Ini adalah pagiku yang biasa.
Aku bangun lebih pagi dari yang lain lalu mulai menanak nasi, memasak lauk. dan menata meja. Jika ada sesuatu yang sedikit tidak biasa, itu karena saat ini sedang weekend. Ditambah lagi, aku harus memasak dalam jumlah double karena kami akan kedatangan tamu.
Tiba-tiba aku merasakan pelukan seseorang di pinggangku, lalu kecupan basah di bahuku.
"Hei, cewek seksi." Bisiknya pelan.
Aku terkikik geli seperti remaja enam belas tahun yang baru pertama kali dirayu kekasihnya.
Satya sering memanggilku seperti itu setelah ulangtahunku yang ke-empat puluh. Suamiku yang pengertian itu menyadari bahwa tragedi masa lalu kami memang tak pernah menghilang sepenuhnya. Kami hidup bahagia, namun terkadang trauma itu masih memunculkan diri, terutama padaku.
Aini yang dulu selalu berpikir positif dan percaya diri sudah tak ada lagi, digantikan dengan Aini yang sering merasa insecure. Ketidakpedean itu semakin menjadi-jadi setelah menginjak kepalaempat. Aku mulai menyadari kalau kecantikanku berkurang, keriput muncul tak terkendali, dan gelambir serta selulit adalah teman yang selalu setia tak mau pergi.
Sejak itu, Satya selalu memanggilku 'cewek seksi.' Ia ingin membuatku sadar bahwa bagaimanapun wujudku, seperti itulah pandangan dirinya terhadapku. Kalau sudah begitu, anak-anak pasti akan menunjukkan ekspresi mau muntah.
"Makin cantik aja kamu..." Kali ini kecupannya sudah merambah ke pipiku.
"Mas ihh..." Kataku manja sambil mencoba melepaskan diri.
"Aku kangen, Sayang..." Satya malah semakin mengetatkan pelukannya.
Kangen gimana? Jelas-jelas kami selalu tidur satu ranjang.
"Please deh Ma, Pa. Masih pagi ini..."
Cakra, si sulung kami, mendekati meja makan sembari memutar kedua bola matanya. Ia duduk lalu mengambil gelas dan menuangkan minuman.
"Iri aja kamu, dasar jomblo!" Satya melontarkan ledekan sebelum akhirnya menghampiri sang putera dan ikut duduk juga. "Status udah karyawan tetap, tapi pengalaman asmara masih setara anak SD."
Ledekan Papanya membuat Cakra makin cemberut.
"Pagi-pagi mukanya udah jelek aja, Bang. Walau biasanya juga tetap jelek sih..." Kali ini tuan puteri kesayangan Papa yang memasuki ruang makan. Formasi sarapan pagi akhirnya lengkap sudah.
"Papa-Mama mesra-mesraan lagi di dapur..." Ia mengadu pada sang Adik.
"Ya ampun, Pa!" Geumala menunjukkan ekspresi pura-pura kaget. "Aku udah ketuaan kali kalau harus punya adek lagi!"
Aku menyusul mereka duduk sembari membawa lauk terakhir yang telah selesai dimasak.
"Jangan makan dulu. Keluarga Om Dimas mau sarapan di sini katanya."
Cakra tersedak air minumnya sementara Mala menunjukkan ekspresi kesal.
"Duh males deh..." Ia memutar bola matanya. Entah sejak kapan puteriku itu tak pernah akur dengan Ryan.
Kami tak perlu lama menunggu. Segera, Dimas dan gerombolannya menghampiri kami di ruang makan.
"Sehat-sehat kan, Besan?"
Satya cuma mendengus sebal. Sejak anak-anak masih kecil, Dimas sering menggunakan panggilan itu untuk memancing kekesalan Satya.
"Kali ini gue ga bercanda, Sat." Kata Dimas setelah mereka semua duduk. "Kayaknya kita beneran bakal jadi besan. Lo tahu Pak Supardi kan? Mantan tetangga lo yang sekarang jadi tetangga gue? Katanya minggu lalu dia mergokin anak-anak kita pacaran di Margo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...