"Kenapa lo senyum-senyum sendiri ngeliat gue?" Rayna mengerutkan keningnya heran.
"Udah lama kita ga nongkrong bareng di kafe kayak gini. I miss us..."
"Gila, merinding gue denger lo ngomong kayak begitu. Lo belum ketularan si Setania kan?"
"Sembarangan! Gue masih straight, tahu! Lagian ya, Rain, kalo pun gue memutuskan untuk berubah orientasi, gue tetap ga bakalan selera sama lo. Bisa dibilang standar gue tinggi. Minimal kayak Kendall Jenner lah..."
"Lo ga usah ngomong selera tinggi deh sama gue. Secara lo jatuh cinta terkewer-kewer sama si Pulgoso." Protes Rayna. "Tapi...gue penasaran deh, Ni. Lo pernah ga sih curiga kalo si Setania itu cinta sama lo bukan sebagai teman biasa?"
"Enggak pernah sekali pun. Tapi mungkin gue yang kurang peka kali ya. Dia memang sering peluk-peluk gue, tapi lo juga sama. Dia juga sering manggil gue 'Baby,' tapi Zainab dan yang lainnya juga sering manggil gue 'Cinta.' Dan selain pelukan, dia ga pernah bikin tindakan yang bikin gue curiga."
"Iya sih, dari dulu kan tingkat kepekaan lo di bawah nol persen. Buktinya, kalo gue ga ngomong, lo ga bakal sadar kalo Satya yang udah jungkir balik kayak gitu sebetulnya naksir lo. Apalagi si Setania yang emang betul-betul nyaru sebagai sahabat."
Memang ada beberapa sikap Tania yang harusnya mencurigakan tapi tak pernah menggiringku ke arah sana. Ketika dia memutuskan menyewa apartemen yang sama denganku, misalnya. Kukira dia melakukannya karena mengkhawatirkan diriku, sahabatnya ini. Mana aku tahu kalau ternyata itu adalah tindakan impulsif dari seseorang yang sedang jatuh cinta untuk selalu berada di dekat orang yang dicintainya. Atau saat dia bersikap posesif tiap ada laki-laki yang mendekatiku. Awalnya kukira dia cuma sahabat yang berusaha melindungiku dari patah hati lainnya. Katanya mereka semua player. Tapi ada beberapa cowok yang menurutku baik tapi tetap dijutekin. Farhan yang dulu mengajakku kenalan di kantin, misalnya.
"Oh my God!" Tanpa kusadari aku berteriak kencang sampai-sampai Rayna yang sedang menikmati minumannya jadi tersedak.
"Kenapa?" Tanyanya bingung.
"Pernah...pernah ada cowok, Farhan, yang deketin gue di kampus..."
"Lo jadian sama cowok lain?! Wahhh... kali ini Satya bisa betul-betul patah hati..."
"It's not like that!" Jawabku sebal. "Cowok itu..."
"Farhan..." Sambung Rayna.
"Iya, Farhan... dia baik dan ramah..."
"Wahh... bisa makan hati si Pulgoso kalo sampai tahu dia punya rival."
"Rain, biar gue selesein dulu, please..." Aku mulai sebal karena perkataanku selalu dipotong. "Gue memang ga terlalu kenal dia tapi menurut gue dia baik. Waktu Farhan ngajak kenalan, gue sedang sendirian di kantin. Tapi waktu Tania muncul, Farhan langsung buru-buru pergi. Awalnya gue kira itu karena sikap jutek Tania. Gue pernah ketemu cowok itu lagi beberapa kali. Dia bilang dia mau berteman sama gue walaupun dia enggak terlalu setuju sama pilihan orang-orang kayak gue. Waktu itu gue yang... ya terserah deh... Gue ga terlalu peduli karena gue memang ga tertarik sama dia. Tapi sekarang gue baru ngerti. Dia pasti mengira kalau gue pacar Tania."
"Wah...udah hancur pasaran lo di kampus, Ni." Rayna terkikik geli. Aku mendelikkan mataku. "Tapi Satya pasti senang. Dia ga jadi punya rival hahaha."
Aku memilih tak menanggapi. Malas tiap kali Rayna mengungkit-ungkit hubunganku dan Satya. Aku masih belum mau memikirkan apa yang harus kulakukan dengan pria itu. Belum berani. Aku memang pengecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...