Ternyata mematikan ponsel di jam delapan malam hingga keesokan paginya bisa berdampak besar. Setidaknya bagiku. Saat aku bangun dan menghidupkan ponsel pagi itu, dentingan penanda pesan masuk langsung berbunyi tanpa henti. Aku meninggalkannya sejenak untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Terlepas dari kegalauanku tadi malam, ternyata aku bisa tidur nyenyak juga. Biasanya mataku otomatis terbuka saat subuh tapi hari ini malah bablas hingga jam sembilan pagi. Sepertinya diriku betul-betul memanfaatkan privilege sebagai wanita yang lagi dapet.
Setelah selesai dari kamar mandi, aku kembali pada ponselku. Empat puluh dua panggilan tak terjawab dan tujuh puluh satu pesan. Semuanya dari Om dan Tante, Wildan, Nadia, serta Tania. Tania bahkan sampai menggedor-gedor pintu kamarku yang terkunci, mengganggu diriku yang sedang enak-enaknya bermimpi. Ternyata mereka semua khawatir karena aku tak kunjung bisa dihubungi. Bisa-bisanya aku melupakan 'kewajiban' sebelum tidur untuk melakukan video call dengan Nadia. Adikku pasti panik karena panggilannya tak kunjung diangkat. Dan kepanikan itu pun kemudian menular. Kalau saja Tania tak datang lalu memberitahu Wildan kalau aku baik-baik saja, jumlah panggilan dan pesan itu pasti lebih banyak dari ini.
Aku membaca seluruh pesan dan mengetikkan permintaan maaf. Tadi malam, Tania cuma singgah sebentar saja untuk memastikan keadaanku. Aku yang masih mengantuk, langsung kembali tidur lagi. Mana sempat aku memedulikan kekhawatiran semua orang.
Sedang asyik-asyiknya membalas pesan, tiba-tiba masuk panggilan lain ke ponselku. Tubuhku membeku karena kaget. Bukan, kali ini bukan nomor asing. Itu nomor yang sudah lama tersimpan di ponselku. Tapi untuk apa dia menghubungiku? Terutama setelah aku dan Satya bercerai.
"Halo?" Dengan enggan aku menjawab panggilan itu.
"Halo Aini yang cantik, apa kabar?"
"Lo lagi ngeledek gue atau sedang mengajukan pertanyaan retoris?" Jawabku jutek. Bagaimana pun dia teman Satya. The friend of my enemy is my enemy.
Dia tertawa renyah. "Galak amat, Neng?"
"Buruan deh, Dim. Lo mau ngomong apa? Gue lagi banyak kerjaan ini." Kataku tak sabaran. Aku ingin tahu secepatnya apakah Dimas hendak mengabariku soal pernikahan itu atau punya tujuan lain. Kalau yang pertama, siap-siap saja dia kena semprot dan masuk list blokirku yang berikutnya. Ah iya, tadi malam aku juga belum memblokir Rayna.
"Gue mau bicara bisnis ini, lho, bisnis..." Kata Dimas sok penting.
"Iye, ape?" Tanyaku lagi. Menyebalkan. Tutup juga nih...
"Ck... padahal Aini yang dulu gue kenal manis banget. Kok udah enggak ada sisanya lagi sih sekarang?"
"Udah diabisin sama temen lo! Ngomong sekarang ga, Dim? Kalo ga, gue tutup nih..." Ancamku.
"Kantor gue lagi butuh orang, Ni. Lo mau kaga?"
Tawaran kerjaan? Bukan hal yang kuduga akan dibicarakan Dimas. Tapi menarik sih. Terutama karena kantor Dimas bukan lagi di kantor lama Satya. Tapi...
"Kenapa kagak open recruitment?" Aku masih tetap curiga.
"Butuh cepet dan gue kan tahu kualitas lo kayak apa. Gimana? Mau kagak? Eh tapi bentar deh..."
Aku yang sudah hendak menjawab langsung terdiam menunggu kelanjutannya.
"...gue lagi otewe ke kampus nih, ada urusan sama Pak Sofyan. Lo mau ketemu langsung ga? Biar enak ngomongnya. Lagian kan kita udah lama kaga nongkrong bareng. Mau ya? Udah lumayan deket ini gue, udah di Lenteng..."
Aku mempertimbangkan usul Dimas. Hari ini hari Sabtu dan tak ada jadwal kuliah jadi tentu saja aku punya banyak waktu kosong. Tawaran Dimas juga lumayan menggiurkan. Tapi...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...