Ternyata tekadku tak sebulat itu. Buktinya, semuanya luruh saat melihat Satya di lobi apartemen pagi itu. Saat masih di kampung, aku memang bermaksud memberitahu Satya segera setelah kami bertemu lagi. Tapi kupikir itu masih akhir pekan berikutnya karena dia toh harus bekerja jadi aku masih punya waktu seminggu untuk menyiapkan diri. Siapa yang menyangka bahwa wajah pertama yang kulihat setelah turun dari lift pada Senin pagi adalah wajahnya.
"Kamu di sini?" Tanyaku setelah mengatasi kekagetanku.
"Kan udah janji kalau kita ketemu setelah kamu balik ke Depok."
"Emangnya ga kerja?"
"Sudah minta cuti sama Mas Ridho." Jawabnya santai.
"Apa? Kamu kan kerja belum setahun."
"Udah aku bilang kalo aku bakal mendekati kamu terus. Pendekatan butuh usaha, Sayang. Jadi aku bakal memanfaatkan semua sumber daya yang aku punya, termasuk nepotisme dengan Bos."
Aku mendengus. "Kamu ga malu ngomong kayak gitu?" Satya yang aku kenal sangat menjunjung tinggi profesionalisme.
"Semuanya adil dalam cinta dan perang. Lagipula Bos yang nyuruh kok. Kata dia, lebih baik aku di sini sama kamu daripada di kantor tapi ga bisa ngapa-ngapain."
Ya ampun terserah deh. Capek juga meladeni dia.
"Kita berangkat sekarang?" Tanyanya setelah aku melangkah.
"Aku biasa jalan kaki, Mas." Tolakku saat Satya hendak mengajakku ke parkiran.
"Nanti kamu capek, Sayang. Mending naik mobil sama aku."
Ya ampun itu terlalu lebay. Aku bahkan sampai memutar bola mata ke atas. Dari dulu juga aku selalu jalan dari kosan saat hendak ke kampus. Bahkan dia sendiri juga sering menemaniku.
"Dulu kan aku belum punya mobil, Ni, jadi cuma bisa ajak kamu jalan kaki. Kalo sekarang kan udah punya jadi ngapain juga capek-capek jalan."
"Aku tetap mau jalan aja." Aku berkeras. "Mari, Pak Sapto..." Kataku pada satpam di depan pintu yang sudah cukup akrab denganku.
Tiba-tiba terasa ada sesuatu yang asing di sela-sela jemariku. Seseorang sedang menggandengku. "Mari juga, Pak Sapto." Kata Satya sok akrab. "Perkenalkan saya Satya pacarnya Aini."
"Pacar?!" Tanyaku sengit saat kami sedang menelusuri jalan menuju ke kampus. Akhirnya Satya memutuskan ikut berjalan kaki denganku. Dan hingga saat itu pun dia belum melepaskan genggamannya.
"Jadi kamu mau aku memperkenalkan diri sebagai apa? Tunangan? Suami? Aku udah pernah menjalani tiga-tiganya sih jadi ga keberatan dipanggil yang mana pun."
"Apa pentingnya kamu memperkenalkan diri sama satpam apartemenku?" Ya ampun kalau ingat bagaimana ekspresi Pak Sapto tadi, aku betul-betul malu.
"Penting dong, Sayang. Kan biar dia ga bertanya-tanya kenapa aku sering datang."
Aku cuma mendengus sembari berusaha melepaskan genggaman tangannya. Terlalu erat. Padahal sudah kucoba berkali-kali tapi Satya malah semakin mengeratkannya lagi.
"Aku kan udah bilang, aku ga bakalan ngelepasin kamu lagi."
Aku mendengus. Tapi tanpa sadar aku juga membalas genggaman tangan itu
*
Ini seperti mengulang masa-masa pacaran kami. Setiap hari Satya memarkirkan mobilnya di apartemenku lalu menunggu di lobi atau terkadang naik ke atas kalau dia merasa aku terlalu lama. Tentu saja dia tak masuk ke dalam, pertemuan kami terjadi hanya sebatas di depan pintu. Saking rutinnya urusan jemput-menjemput ini, sekarang Satya bahkan sudah lumayan akrab dengan Pak Sapto.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...