di apartemenku yang sudah mulai gelap karena cahaya matahari perlahan menghilang. Harusnya aku menyalakan lampu tapi tangisan ini telah membuatku malas untuk bangkit. Lagipula kenapa harus peduli. Biarlah gelap, toh hidupku juga segelap ini.

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang