Bab 4

3.9K 217 1
                                    

Tujuh tahun yang lalu

"Mati gue!"

Kami sedang berada di kelas terluas di kampus. Terkadang tempat itu juga dijadikan sebagai auditorium tapi sekarang sedang beralih fungsi menjadi tempat kami diospek. Di sini kami mendengar pengarahan dan bimbingan, mengerjakan berbagai tugas, juga dimarah-marahi jika berbuat salah.

"Kenapa?" Bisikku, takut jika ada panitia yang mendengar.

"Cowok di sebelah Mba celana cokelat. Cowok yang di warung tenda kemaren itu..." Rayna balas berbisik tapi pandangannya tetap tertuju pada kertas-kertas di hadapannya.

Aku mengangkat kepalaku sedikit dan diam-diam memperhatikan ke arah depan. Tapi titik yang dimaksud Rayna sudah dihalangi kehadiran sesosok laki-laki bercelana hijau botol. Celana ngejreng itu dipadukan dengan jaket almamater kami yang berwarna kuning. Di sela-sela bagian jaket yang terbuka, tampak mengintip sebuah kemeja ungu. Ya ampun. Such a fashion statement.

"Ga usah lirak-lirik!" Kata salah satu panitia yang berdiri di dekatku. Otomatis aku langsung menundukkan kepala, kembali memusatkan perhatian pada tugas-tugas yang sempat kutinggalkan sejenak.

Tapi tak lama setelah senior itu pergi untuk memarahi maba bersalah lainnya, aku mengangkat kepalaku lagi. Kali ini si Hejo-koneng juga sudah pindah tempat jadi aku bisa mendapatkan pandangan yang jelas. Cowok yang dimaksud Rayna tengah tertawa sambil berbincang dengan Mba celana cokelat di sebelahnya. Oh sialan! Itu memang cowok yang sama. Dan kalau dia ada di depan sana, maka cuma berarti satu hal. Berarti dia juga panitia ospek. Berarti dia juga senior kami.

Pada saat aku masih memandanginya, kebetulan dia juga mengalihkan tatapan dari lawan bicaranya lalu menghadap ke depan. Ke arahku dan Rayna. Rayna lebih beruntung karena sedang fokus dengan tugas-tugasnya. Tapi aku...aku masih mengamati cowok itu. Tatapan kami bertemu. Lalu dia tersenyum lebar, hanya saja bagiku terlihat seperti seringai mengerikan.

Rayna benar. Matilah kami.

*

Ternyata Rayna salah. Kekhawatiran bahwa ospek yang kami lewati akan menjadi begitu mengerikan ternyata cuma halusinasi Hingga akhir acara, kami berdua masih hidup dan utuh tanpa kekurangan sesuatu apapun. Tak ada bagian dimana kami sengaja dimarah-marahi dan dihukum hanya untuk balas dendam.

Lagipula siapa sih yang mau membesar-besarkan masalah celana kotor seakan hal itu punya arti sesignifikan hutang negara atau obat kanker. Yah... di bagian Rayna mengatai dia anjing memang agak keterlaluan sih. Tapi kan cowok itu duluan yang meledeknya mirip Betty la fea. Dan aku adalah pihak paling flawless di sini. Kecuali saat aku tak mengacuhkan panggilan cowok itu dan pergi begitu saja.

Hal semacam itu memang bukan apa-apa kalau dilakukan pada orang tak dikenal. Tapi bisa jadi apa-apa kalau dilakukan pada seniormu yang kebetulan juga jadi panitia ospek yang kebetulan mengospek dirimu yang kebetulan masih jadi mahasiswa baru. Menjadi maba memang harus siap berhadapan dengan banyak aturan ini dan itu, bukan hanya dari kampus namun juga dari para senior. Kami bahkan belum diperbolehkan makan di kantin fakultas, entah apa alasannya. Tapi syukurlah, senior yang ini tak pernah melakukan abuse of power padaku dan Rayna.

Tiga hari berlalu begitu lambat namun pada akhirnya selesai juga. Tibalah saatnya upacara penutupan ospek fakultas. Teman-teman seangkatanku tampak sudah lebih rileks karena tak ada lagi para senior yang selalu berjaga dan siaga kapan pun untuk menghukum mereka yang bersalah.

Satu halangan sudah terlewati. Sekarang kami tinggal bersiap-siap untuk menghadapi... ospek jurusan. Aku mendesah menyadari ternyata masih ada satu ospek lagi. Tidakkah ada yang merasa bahwa segala macam ospek ini terlampau banyak?

Karena terlalu asyik melamun, aku sampai melewatkan kata sambutan dari satu atau dua orang. Tapi suara keras MC telah memanggil kembali kesadaranku.

"Sekarang kita dengarkan sambutan dari ketua panitia acara Pengenalan Akademik Kampus..." si MC yang kemarin kujuluki sebagai Mba celana cokelat tapi sekarang berubah jadi Mba celana navy itu mengumumkan agenda selanjutnya. "...kepada Satya Adhi Winanda, waktu dan tempat dipersilahkan."

Cowok itu melangkah ke podium dan menerima mikrofon dari Mba celana navy. Aku dan Rayna berpandangan. Diriku cukup yakin kalau kami berdua punya pikiran yang sama saat itu. Oh my God! Dia ketua panitia?! Tapi terserah deh yang penting ospek fakultas udah selesai. Now let's pray semoga kita ga satu jurusan sama dia..."

"Selamat sore teman-teman sekalian..."

Kalimat pembuka itu memaksa kami berdua untuk mengalihkan perhatian padanya. Kalau sedang tak dipakai untuk marah-marah, suaranya cukup enak didengar.

"...saya mengucapkan terimakasih kepada pihak kampus dan teman-teman panitia karena acara ini telah terselenggara dengan lancar. Dan untuk teman-teman mahasiswa baru, terimakasih sudah bertahan sampai hari ini. Semoga kita semua dapat mengikuti perkuliahan dengan baik. Jangan sia-siakan perjuangan mati-matian kita saat masuk ke sini. Tapi tentu saja belajar bukan satu-satunya yang penting. Karena mahasiswa tidak hanya butuh buku, tapi juga pesta dan....tentu saja, cinta."

Tepuk tangan riuh mengiringi akhir pidato cowok bernama Satya itu. Sepertinya dia menyuarakan isi hati semua orang. Buku, pesta, dan cinta. Jargon antik itu dengan tepat menunjukkan bahwa kami mahasiswa bukan cuma kenal belajar, tapi juga butuh bersenang-senang dan merasakan asmara. Namun di tengah keriuhan itu mungkin tak ada yang memperhatikan bahwa saat menyebutkan 'cinta' tadi, cowok itu—Satya--mengedipkan mata ke arah kami. Sekali lagi aku dan Rayna berpandangan, kali ini sambil mengernyitkan dahi karena tak mengerti.

What was that?

*

Satu tahun yang lalu

"How could he do this to me?!"

Aku tengah berusaha menenangkan Rayna yang sedang menangis sesengukan di pelukanku. Dia datang lagi malam ini, menumpang dengan mobil Satya. Melihat kondisi mentalnya sekarang, sepertinya aku harus meminta Rayna menginap lagi.

Satya yang baru saja selesai mandi dan berganti pakaian urung bergabung demi melihat kondisi kami berdua yang tampak emosional. Akhirnya dia berjalan ke ruang makan dan mempersiapkan makanan yang sore tadi sudah kumasak ke atas meja. Aku betul-betul berterimakasih atas inisiatifnya itu sehingga bisa kembali mengalihkan fokus  perhatianku pada Rayna.

Baru sebulan yang lalu Rayna mengabariku dengan senang hati bahwa dia dan Irwan sudah pacaran lagi. Kali ini Irwan tampak lebih serius. Tak mengherankan sebetulnya, mengingat lelaki itu lumayan lebih tua daripada kami. Tapi tampaknya rasa keberatan Ibu Irwan atas latar belakang Rayna telah menyebabkan mereka putus lagi. Kali ini mungkin untuk selamanya karena lelaki itu sudah menerima perjodohan dengan wanita pilihan Ibunya.

"Gue udah betul-betul hancur sekarang. Gue ga sanggup hidup lagi!!" Rayna menangis kencang sambil menepuk-nepuk dadanya. Aku susah payah menenangkan sambil memegangi tangannya. Tenaga Rayna cukup kuat untuk ukuran seorang wanita.

"Gue mesti gimana, Ni?" Rayna bertanya padaku setelah sudah tenang.

"Makan?" Tawarku.

Dia menggeleng lemah.

"Tidur?" Tanyaku lagi.

Akhirnya Rayna mengangguk. Aku menemaninya ke kamar tamu yang biasa dia tiduri saat sedang menginap. Aku juga memaksanya mencuci muka, menyikat gigi, dan mengganti baju dengan daster yang kumiliki. Aku pun menemani sambil menggenggam tangannya hingga dia betul-betul tertidur.

Kuhapus jejak air mata di pipinya sembari pelan-pelan melepaskan genggaman tangan Rayna. Dia betul-betul hancur, pikirku sedih. Rayna adalah seorang wanita tangguh, cerdas, dan independen. Dia bahkan bisa menaklukkan dunia kalau mau repot-repot melakukannya. Tapi lihatlah sekarang. Dirinya hancur karena Irwan. Waktu itu aku sama sekali tak mengira bagaimana besarnya pengkhianatan pasangan bisa menghancurkan diri kita.

Tapi sekarang aku sudah tahu.

Kembali kupandangi Rayna yang terlelap. Wajahnya yang tadi sarat akan emosi sekarang lepas tanpa beban. Rayna sahabatku dan aku rela melakukan apa saja untuk bisa melepaskan dia dari deritanya.

Apapun.

Kecuali dengan cara merebut suamiku. Tapi celakanya, Rayna justru melakukan itu.

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang