Bab 19

2.9K 180 5
                                    

Terakhir kali kami berduaan seperti sekarang, dia mengantarku pulang ke rumah Wildan. Kami memang sempat chat via WA saat hendak menanyakan kontak Pak Tiyok tapi setelah itu aku tak pernah menjawab telepon atau membalas pesannya.

"Untunglah kamu telepon. Kalau enggak, rencananya hari ini aku yang bakal mendatangi apartemen kamu." Suara Satya tenang. Terlalu tenang. Sebagai orang yang kenal dia, aku tahu kalau dia sedang menyimpan kemarahan besar.

"Kamu tahu apartemen aku?" Aku memilih pertanyaan yang netral.

"Aku tahu dimana apartemen kamu sejak beberapa bulan yang lalu. Aku cuma pura-pura enggak tahu karena takut kamu kabur lagi kalau aku datang. Aku juga tahu kalau sekarang kamu sedang kuliah S2 di kampus kita dulu. Yang aku ga tahu, kenapa kamu kayak gini padahal semuanya sudah jelas. Aku terbukti enggak bersalah tapi kamu masih menghindar seakan-akan aku ini pasien Malaria!"

Bad move, Aini. Bad move...

"Tapi...kamu sehat kan?"

Ya ampun pertanyaan macam apa itu, Aini bego!

"Enggak. Aku enggak pernah merasa sehat sejak isteriku memilih meninggalkanku dan tetap menghindar saat sebenarnya pernikahan kami sudah bisa diperbaiki. Kamu bahkan sudah beberapa kali bertemu Rayna. Apa dia jauh lebih penting dibanding aku, suami kamu sendiri?"

"Aku sudah bukan isteri kamu lagi..." Segera setelah mengucapkan kata-kata itu, aku ingin menggigit lidahku sendiri. Itu bukan hal yang harusnya kuucapkan.

"Oh, dan salah siapa itu?" Suara Satya mulai bergetar dan mukanya sudah memerah. Oh Tuhan, dia mulai menunjukkan kemarahannya. "Aku enggak akan pernah menyalahkan kamu karena berteman dengan Tania yang menjadi penyebab semua kemalangan ini karena kita berdua sama-sama korban. Aku hanya enggak habis pikir bisa-bisanya kamu seperti tidak berniat sedikit pun memperbaiki rumah tangga kita. Kamu tahu betul aku mau rujuk."

"Aku enggak bisa, Mas. Maaf aku enggak bisa." Tolakku. "Aku ga mau rujuk."

"Ada laki-laki lain??" Satya sudah tak lagi menyembunyikan nada marahnya. "Selama setahunan kita berpisah dan kamu sudah ada..."

"Mas, bukan kayak gitu! Aku melakukan semuanya demi kamu."

"Maksud kamu, kamu menolak untuk rujuk demi aku yang memilih rujuk ini? Aku gagal melihat logika di dalamnya."

Aku menghela nafas lelah.

"Aku... aku..." Come on, Aini, be brave! "Aku sudah melakukan kesalahan besar. Sama kamu. Sama kita. Kamu pasti enggak akan bisa maafin aku. Please, ini yang terbaik untuk kita berdua..."

"Kesalahan apa?"

"Aku...aku sudah..." Dimana semua keberanian tadi?

"Kalau kamu yang melakukan kesalahan, bukannya cuma aku yang berhak untuk menilai apakah bisa memaafkannya atau tidak?"

Merasa ada yang salah dengan pipiku, aku merabanya. Basah. Sialan! Kapan air mata itu turun? Aku sama sekali tidak merencanakan ini. Katanya air mata adalah senjata wanita dan Satya pasti akan menerima todongan 'senjata' itu dengan senang hati. Dia akan menenangkan dan membujukku seperti yang biasa dilakukannya tiap kali aku bersedih. Tapi aku sama sekali tak pantas mendapatkan semua itu.

"Maaf, Mas. Aku..." Dan terjadi sudah. Pertahananku ambyar. Isakku makin lama makin keras. Satya sudah berdiri dan memelukku erat.

"It's alright, Sayang. Everything's gonna be alright." Katanya sambil mengelus pundakku. Air mataku semakin deras. Kami sudah jadi perhatian orang-orang.

"Aku mau pulang," Aku menyentakkan pelukan Satya dan berdiri menjauh. Percuma melakukan apa pun sekarang. Aku masih belum bisa jujur padanya hari ini.

"Aku antar." Katanya lalu menarikku keluar.

*

Tentu saja aku ingin rujuk dengan Satya.

Kembali ke pelukannya adalah hal yang paling aku inginkan di dunia. Tapi keinginanku bukanlah hal penting. Satyalah yang penting. Dia sama sekali tidak pantas mendapatkan aku. Meski aku tak akan pernah merasa sanggup melihatnya dengan wanita lain, tapi itu masih lebih baik daripada melihatnya menderita bersamaku.

"Aku akan menunggu." Begitu kata Satya saat mengantarku pulang ke apartemen. "Aku akan menunggu sampai kamu siap menceritakan apa yang kamu bilang sebagai kesalahan itu padaku. Aku akan menunggu sampai kamu bisa bilang semuanya. Lalu aku memaafkanmu. Aku pasti akan memaafkan kamu dan setelah itu kita bisa bersama lagi. Sampai saat itu tiba, aku akan terus mendekati kamu. Waktu kamu untuk menghindar sudah habis, Sayang. Kamu enggak akan bisa lari lagi dari aku."

Mendengar Satya mengatakan itu, mataku kembali memanas. Mungkin cerita kami akan berbeda kalau akulah yang mengucapkan kata-kata itu padanya dulu. Atau setidaknya mau mendengarkan cerita dari sudut pandangnya. Tapi sudahlah. Tak ada gunanya berandai-andai. Sebelum air mataku kembali jatuh, aku segera menutup pintu di depan mukanya. Dia tak boleh kasihan padaku. Aku tak pantas dikasihani.

Segera setelahnya, aku menyadari bahwa berada sendirian di apartemen juga bukan hal yang bagus. Aku merindukan pelukan penuh kasih sayang Tante Wita, juga senyuman penuh dukungan dari Om Danu. Kutelepon Wildan. Dia setuju untuk menjemput dan mengantarkanku karena dia sendiri juga sudah cukup lama tak pulang. Padahal dia itu freelancer yang seharusnya punya lebih banyak waktu bebas daripada pekerja kantoran biasa. Apalagi letak kampung kami hanya beberapa jam dari Depok.

Untunglah aku pulang kampung hari itu sebab siangnya Satya menelepon untuk mengajak malam mingguan. Aku jadi punya alasan yang tak terbantahkan untuk menolak. Dia memang sempat mempertimbangkan untuk menyusulku tapi tak mungkin karena sore harinya harus menghadiri perayaan ulang tahun Tita, puteri bungsu Mas Yudha. Satya adalah Om kesayangannya jadi tak mungkin dia tak hadir. Aku harus berterimakasih pada Tita karena sudah lahir di hari ini. Mungkin aku harus memberi kado raksasa pada bocah lucu dan menggemaskan itu.

"Kamu belum cerita sama Satya?" Tanya Tante Wita tepat setelah Satya menutup telepon. Itu pun aku harus membujuknya dulu dengan menjanjikan pertemuan setelah kembali ke Depok.

"Aini sudah coba, Tan, tapi belum bisa."

"Itu bukan kesalahan kamu, Ni." Sepertinya itu kalimat favorit semua orang akhir-akhir ini. "Itu takdir."

Utang negara dunia ketiga memang bukan salahku. Perang dan kemiskinan di berbagai belahan dunia pun bukan salahku. Pendidikan dan pembangunan yang tidak merata juga bukan salahku. Ada banyak hal buruk di dunia ini yang bukan salahku. Tapi yang terjadi ini... ini salahku. Tapi aku lebih memilih diam tak menjawab. Lebih mudah membiarkan Tante Aini percaya bahwa aku setuju dengannya.

"Satya harus tahu, Ni."

"Ya, Tante. Aini akan memberitahu dia secepatnya." Aku membulatkan tekad.

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang