Bab 14

3.6K 207 4
                                    

Lucu sekali bagaimana semuanya seperti kembali ke awal lagi.

Rasanya seperti deja vu. Di sinilah aku sekarang. Sekali lagi mengusir Wildan dari kamarnya serta memaksa Tante dan Om buru-buru ke sini begitu mendengar berita itu. Bedanya, kali ini aku tak menangis. Untuk apa? Sekarang akulah penjahatnya.

"Jangan menyalahkan diri kamu sendiri." Satya mengirim pesan padaku lewat nomor barunya setelah permintaannya untuk bertemu kutolak karena aku belum siap. Pesan pertama kami setelah hampir setahun.

Perasaanku sama sekali tidak membaik setelah membaca pesan itu. Aku tahu Tania dan Ardito adalah otaknya. Tapi akulah yang menjadi boneka mereka, meski tanpa kusadari. Karena tindakan yang kulakukanlah maka hidup semua orang berubah. Hidupku, hidup Satya, hidup Rayna. Aku memang kehilangan rumah tanggaku, tapi Satya dan Rayna kehilangan seluruh aspek dalam hidup mereka. Asmara, karir, kehidupan sosial. Aku tak tahu bagaimana selama ini mereka hidup dengan sanksi sosial dari orang-orang sekitar untuk sesuatu yang bahkan tidak pernah mereka lakukan. Belum lagi keluarga kami semua yang turut terkena dampaknya. Emak adalah salah satu contohnya.

Dan juga ada rahasia yang masih kututup rapat-rapat...

Kuraih amplop cokelat yang berada di atas nakas dekat tempat tidur. Amplop ini diserahkan Satya pada Wildan saat dia datang lagi kemarin.

"Kata Mas Satya, Kakak pasti mau menyelidiki ini sendiri juga, supaya betul-betul yakin mana yang benar..." Tampaknya Wildan telah kembali memanggil Satya dengan panggilan 'Mas' setelah kemarin selalu menyebutnya Bang Sat.

Kubuka amplop cokelat berukuran A4 itu. Aku sudah pernah melihat isinya kemarin saat Pak Tiyok menyodorkan bukti-bukti ini di hadapan Tania. Satya benar. Aku memang ingin menyelidikinya sendiri dulu. Aku harus betul-betul yakin. Dan saat sudah yakin, maka giliranku untuk memohon maaf kepada orang-orang yang kusakiti.

"Tante, Aini mau balik ke apartemen," kataku akhirnya.

Tiga hari sudah cukup untuk bergelimang dalam rasa mengasihani diri sendiri. Sekarang saatnya aku bangkit.

Kemarin, saat Wildan datang ke apartemenku untuk mengambil pakaian dan perlengkapan lainnya yang kubutuhkan, dia sempat singgah ke apartemen Tania. Wildan memencet bel berkali-kali tapi pintu itu tak dibuka. Dia juga sempat bertanya pada pihak pengelola. Katanya penghuni apartemen itu sudah pindah sehari yang lalu. Berarti Tania langsung mengosongkan apartemennya setelah pulang dari kafe. Wildan juga mengecek seluruh penjuru apartemenku untuk memastikan tak ada yang aneh-aneh. Tak lupa dia mengganti kode pintu dengan tanggal ulang tahunnya sendiri (iya, adikku agak narsis memang).

"Kamu yakin?"

"Om dan Tante pulang saja, Aini gapapa. Maaf sudah merepotkan Om dan Tante lagi, juga Wildan."

"Bagaimana kalau Tania..."

Aku cuma mengangkat bahu. Untuk apa aku masih takut dengannya. Dia memang menghancurkan rumah tanggaku dengan akal liciknya, tapi dia juga bukan psikopat yang melakukan pembunuhan berantai.

"Jangan menghukum diri kamu sendiri ya, Ni. Semua orang jika ada di posisi kamu pasti akan melakukan hal yang sama."

"Aini memang enggak sepenuhnya salah, Tan. Tapi tetap punya kontribusi juga."

Kalau saja aku mendengarkan penjelasan Satya. Kalau saja aku tidak memutus komunikasi dengan mereka berdua. Kalau saja kami bisa duduk bertiga dengan kepala dingin. Kalau...kalau...

