Epilog

4.9K 163 4
                                    

Tak salah memang kalau ada yang mengatakan Charlie Chaplin itu jenius. Kutipannya benar-benar kena dengan hidupku. Kalau dulu aku terpuruk dan berdarah-darah dalam periode close-up, maka inilah saatnya menikmati masa-masa long shot-ku.

Yah... ini long shot yang tidak terlalu sempurna memang, mengingat kondisi rumah terlihat seperti kapal pecah sementara Satya dan Cakra, putera sulung kami, seenaknya tertidur di atas karpet di ruang keluarga sementara si bayi Geumala tengah merengek di ayunan.

Bergegas, kuhampiri puteri kecilku. "Dedek Mala, udah bangun ya? Duuhh... udah basah. Cup...cup...Sayang, ditinggal Papa tidur ya?"

Aku membawa Mala ke kamar lalu mengganti popoknya. Saat kami kembali, dua pria kesayanganku masih betah di tempatnya.

"Mas..." Aku membangunkan Satya pelan karena takut mengganggu tidur Cakra juga.

Pelan Satya membuka mata lalu mengucek-nguceknya. "Sayang..." Pelan-pelan dia bangkit, meninggalkan Cakra yang masih tertidur nyenyak.

"Jadi ini yang kamu bilang supaya aku tenang aja semua pasti beres?" Tanpa ragu, aku memuntahkan kekesalan yang sudah muncul sedari tadi.

Hari ini aku harus berbelanja ke pasar sebab banyak persediaan yang sudah habis di rumah. Karena bertepatan dengan hari minggu, Satya meyakinkanku bahwa dia yang akan mengurus rumah dan anak-anak. Tapi apa? Dari kondisi di sekitarku, aku bisa melihat kalau Satya menghabiskan sepagian ini dengan bermain bersama Cakra setelah berhasil menidurkan Mala.

"Aku yang bakal beresin deh..." Katanya langsung bangkit.

"Memang mesti kamu, Mas. Aku kan mau masak. Sebentar lagi Mama dan Papa dateng, inget?"

Hari ini adalah jadwal kumpul Keluarga Winanda. Kebetulan kali ini kami yang kebagian giliran menjadi tuan rumah. Selain Mama dan Papa, juga akan ada Keluarga Mas Yudha serta Mas Raka dan tunangannya.

Pelan-pelan Satya menggendong Cakra lalu memindahkannya ke kamar. Kamar yang ditempatinya sendiri sejak setahun lalu karena merasa dirinya sudah besar sebab sudah menjadi abang. Kamar yang lebih sering membuatku mengurut dada karena seluruh dindingnya ditutupi dengan coretan warna-warni hasil tangan Cakra.

Setelah memastikan Cakra masih terlelap, Satya mengambil sapu dan mulai bekerja. Diam-diam aku tersenyum. Mungkin hidupku tak seenak para wanita sosialita atau isteri pejabat kaya-raya, tapi ini yang kuinginkan. Semua yang kubutuhkan ada di sini. Dan dari posisi ini, aku bisa memandang bahwa masa lalu kami sudah tak penting lagi. Tania, Ardito, juga perpisahanku dan Satya, hanyalah bagian dari perjalanan hidup yang harus kami lewati bersama. Kami bahkan sudah tak memedulikan lagi soal hukuman yang diterima kedua orang itu.

"Assalammu'alaikum..."

Suara dari depan memberitahukan bahwa para tamu sudah datang. Oh sial, jam berapa ini? Masakanku belum ada yang matang, semuanya masih terjerang di atas kompor. Sekilas aku melirik ke ruang keluarga. Satya memang sudah selesai menyapu tapi mainan Cakra masih berserakan di sana-sini.

Arrghhh... baiklah. Aku bohong kalau mengatakan hidup ini adalah segala hal yang kuinginkan. Adakalanya aku ingin mengguncang-guncang badan Satya kuat-kuat saking kesalnya.

Saat ini adalah salah satunya.

Tamat

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang