Kelelahan, stress, terlalu banyak pikiran, ditambah pola istirahat dan makan yang berantakan akhirnya mengantarkan Adit kembali menjadi penghuni salah satu kamar rawat di rumah sakit Panti Nirmala. Randy sedikit banyak menyalahkan dirinya yang akhir-akhir ini jarang ada untuk Adit. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, padahal ia tahu Adit butuh orang yang mengingatkannya bahkan menariknya untuk makan juga istirahat. Setengah hatinya juga penasaran apa yang Adit pikirkan sampai stress seperti itu. Dengan kasar, Randy mengusap wajahnya yang tampak kacau.
"Sus, ini adek saya kira-kira kapan sadar, ya?" tanya Randy pada perawat yang baru saja selesai memeriksa kondisi vital Adit.
"Tadi obat yang disuntikkan mengandung obat tidur. Jadi kemungkinan baru akan sadar besok pagi, Mas."
"Oke kalo gitu. Makasi, Sus."
"Sama-sama, Mas. Saya permisi dulu."
Sepeninggal perawat tadi, Randy kembali menatap Adit yang terlihat tengah terlelap dengan damai. Deru nafasnya teratur, seolah hanya tertidur di kamarnya, bukan sengaja ditidurkan oleh obat-obatan.
"Kapan lo mau peduli sama diri lo sendiri? Kapan lo mau mentingin diri lo di atas orang lain? Gak semua orang di dunia ini baik, Dit. Lo terlalu baik buat jadi penghuni bumi." Randy bergumam sendiri, menggumamkan kalimat yang tidak akan mungkin ia sampaikan ketika Adit sadar.
Tuhan itu udah baik banget hadirin aku di rahim Bunda, padahal dokter udah bilang kalo Bunda gak akan pernah bisa punya anak. Kalo bunda dan para jemaat Gereja gak berdoa setiap hari buat aku ada di dunia ini, mungkin sekarang aku masih muter-muter di alam sana. Jadi, gimana aku bisa jahat sama orang, kalo aku hadir aja berkat doa mereka?
Randy tersenyum mengingat kalimat yang selalu Adit ucapkan saat Randy mengeluhkan sikap terlalu baiknya Adit.
"Cepet sehat, banyak orang nungguin lo. Banyak anak jalanan nunggu ditemuin sama lo, dirubah nasibnya sama lo. Hidup lo itu berkat bagi orang banyak, jadi lo harus panjang umur buat orang lain. Persis kayak yang lo mau, ''kan? Jadi berkat bagi banyak orang."
Randy memperbaiki posisi selimut Adit yang berantakan sebelum meninggalkannya ke kamar mandi untuk mencuci muka. Untuk beberapa saat, Randy duduk diam di samping tempat tidur Adit, mengamati wajah pucat Adit yang terlihat damai, sebelum kantuk akhirnya menguasainya dan ia merebahkan tubuh di kasur yang disediakan untuk keluarga pasien.
^^^
"Selamat pagi, Mas."
Seoran perawat mengetuk pintu sebelum membukanya dan masuk sambil tersenyum pada Randy yang baru membuka mata. Randy membalasnya dengan mengayunkan kepala dan tersenyum kikuk. Perwat perempuan itu mendorong troli menuju ranjang tempat Adit berbaring dengan nyenyak.
Randy menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru pukul tujuh pagi. Ia kemudian memeriksa ponselnya sejenak, memastikan tidak ada panggilan dari Ayah dan Bunda sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidurnya, berjalan santai menuju kamar mandi. Ia membasuh muka dan menyikat gigi dengan cepat sebelum keluar dari kamar mandi.
"Ada apa, Sus?" tanya Randy, refleks menghentikan tangannya yang menyeka air yang mengalir di wajahnya dengan handuk kecil.
"Adik saya kenapa?" tanya Randy sekali lagi sambil berjalan mendekati perawat yang tengah memanggil-manggil Adit, seolah sedang menyadarkan orang yang dalam keadaaan tidak sadar atau pingsan.
Sayangnya, pertanyaan Randy tak sempat dijawab karena perawat itu mengambil telepon dan terdengar meminta kepada si penerima telpon untuk menyuruh dokter ke ruang rawat inap tempatnya berada, sekarang juga.
"Dia kenapa?!" Tanpa sadar Randy berteriak pada perawat wanita yang terlihat panik itu.
"Pasien tidak merespon rangsangan suara dan sentuhan." sahut perawat itu sembari memasang berbagai jenis alat untuk mengukur tanda vital Adit. Monitor di samping Adit menyala, menampilkan garis-garis dan angka yang tak Randy pahami.