"Sekarang Aini akan berusaha memperbaiki semuanya." Tekadku.

Akhirnya aku membuka amplop cokelat itu dan meneliti isinya satu per satu. Ada bukti rekaman CCTV pertemuan Satya dan Rayna dengan Ardito di hotel yang menunjukkan bahwa mereka tidak cuma berdua; chat antara Tania dan Ardito membicarakan rencana mereka; foto-foto Tania berjoget dan bermesraan dengan beberapa wanita di sebuah queer bar; rekaman percakapan Pak Tiyok dan Teddy; bukti pembelian obat bius, dan lain sebagainya. Masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya tentang kejadian di hotel itu. Tapi melihat bukti pembelian obat bius itu, sedikit banyak aku bisa menebak apa yang terjadi.

Ardito meneleponku tadi malam. Dia minta maaf atas semua perbuatannya. Entahlah, aku tak tahu apakah permintaan maafnya betul-betul tulus atau hanya karena dia takut dipenjara. Satya memang belum mengambil tindakan hukum apapun. Aku juga demikian. Tapi tak ada alasan tak memanfaatkan panggilan telepon ini untuk menginterogasi pria itu.

"Gue kenal Tania udah lumayan lama. Dia temennya temen gue jadi kami sebetulnya ga seakrab itu. Suatu saat gue lagi nongkrong sama temen gue itu dan dia ikut gabung. Karena kami lagi cerita-cerita tentang kampus, dia nyeletuk kalo dia pernah ketemu lo. Gue juga cerita sekilas kalo gue ga suka sama suami lo. Dia menimpali kalo dia benci banget sama lo karena lo pernah ngerebut mantannya."

"Dan lo percaya gitu aja? Jadi kalian memutuskan untuk menghancurkan kami berdua, gitu?"

"Kami sepakat buat balas dendam dengan cara ngebuat kalian saling curiga dan bertengkar. Harapan gue, dengan kalian bertengkar Satya bisa ga fokus kerja. Gue udah muak dia dapat pujian terus. Harapan Tania, dengan kalian berdua ga akur, lo bisa ngerasain apa yang dia rasain dulu. Jadilah kejadian yang di mal waktu itu."

"Mal?" Tanyaku tak mengerti.

"Bukannya lo pernah dua kali ngeliat Satya dan Rayna jalan berdua di mal?"

"Itu...itu kalian yang atur?" Aku benar-benar tak menyangka.

"Iya. Gue yang bertanggung jawab bawa Satya dan Rayna ke situ sementara lo jadi urusan Tania. Ternyata setelah itu kalian masih baik-baik aja."

"Makanya kalian rencanain kejadian di hotel?" Tanyaku penuh luka. Aku masih mengingat dengan jelas kejadian menyakitkan yang sudah menghancurkan hidupku itu.

"Maaf, Ni. Gue betul-betul minta maaf. Rencananya bakal sama seperti yang kemaren-kemaren. Gue bawa mereka ke situ dan Tania bakal motoin mereka terus dikirim ke lo. Tapi ternyata dia bawa rencana obat bius itu. It sounds too criminal. Akhirnya gue pergi dan enggak mau ikut campur lagi."

"Tapi lo tetap menghancurkan hidup kami berdua, Dit! Juga hidup Rayna."

"Gue betul-betul mohon maaf, Ni. Gue tahu gue betul-betul ga pantes dan ga tahu malu tapi gue betul-betul menyesal sekarang."

Bagaimana bisa ketidaksukaan pada saingan bisa membuat seseorang tega menghancurkan hidup orang lain? Bagaimana bisa cinta yang harusnya positif dan membahagiakan malah membawa kesakitan pada orang yang katanya dia cintai?

"Setelah gue pikir-pikir lagi, mungkin sebenarnya dia udah rencanain plot obat bius itu dari awal. Makanya dia santai-santai aja saat dua kali rencana kami gagal. Mungkin itu cuma appetizer. Kejadian di hotel adalah main course-nya."

Baiklah, sepertinya aku harus menarik kata-kataku kemarin soal menganggap Tania bukan psikopat.

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang