"Paaa.... balon, Pa....!" Perhatian Ryan teralihkan pada tukang balon beragam bentuk yang mendatangi mereka.
"Lho? Bukannya barusan kamu minta pulang?"
"Main balon, Pa." Ryan bersikeras.
"Abang juga mau, Pa." Kali ini gantian Cakra yang merengek pada Papanya.
"Malu ah, Bang. Kan udah gede. Lihat tuh, Dedek aja ga minta balon."
"Papaaa..."
Akhirnya Dimas berinisiatif untuk membelikan balon sesuai keinginan bocah-bocah itu. Kalau sudah begini keinginan pulang tadi sudah pasti terancam batal. Kami bertiga pun kembali duduk dan memesan minuman.
"Ngomong-ngomong, gue lihat Ardito, guys..." Dimas yang baru datang setelah mengantarkan anak-anak ke tukang balon, tiba-tiba berbicara pada kami.
"Barusan?" Tanya Rayna sambil celingak-celinguk.
"Kemarin..."
"Kok ga cerita-cerita, Hon?"
"Ini kan lagi cerita..."
Rayna memukul lengan Dimas gemas.
"Maksud aku kemarin, Hon. Kenapa ga langsung cerita?"
"Lupa, Hon. Kemarin kan waktu pulang kerja kamu langsung ngajak..." Dimas menunjukkan muka mesumnya.
Aku berdeham.
"Ngajak belanja bulanan, Ni. Kotor banget pikiran lo." Protes Rayna.
"Si Ardito ngapain?" Tanya Satya.
"Lagi makan juga di restoran yang sama. Tapi karena mejanya jauh, ya ga gue sapa."
"Dia udah balik kerja lagi?"
"Kalo balik ke kantor lama sih kayaknya ga mungkin. Terakhir gue dengar, dia buka usaha kecil-kecilan gitu. Ditinggal cerai isterinya juga kan waktu di penjara?"
"Karma!" Kata Rayna puas.
Aku menegur dengan mendelikkan mata. Ia tertawa.
"Kalau si Setania ada kabarnya ga sih?"
"Kayaknya dia dipenjara lebih lama dari Ardito deh. Ardito kan cuma beberapa bulan."
"Dia pernah ngehubungin gue." Kata Satya kalem.
"Whattt???" Kami bertiga terdengar kaget.
"Aku kok ga tahu sama sekali?" Tanyaku heran karena Satya merahasiakan hal ini.
"Katanya dia mau ketemu kita bertiga. Mau minta maaf. Udah pasti ga aku kasihlah. Let her stay behind. Kita ga perlu ingat yang lalu." Tegas Satya.
"Ck...kalo inget dia masih kesel gue..." Rayna ngedumel.
*
PoV Tania
Sudah lama aku ingin menginjakkan kaki ke rumah ini tapi tak pernah punya cukup keberanian untuk itu. Setelah Papa meninggal dunia saat aku tengah dipenjara, perasaan bersalahku semakin menebal. Sungguh, aku sudah menghancurkan hidup banyak orang, termasuk hidup orangtuaku sendiri. Walau tak pernah ada yang mengatakannya secara langsung, namun tak perlu analisis ahli untuk mengetahui bahwa Papa sakit karena aku hingga akhirnya meninggal dunia.
Perasaan berdosa itu membuatku menjauh dari keluarga, bahkan setelah aku keluar penjara. Lebih baik bagi Mama dan adik-adik jika tak ada aku yang berkeliaran di sekitar mereka. Selama ini, mereka pasti bersusah payah menerima sanksi sosial dari orang-orang padahal akulah yang bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...