"Dit?" panggilnya sembari menggoyangkan pundak Adit pelan. Sahabatnya itu terlihat seperti tengah tertidur lelap, sangat nyenyak. Mungkin terlalu nyenyak sampai panggilan Randy beberapa kali tak membuahkan hasil.
"Mas, tolong mundur dulu, biar dokter periksa."
"Dit, bangun. Jangan bikin panik, Dit! Aku harus bilang apa sama Ayah Bunda, bangun!"
Randy memanggil sembari menepuk-nepuk pipi Adit sedikit lebih keras. Bahkan dengan tepukan seperti itu, Adit tak juga merespon. Bahkan, kelopak matanya tak bergerak sedikitpun. Tangan Randy mendadak gemetar hebat. Ia kesulitan menarik nafas dan pandangannya mengabur.
"Mas, duduk dulu."
Randy menggeleng, pandangannya masih fokus menatap Adit yang tengah dikerumuni beberapa orang. Suara teriakan, mesin, juga decitan roda peralatan yang digunakan untuk menyelamatkan Adit membuat Randy semakin sesak.
"Dia, kenapa?" tanya Randy dengan suara yang tercekat di tenggorokan. Randy seperti tengah melihat adegan di film-film. Kemudian suara nyaring dari monitor yang ada di samping tubuh Adit dan suara orang-orang terkesiap seketika membuat tubuh Randy terasa lemas dan ringan.
Randy ambruk begitu saja.
^^^
"Adit!"
"Apa?"
Randy terengah. Pandangannya mengedar nyalang. Nafasnya berantakan, lengkap dengan detak jantungnya yang tak karuan. Ia menatap jam yang melingkar di lengannya. Keningnya berkerut saat melihat angka 7 yang ditunjuk oleh jarum jam nya. Ia bahkan harus memastikan kembali dengan melihat jam yang ada di ponselnya.
"Ada apa?"
"Lo gak pa-pa?" tanya Randy panik sampai tak sadar menggunakan panggilan yang tak biasanya pada Adit. Ia langsung melompat dari tempat tidur, memeriksa suhu tubuh Adit dengan punggung tangannya, bahkan menampar pipinya sendiri untuk memastikan dia tidak mimpi.
"Aku oke, Ran."
"Lo beneran gak pa-pa?" tanya Randy sekali lagi. Kali ini mulai bisa menguasai dirinya.
"Aku oke, Ran. Udah gak demam juga. Tinggal lemesnya." Randy tak bisa menahan dirinya untuk tidak menghela nafas lega yang berlebihan. Tubuhnya meluruh ke kursi dengan nafas dan detak jantung yang masih berantakan.
"Mimpi buruk?" tebak Adit akhirnya. Randy mengangguk pelan sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Mimpinya begitu nyata, terasa begitu menyakitkan dan menakutkan. Tubuhnya bahkan masih menggigil ketakutan.
"Makanya, kalo mau tidur itu doa dulu."
"Berisik deh, Dit!"
"Cuci muka dulu, sana!"
"Jangan ke mana-mana. Awas aja sampe turun dari ranjang. Aku bilangin Bunda!"
Randy beranjak dengan pandangan yang tak lepas dari wajah Adit. Kalau saja Adit tidak melemparkan botol minum yang sudah kosong ke arah Randy, lelaki itu pasti sudah membiarkan pintu kamar mandi terbuka agar ia bisa terus melihat Adit. Begitu pintu tertutup, Adit menghela nafas panjang dan kembali menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur.
"Tuhan, pusing banget," keluh Adit sambil memijit kepalanya yang sejak bangun tadi terasa berdenyut menyakitkan, lengkap dengan pandangannya yang mengabur.
Tak hanya itu, tangan kanannya terasa kebas, lemas dan sulit untuk digerakkan. Ia bahkan kesulitan hanya untuk mengepalkan tangannya, padahal infus terpasang di punggung tangan kirinya dan sepertinya tidak ada bekas suntikan di punggung tangan kanannya.
"Ayah sama Bunda gak telpon?"
Adit buru-buru menurunkan tangannya yang tengah memijit kepala dan menggerakkan kepalanya ke arah Randy. Sayangnya, gerakannya yang buru-buru itu membuat kepalanya yang sudah sakit semakin sakit hingga tanpa sadar ia mengerang. Tepat saat itu, darah mengalir dari hidungnya, membuatnya harus setengah bangkit agar darah itu menetes ke bawah.
"Adit!"
Randy kembali diserang rasa panik. Ia menekan tombol darurat beberapa kali sambil memegangi tubuh Adit yang terlihat limbung.
"Lo kenapa sih, Dit? Please, lo bikin gue takut setengah mati!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
Fiksi UmumKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...