Satu tahun yang lalu
"Dimana lo, Tan?" Tanyaku via telepon.
Hari itu Tania mengajakku janjian di salah satu mal di ibu kota. Ngopi-ngopi syantik, katanya. Aku yang sedang tak punya kesibukan lantas setuju saja. Kami berdua memang sudah cukup lama tak bertemu karena kesibukan masing-masing. Dia dengan kuliahnya, aku dengan rumah tanggaku dan Rayna yang saat itu sedang butuh perhatian. Ketika itu aku dan Tania memang belum sedekat sekarang sehingga tak heran manakala waktu janjian dengan dirinya dan Rayna bentrok, aku pasti lebih memilih Rayna. Kebodohan yang kusesali saat ini.
Ada seorang laki-laki, namanya Irwan. Dia senior kami tapi tak pernah berjumpa di kampus. Irwan tiga atau empat tahun di atas Satya jadi saat kami masuk Irwan sudah lulus duluan. Mereka: Irwan, Rayna, dan Satya bekerja di kantor yang sama. Salah satu KAP big four yang mungkin saja akan menjadi tempat kerjaku juga kalau tidak keburu menikahi Satya. Kantor tersebut bisa dibilang kampus kami yang bermigrasi karena kebanyakan pegawainya adalah mereka yang satu almamater denganku.
Entah bagaimana Irwan dan Rayna pada akhirnya berpacaran. Tapi hubungan tersebut tak berlangsung mulus. Sepertinya keluarga Irwan yang bisa dibilang keluarga kelas atas tak sudi menerima Rayna yang berasal dari golongan bawah. Tak lama mereka putus.
Rayna hancur ketika itu. Kapan saja sempat, ia selalu mencariku untuk curhat. Bukan cuma sekali dua kali Rayna menumpang Satya saat pulang demi bisa curhat denganku. Memang sih tidak bisa dibilang sering, biasanya saat terjadi keajaiban di mana mereka berdua bisa pulang seperti orang kantoran normal lainnya. Aku tak pernah cemburu, tentu saja. Tak jarang aku bahkan menawari Rayna menginap. Satya pun tak pernah menyuarakan keberatan. Satu kebodohan lain yang baru kusadari sekarang.
Mungkin mereka jadi dekat setelah sering pulang bareng seperti itu. Mungkin juga sejak mulai bekerja di kantor yang sama. Meskipun sebagai auditor mereka lebih sering menghabiskan waktu di tempat klien, tapi tetap saja intensitas pertemuan orang yang sekantor pasti lebih sering dibanding mereka yang tak sekantor.
Dan bodohnya, aku malah memfasilitasi kegilaan mereka. Terkadang aku berpikir bahwa di saat-saat Rayna menginap, bisa saja Satya meninggalkanku yang sudah nyenyak untuk pindah tidur ke kamar tamu. Aku bisa menangis sesenggukan hanya dengan membayangkan hal itu.
"Gue lagi parkir ini. Tunggu aja dekat air mancur."
Lamunanku kembali ke saat kode pertama mendatangiku. Ketika itu suara Tania membuyarkan fokusku yang tadinya terpusat di satu titik. Beberapa meter dariku, Satya dan Rayna sedang berjalan berdua ke arah lift. Aku memang hanya bisa melihat punggung, tapi cukup merasa yakin kalau itu memang mereka. Laki-laki yang kuyakini sebagai Satya mengenakan pakaian yang sama dengan yang tadi kusiapkan di rumah. Dan aku juga sudah pasti mengenali punggung sahabat baikku. Baju yang dia pakai saat itu adalah baju yang dibeli dalam salah satu acara belanja kami.
Mungkin mereka mau bertemu klien, begitu pikiranku kala itu. Aku memang tak curiga. Untuk apa aku curiga pada suami yang mencintaiku dan kucintai, juga pada sahabat yang menyayangiku dan kusayangi.
Satu lagi kebodohan fatal Aini, Saudara-saudara!
Kalau saja mencatat setiap kebodohan yang kulakukan bisa membuatku lebih baik, maka aku pasti akan mencatatnya. Tapi karena yang terjadi adalah sebaliknya, maka aku lebih memilih untuk mengabaikannya saja.
Mungkin aku bisa bergabung dengan mereka setelah bertemu Tania, begitu pikirku saat itu.
Aku sudah mengeluarkan ponsel dan nyaris memencet nomor Satya saat Tania tiba-tiba muncul. Selanjutnya hal itu terlupakan. Kami berdua terlalu asyik mengobrol. Aku baru ingat kembali soal itu berjam-jam kemudian, saat Tania dan aku akhirnya keluar dari kafe.
"Sayang, maaf. Aku lagi sibuk banget, ga bisa bicara sekarang."
Kalimat itu langsung menyambutku saat menghubungi Satya. Aku bahkan belum mengatakan halo. Karena takut mengganggu pekerjaannya aku cuma mengiyakan dan menutup telepon. Padahal sih, mengganggu pekerjaan apanya. Mengganggu kencan sepasang kekasih gelap mungkin lebih tepatnya.
Akhirnya Tania berbaik hati mengantarku pulang meski dia harus bolak-balik Depok-Jakarta. Awalnya aku menolak karena kasihan padanya. Tapi Tania tak peduli. Katanya sebagai bentuk tanggung jawab, toh gara-gara dirinya aku yang jarang keluar Depok ini akhirnya terpaksa harus menginjakkan kaki di Jakarta.
Malam sudah cukup larut saat kami sampai di Depok. Tapi Satya belum pulang. Suamiku juga masih belum muncul saat aku sudah bersiap-siap tidur. Aku baru sadar dia sudah pulang saat merasakan sebuah lengan memeluk pinggangku ketika terjaga subuh itu. Aku memutuskan untuk memberi Satya waktu tidur setengah jam lagi karena khawatir dia masih lelah. Agar tak membuatnya terbangun, aku mencoba bangkit pelan-pelan. Tapi sia-sia saja karena sepasang mata Satya langsung terbuka saat itu juga.
Akhirnya kami salat berjamaah sebelum kembali tidur-tiduran di ranjang. Kami bahkan nyaris bercinta kalau saja aku tidak sadar bahwa jam sudah menunjukkan Satya nyaris telat ke kantor. Aku masak sarapan dengan buru-buru. Dia makan dengan buru-buru. Saat itu aku sudah tak ingat lagi soal kejadian di mal kemarin. Kotak memoriku baru terbuka lagi setelah kehancuran pernikahan kami terjadi.
"Ah jadi waktu itu mereka sedang pacaran..." Cuma begitu tanggapanku yang saat itu sedang berada di fase mati rasa.
*
"Gue tiba-tiba pengen itu deh," Kata Tania setelah aku menjawab salamnya di telepon.
'Itu' yang dia maksud adalah kue cokelat lumer dengan sedikit stroberi di atasnya. Kue itu cuma ada di kafe langganan yang pernah beberapa kali kami berdua datangi. Letaknya di salah satu mal di Jakarta. Untungnya mal kali ini tak terlalu jauh dari Depok. Tapi aku sedang malas kemana-mana akhir-akhir ini.
"Please..." Kata Tania lagi. Aku masih menolak.
"Tadi malam gue berantem besar sama Teddy..."
Aku menghela nafas. Baiklah, sudah tugasku untuk menghibur sahabat-sahabatku yang patah hati. Tadi malam Rayna, sekarang Tania. Setelah mengabari Satya via WA, aku bergegas berangkat ke tempat janjian kami.
"Itu bukannya laki lo?" Tanya Tania padaku.
Ketika itu kami sudah selesai dan sedang berdiri di pintu keluar mal untuk menunggu taksi. Kebetulan Tania sedang tak membawa mobil. Di kejauhan aku menyaksikan Satya jalan berdua bersama Rayna.
"Lagi di tempat klien kali ya?" Kata Tania lagi.
Aku mengangguk mengiyakan. Mal ini memang berada di kawasan perkantoran karena itu bukan sesuatu yang mengherankan jika mereka berdua dapat dijumpai di sini.
Lalu taksi kami datang dan kami lanjut mengobrol seru sepanjang perjalanan. Tania akan ikut denganku ke Depok karena berencana menginap di kosan salah satu temannya di sana. Ada tugas kelompok katanya.
Sekali lagi kebersamaan Rayna dan Satya terlupakan. Aku menjadi orang bodoh lagi untuk ke sekian kalinya.
Sekarang aku bertanya-tanya manakah yang lebih baik, mengetahuinya lebih cepat atau lebih lambat. Tapi sama sekali tak mampu kujawab. Tak ada satupun yang baik di antara keduanya. Cepat ataupun lambat, tetap aku yang hancur.
Setelah dua kali mengabaikan kode yang kudapatkan, lalu ada yang ketiga. Yang terhebat. Yang terburuk. Saat itu aku sudah tak bisa lagi mengabaikan hubungan nyata antara suami dan sahabatku.
Pada saat yang ketiga, aku benar-benar terpuruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...