Aku sedang di kampus ketika telepon dari Tania masuk ke ponselku.
"Dimana, Babe?" Tanyanya.
"Biasa..." Jawabku
"Gue nyusul deh"
"Bukannya lo ada kerjaan?" Tanyaku heran.
Tania memang bukan pekerja kantoran biasa, tapi sebagai freelancer dia tentu lebih sibuk dariku yang cuma mahasiswa magister tanpa embel-embel karir.
"Udah selesai barusan. Udah muak juga di apartemen terus-terusan." Keluhnya.
Aku bertemu Tania di tempat yoga, hanya beberapa bulan sebelum memergoki perselingkuhan Satya dan Rayna. Kali pertama bertemu kami sudah langsung akrab. Ketika itu dia tengah mengambil S2 di almamaterku sembari bekerja. Kebetulan kami sama-sama mengambil kelas malam di salah satu salon dan tempat senam khusus wanita yang letaknya tak terlalu jauh dari kampus. Ketika itu Tania masih bolak-balik Depok ke rumah orangtuanya di Jakarta. Setelah lulus, dia malah sepenuhnya menetap di Depok. Bosan dengan Jakarta, katanya. Kami tinggal di apartemen yang sama, hanya beda lantai. Tentu saja aku senang sekali, walau curiga Tania melakukan ini karena khawatir denganku. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, support systemku memang juara.
Kulambaikan tangan ketika melihat Tania sekitar setengah jam kemudian. Dia mendatangi tempatku duduk di taman dekat air mancur.
"Gimana kuliah Pak Randy?" Tanyanya menyebutkan nama dosen 'kesayangan' kami berdua.
Aku cuma mendengus sebal. Tania terkekeh. Saat S1, Tania tidak kuliah di kampus ini. Oleh karena itu dia senang ketika bertemu denganku. Bisa dapat insight orang dalam, katanya. Kami berbagi sentimen yang sama soal kampus, terutama soal Pak Randy yang Masya-Allah-sungguh-menyebalkan itu.
"Sabar, cyiinn. Enggak lama lagi kok." Katanya membesarkan hatiku.
"Dua tahun itu lama, Taniaaaa!" Jawabku sebal.
Dia terkekeh lagi. "Sabar ngapa. Ini juga udah jalan beberapa bulan kan jadi enggak dua tahun full."
Sejujurnya, studi S2 yang tengah kutempuh sekarang hanyalah pelarian. Setelah kondisi mentalku membaik, aku sadar bahwa aku harus mulai mencari kesibukan. Sekarang diriku bukan lagi seorang isteri yang direpotkan dengan segala macam printilan rumah tangga. Sempat terpikir untuk mencari pekerjaan namun tampaknya diriku belum siap jika langsung dihadapkan pada 'tantangan' sebesar itu. Keahlianku sudah lama mengendap, sejak Satya memintaku menikahinya dan tidak berkarir dulu. Guess what? Itu kebodohan Aini nomor sekian.
Padahal saat keluar dari kampung, aku adalah seseorang yang bersemangat dengan visi luar biasa ke depannya. Waktu itu aku sudah membayangkan akan bekerja di berbagai perusahaan hebat ketika lulus nanti. Atau jika tidak langsung bekerja, aku akan S2 ke luar negeri menyusul Nadia. Namun sedikit saja ucapan penuh bujuk rayu Satya sudah mampu membuatku melepaskan mimpi-mimpi itu.
Jangan salah, aku bukan memandang remeh ibu rumah tangga. Aku bahkan bahagia ketika menjalaninya. Namun kondisiku sekarang mungkin bisa berbeda kalau saja aku punya karir yang bisa dijadikan pegangan saat hidup memutuskan berbalik arah. Nyatanya, aku hancur berantakan. Janda, tanpa anak, tanpa karir, tanpa masa depan. Untungnya, berkat Om dan Tante, aku tak perlu sedikitpun khawatir soal uang. Apa jadinya coba kalau aku juga miskin.
Lalu gagasan itu masuk begitu saja ke dalam pikiranku. Bermula dari Tania yang sedang berkeluh kesah tentang tesisnya. Lalu aku berpikir, bagaimana kira-kira kalau aku juga lanjut kuliah? Aku bukan cuma bakal punya kesibukan baru tapi juga bisa mematangkan kembali keahlianku yang mulai berkarat ini. Dan kebetulan juga pada saat itu sedang tahun ajaran baru. So why not? Dengan bantuan Tania dan Wildan, aku mengurus segala sesuatunya. Dan voila... di sinilah aku sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...