Bab 16

3K 162 4
                                    

Satu setengah tahun yang lalu

"Ya ampun makin lama posisinya makin enggak masuk akal deh..." keluhku di ruang ganti salon khusus wanita itu. Wajahku terlihat super letih. Keringat membasahi sport bra dan celana yoga pendek yang bisa kupakai dengan nyaman karena tempat ini terlarang untuk dimasuki laki-laki. Aku sedang menunggu keringatku kering sebelum bisa mandi di kamar mandi yang disediakan.

Karena lemak di pinggang semakin membandel, aku memutuskan untuk ikut yoga. Bikin badan terasa enak sih memang, tapi ya ampun rasanya betul-betul setengah mati. Satu-satunya hiburan dalam waktu satu jam itu hanya saat instrukturnya menyuruh kami dalam posisi down dog. Pada saat meditasi di akhir, aku betul-betul bersyukur sesi ini sudah selesai. Mungkin memang itu intinya. Kita diperkenalkan pada penderitaan yang luar biasa sehingga pada akhirnya bisa betul-betul bersyukur pada segala anugerah yang ada.

"Lo baru?" Suara itu menyadarkanku bahwa aku tidak sendiri di dalam sini.

"Iya, baru dua kali." Jawabku jujur.

"Hang in there. Lama-lama juga tubuh lo terbiasa." Katanya menyemangati.

Aku tertawa lepas. Enggak yakin tubuhku akan bisa terbiasa pada posisi yoga apa pun.

"Gue Tania." Wanita itu mengulurkan tangannya.

"Aini." Aku membalasnya.

"Mau nongkrong bareng setelah dari sini?"

Aku mengabari Satya via chat sebelum mengiyakan ajakan teman baruku itu. Kami berjalan menuju kafe kecil yang letaknya tak jauh dari sana. Aku dan Tania berbincang-bincang seakan kami ini teman lama. Rahangku bahkan terasa sakit setelahnya karena kami terlalu banyak tertawa.

Saat itu aku belum tahu kalau ini akan menjadi pertemuan yang paling kusesali selamanya.

*

"Maafin gue, Rain. Kalau aja ada kata lain yang maknanya di atas maaf, gue pasti bakal pakai kata itu. Maaf karena gue udah ngancurin hidup lo."

"Gue mesti bilang sampe berapa kali sih, Ni. Itu bukan salah lo."

"Gue tetap punya andil. Kalau sampai saat itu Emak kenapa-kenapa, gue pasti ga akan sanggup hidup lagi. Gue minta maaf, Rain..."

"Syukurnya Emak enggak kenapa-kenapa, kan. Bahkan sampe sekarang sehat-sehat aja, tetap bisa masak dan cerewet kayak biasa. Apalagi setelah dia tahu kalo gue ga salah."

"Andaikan waktu itu gue ga keras kepala..."

"Ya ampun, Ni. Capek gue ngomong sama lo." Rayna mulai kesal.

"Sorry..."

"Iya, lo emang mesti minta maaf! Dosa lo sama gue cuma satu. Dosa besar. Bisa-bisanya lo nuduh gue suka sama si Pulgoso. Amit-amit deh."

Aku nyengir. "Harusnya gue ga percaya gitu aja ya...?"

"Yaiyalah. Lagian dari sisi mananya sih gue kelihatan suka sama suami lo?"

Kata terakhir Rayna sedikit menyurutkan senyumku. Satya bukan suamiku lagi...

"Setelah kejadian itu, gue kira kalian saling jatuh cinta karena sering ketemu di kantor. Apalagi lo sering nebeng sama Satya waktu mau ketemu gue."

"Terus setelah nebeng sama suami lo, gue jadi langsung terinspirasi mau selingkuh gitu? Gue betulan mau curhat tentang si Irwan brengsek itu, tahu!"

"Kalian berdua memang selalu kayak kucing sama anjing sih, tapi gue pikir bisa aja kan lo sebetulnya nutupin perasaan yang sebenarnya. Lo juga kelihatan ga sukanya waktu gue mau nikah dulu."

"Waktu itu gue ga suka lo nikah sama dia karena cita-cita kita mau kerja bareng itu ga jadi kesampean. Ya gue kesel lah. Ibu Kartini bisa nangis kali, kalo ada perempuan yang ga bisa mewujudkan cita-citanya cuma karena mau nikah. Tapi kan bukan berarti gue ga seneng kalau kalian berdua bahagia."

"Itu bukan cuma keinginan Satya, Rain. Itu keinginan gue juga."

"Iya, gue tahu. Makanya setelah itu gue mendukung lo berdua kan?"

Kami terdiam cukup lama. Lalu tiba-tiba Rayna membuka mulut dan bercerita tentang kejadian di hotel itu dari kaca matanya. Mendengar hal itu membuat rasa bersalahku semakin tebal.

"Dulu gue betul-betul kesel sama lo. Bisa-bisanya lo ga percaya sama gue, sahabat lo selama bertahun-tahun. Tapi terus gue ga sengaja ketemu Irwan. Dia mencaci-maki gue. Dia bilang, bisa-bisanya gue kepikiran jadi selingkuhan suami temen gue sendiri. Dia juga bilang kalo dia seneng udah mau dengerin Nyokapnya. Perempuan kayak gue memang ga pantas untuk dipertahankan."

Aku sangat sakit hati mendengarnya.

"Enggak lama setelah itu, gue lihat dia gandengan sama cewek lain. Perempuan yang dijodohkan Nyokapnya itu. Hati gue sakiiitt banget. Gue nangis berhari-hari. Tapi setelah itu gue juga sadar. Kalau gue aja rasanya sesakit ini, apalagi lo. Gue yang bersama Irwan cuma beberapa bulan aja rasanya bisa sesakit itu, apalagi lo yang melihat suami sendiri dalam keadaan kayak gitu. Sejak itu gue jadi semakin mengerti posisi lo bagaimana."

Aku memberi Rayna tatapan sedih. Secara tidak langsung, Irwan memperlakukannya seperti itu karena aku.

"Tapi lo tetap nyebelin sih." Lanjut Rayna, kali ini nadanya lebih tinggi. "Lo tahu kagak gue udah beli berapa kartu perdana? Nyusahin lo!"

Dimarahi begitu, aku malah nyengir. Ini Rayna. Rayna-ku. Aku baru sadar sekarang betapa besar aku merindukan dia.

"Akhirnya ya udahlah, gue males kan. Jadi gue memutuskan untuk ga nelpon-nelpon lo lagi. Mana Satya juga sama nyebelin-nya. Lo tahu ga awal-awal dulu dia mengira kalo gue yang ngerencanain ini semua gara-gara gue naksir dia. Waahh...gila ya tuh orang. Kepalanya pasti betul-betul besar. Ada apa sih sama kalian berdua kok kayaknya keukeuh banget kalo gue naksir si Pulgoso."

Harusnya kata-kata Rayna itu membuatku semakin merasa bersalah. Tapi anehnya cengiranku malah bertambah lebar.

"Kenapa lo nyengir-nyengir? Lo jadi gila gara-gara setahun misah dari itunya si Pulgoso?"

"Heh!" Teriakku.

"Tapi lebih gila gue sih karena mau-maunya kemaren itu beli kartu perdana lagi demi lo. Langsung lo matiin pula."

"Sorry." Aku meringis. "Tania bilang kalau kalian berdua mau nikah. Jadi gue kira lo..."

"Wahh...kali ini gue betul-betul merasa terhina. Tega-teganya ada yang gosipin gue mau kawin sama si Pulgoso, no offense ya. Untung aja si Dimpret berhasil bawa lo ke kafe. Awalnya gue ragu sih lo bisa dibegoin kayak gitu, eh ternyata dia malah berhasil. Otak lo udah mengecil ya sekarang? Kok bisa-bisanya ketipu sama si Dimpret? Jangan-jangan efek puasa itunya si Pulgoso."

"Gila lo ya. Ga ketemu setaon, otak sama mulut lo makin kotor."

"Lo kira gue belajar dari siapa kalo bukan dari lo berdua? Emangnya lo pikir gue ga bisa denger apa aja yang kalian lakukan waktu gue lagi nginep di kamar sebelah?"

"APA?!"

"Rumah lo kecil kali, temboknya juga tipis. Karena gue butuh curhat sama lo aja, makanya waktu itu gue ga ngeledek lo. Tapi karena gue ga butuh curhat sama si Pulgoso, jadinya gue bisa ngeledek dia sepuasnya waktu kebetulan ketemu di kantor. Lo tahu ga mukanya merah banget waktu orang-orang ngetawain..."

"RAYNA GILA!!" Aku memotong kata-kata Rayna sambil menjambak rambutnya.

"Aduh...aduh..., Ni. Sakit... lepasin! Nyesel gue, tahu gini gue ga bakalan maafin lo..."

"GUE YANG GA BAKAL MAAFIN LO!!" Amukku.

Rayna masih terus mengaduh tapi aku masih belum mau melonggarkan jambakanku. Bagaimana bisa pertemuan penuh haru kami malah berubah jadi seperti ini?

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang