Lukisan Penuh Luka

1K 69 7
                                    

Suara gesekan antara kuas dan kanvas menggema di dalam ruangan berukuran enam kali enam yang terlihat berantakan. Tepat di depan kanvas, seorang pemuda dengan rambut sebahu yang tengah diikat ke belakang nampak serius menggoreskan kuas di atas kanvas. Beberapa helai rambut yang menutupi pandangannya seolah bukan halangan sama sekali bagi tangannya untuk menuangkan imajinasi dari otaknya.

"Kurang tajam deh," bisiknya entah pada siapa. Tangannya terhenti. Iris legamnya mengamati lukisan mata yang baru saja rampung ia kerjakan. Dengan desahan kecewa, ia mengambil kembali kuas yang sempat ia letakkan dan memperbaiki lukisannya.

Tok, tok, tok!

Entah sudah berapa kali orang yang ada di balik pintu itu mengetuknya, tapi pemuda yang tengah larut dalam lukisannya itu seolah tuli. Ia masih terus menggesekkan kuas di atas kanvas dengan pandangan tajam. Sesekali ini menyentakkan rambutnya yang menutupi pandangan. Ia bahkan membiarkan keringatnya mengalir menuruni pelipis hingga menetes ke lantai, menyatu dengan cat tumpah di bawahnya.

"Ya Tuhan, Adit! Bunda udah teriakin dari satu setengah jam lalu, makan!"

Bahkan dengan teriakan sekencang itu, pemuda itu masih bergeming, seolah telinganya benar-benar tuli. Tangannya masih terus menggesek kanvas dengan bantuan kuas. Sementara matanya tetap fokus dengan bentuk bibir yang tengah ia coba lukis. Melihat teriakannya diacuhkan, Bunda tanpa sadar menghela nafas panjang. Ia menutup pintu perlahan sebelum meletakkan makanan yang ia bawa ke atas meja di sudut ruangan.

"Dit, makan." Bunda tak lagi menggunakan ototnya untuk meneriaki Adit. Percuma, anaknya sedang tenggelam dalam dunianya sendiri. Bahkan, ketika ia sudah berdiri tepat di samping Adit dan ikut memandang lukisan yang tengah Adit kerjakan, lelaki itu tetap bergeming.

Grep!

Tangan yang sedang asik berselancar di atas kanvas itu tercekal, membuat Adit mengerjapkan matanya berkali-kali sambil menatap tangan putih bersih yang kini tengah menggenggam pergelangan tangannya dengan cukup erat. Adit tersenyum kikuk sambil menatap Bunda yang sudah menampilkan muka kesalnya.

"Eh, Bunda. Sejak kapan?" Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Bunda meraih telinga Adit dan menariknya sekuat tenaga, melampiaskan emosinya yang sudah diacuhkan sejak tadi.

"Aw, aw, aw! Sakit, Bun!"

"Makan! Gara-gara kamu, Bunda gak dapat cium pagi dari Ayah!" Adit terkikik geli mendengar keluhan ibunya. Tanpa banyak bicara, ia beranjak dari tempatnya melukis dan menghampiri piring beserta lauk yang terlihat enak, kesukaannya.

"Bunda gak bosen masak tumis kangkung terus?" tanya Adit sambil meraih piring itu. Satu suapan besar mendarat begitu saja di mulutnya, terkunyah sebentar sebelum tertelan tanpa halangan.

"Kan kamu cuma mau makan itu. Bunda juga bingung mau masak apa lagi. Kamu sih pake alergi protein hewan. Jadi ribet, 'kan." Adit lagi-lagi terkekeh geli mendengar kalimat yang meluncur dari bibir ranum ibunya.

Ya, sejak dia hampir meregang nyawa karena sepotong ayam di usianya yang masih sangat muda, ibunya tidak pernah lagi memasak apa pun yang mengandung protein hewani. Hanya sayur yang bisa masuk ke dalam perutnya. Dia pun sangat pemilih untuk makanan yang ia konsumsi, tak khayal tubuhnya sekurus bambu. Hanya tinggi menjulang, tidak ada lemak berlebih sedikit pun.

"Dit, mau sampai kapan kamu lukis Rena terus? Move on, dia aja udah punya anak sekarang. Mau dua lagi. Kamu jangankan punya anak, penggantinya Rena aja belum ada."

Adit yang baru saja menyelesaikan makannya mendongak, menatap lukisan wajah yang belum sempurna itu. Sudah hampir sepuluh bulan dia tidak bisa menyelesaikannya. Entah mengapa, melukis senyum di sana sangat sulit. Mungkin karena wajah penuh air mata lah yang terakhir ia lihat dari wajah gadis itu.

"Mau gimana lagi Bun, mantan terindah."

"Kalo terindah ya gak mungkin jadi mantan, Dit."

"Terindah buat aku, Bun. Tapi mungkin terburuk buat Rena," ucapnya diakhiri gelak tawa yang terdengar menyesakkan. Entah Adit menyadari atau tidak, ada air mata menggenang di pelupuk matanya, membuat Bunda hanya bisa menghela napas sambil membelai puncak kepala putera semata wayangnya itu.

"Jangan lupa istirahat. Kantung matamu udah ngalahin panda, tuh. Mandi juga. Baumu asem banget!"

"Iya, Bun!"

Sepeninggal ibunya, Adit Kembali berdiri di depan lukisannya, menatap mata Rena yang juga tengah menatapnya sendu. Butuh lebih dari sepuluh menit bagi Adit untuk Kembali meraih kuasnya. Setelah memejamkan mata cukup lama, ia menarik napas Panjang, kemudian mulai menggoreskan kuas itu di bagian bibir lukisannya.

Entah butuh berapa lama, yang ia tahu lampu jalan sudah menyala terang saat ia tersadar. Begitu juga dengan taman di bawah dan lampu kamarnya. Ada sepiring penuh makanan yang terlihat sudah mendingin, lengkap dengan tulisan tangan ibunya di samping piring. Begitu mata sayu itu menatap jam di dinding, ia sejenak terperanjat.

"Bikin senyummu aja sampai berbulan-bulan, Ren. Semoga lelakimu yang sekarang hanya butuh hitungan detik untuk mengukir senyum itu di wajahmu," bisik Adit sambil menatap lukisannya yang menurutnya masih jauh dari kata sempurna itu. Sebagai sentuhan terakhir, Adit memberikan tanda tangannya di ujung kanvas. Penanda jika lukisan itu sudah rampung ia kerjakan.

Dengan kedua tangannya, Adit membawa lukisan itu ke galeri miliknya. Sudah ada satu space khusus yang ia sediakan untuk memajang lukisan Rena ini. Satu space yang cukup besar dengan sinar temaram yang langsung menyorot ke arah lukisan Rena dipajang. 

Cukup lama Adit memandangi lukisan yang akhirnya berhasil ia selesaikan itu. Pandangannya tak lepas dari mata teduh yang terlukis di sana. Masih belum sempurna, tapi hanya sampai situlah kemampuan Adit dalam menjiplak ciptaan Tuhan yang begitu sempurna di matanya. Tubuhnya tiba-tiba limbung, hampir jatuh jika ia tidak sigap berpegang pada dinding di sampingnya.

"Butuh tidur nih kayaknya," gumam Adit sambil memijat kepalanya yang berkunang-kunang. Ia sampai tidak menyadari tubuhnya gemetaran.

Adit memejamkan mata dan menarik nafas panjang sejenak, mencoba menetralkan detak jantungnya yang memburu. Merasa cukup, tangannya kemudian menyapu kalimat yang menjadi judul dari lukisannya kali ini sebelum beranjak pergi dan mematikan lampu galeri, membiarkan lampu di sekeliling lukisan Rena menjadi satu-satunya cahaya di sana, juga kalimat di bawahnya yang berpendar redup.

Satu-satunya senyum yang pernah kuperjuangkan.

The Painter and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang