"Ran, izin ke dokter buat ikut pameran, gih. Kita udah jauh-jauh ke sini. Gak mungkin dong kalo gak nemuin mereka."
Randy sudah mendengarkan kalimat yang sama lebih dari lima kali hari ini. Kali ini, Randy menatap sahabatnya itu dengan tatapan lelah. Pagi tadi dokter yang memeriksanya sudah memperingatkan Adit untuk tidak beraktivitas apapun terlebih dahulu. Sel darah merahnya sangat rendah, lengkap dengan dehidrasi berat yang tidak memungkinkannya bahkan untuk duduk di ranjang tanpa bantuan.
"Aku gak mau maksa dokternya. Kalo dokternya visit lagi dan dia bilang boleh, kita pergi. Kalo enggak, kita pergi besok. Acaranya 2 hari, kok. Aku udah hubungi mereka kalo kamu kemungkinan baru bisa nemuin mereka besok. Jadi tenang aja, istirahat dulu aja. Daripada malah kenapa-kenapa di sana."
Adit tak lagi mengatakan apapun lagi. Tubuhnya sangat lelah sebenarnya, entah apa yang terjadi. Padahal, ia tidak melakukan apa-apa seharian ini selain berbaring dan menikmati transfusi darah serta cairan infus yang bahkan hingga kini masih mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Untuk beberapa menit berikutnya, baik Adit maupun Randy tak ada yang membuka mulut sedikitpun. Adit asik menikmati pemandangan dari kaca jendela ruang rawatnya, sementara Randy menatap Adit sambil menahan tangis. Jujur, Randy masih sangat ketakutan sekarang. Segala hal tentang rumah sakit ditambah dengan mimisan hebat Adit kemarin berhasil membangkitkan ingatan Randy tentang ketakutannya akan kematian.
Seperti dugaan Randy, Adit tidak diizinkan meninggalkan rumah sakit, pun dengan keesokan harinya. Keduanya malah hanya bisa bertemu dengan calon pembeli lukisan anak-anak jalanan di taman rumah sakit, tak jauh dari ruang rawat Adit. Itu pun tak lebih dari satu jam karena wajah Adit sudah seputih mayat dan nyaris pingsan dengan keringat yang membanjir. Untungnya semua itu tidak mempengaruhi keputusan orang-orang untuk membeli lukisannya. Mereka justru menaikkan harga tawarannya setelah mendengar cerita Adit tentang anak-anak jalanan.
"Gimana keadaannya hari ini? Ada keluhan?" Dokter paruh baya yang selama lima hari ini merawat Adit membuka visitnya dengan pertanyaan umum. Adit menggeleng, meski tubuhnya masih belum bisa diajak bekerja sama seperti sebelumnya. Dokter itu tersenyum, izin memeriksa Adit, sementara Randy menunggu dengan santai di sofa, meski hatinya berkata sebaliknya.
"Nanti tes terakhir, ya? Jam 3 sore saya ke sini lagi." Randy langsung mendongak, perasaannya semakin tak menentu. Sebenarnya sejak awal pemeriksaan, baik Adit maupun Randy sudah curiga, sayangnya keduanya memilih untuk diam. Takut dengan segala hal yang terlintas dalam benak mereka.
Sepeninggal dokter, keduanya tak mengatakan apapun. Hanya saling tatap untuk beberapa saat, kemudian kompak menarik nafas panjang. Begitu terus sampai Adit jatuh tertidur, meninggalkan Randy yang masih menatap langit dari jendela ruang rawat Adit.
"Shit!" Rambut Randy yang selalu rapih itu kini sudah teracak-acak tak beraturan. Kantung matanya menghitam, karena itu sejak tadi ia menghindari tatapan mata Adit, takut sahabatnya itu tahu dia hampir tidak tidur sama sekali sejak membawa Adit yang berlumuran darah itu ke rumah sakit. Tak lama, isakannya terdengar, pelan, tapi terdengar begitu menyakitkan. Tanpa Randy tahu, Adit yang hanya pura-pura tertidur mendengarkan isakan tangisnya.
"Tuhan, tolong jangan sakiti dia," bisik Randy pelan sambil terisak. Setelahnya, isakannya justru semakin kencang, sebelum akhirnya ia keluar ruang rawat Adit. Adit menggigit pipi bagian dalamnya, mencoba menahan isakannya agar tidak ikut mengalun, sementara air matanya sudah mengalir melalui sudut mata.
^^^
"Ran, bisa keluar bentar?" Dokter yang baru saja selesai membacakan beberapa lembar kertas yang merupakan hasil dari serangkaian tes yang telah dijalani Adit seketika menghentikan kalimatnya. Randy bahkan langsung menoleh sambil menatap Adit bingung.
"Keluar? Aku? Maksudnya gimana?" tanya Randy kebingungan, tak mengerti dengan maksud Adit yang mengusirnya tiba-tiba.
"Please."
Kalimat berisi rentetan protes sudah hampir terlempar dari mulut Randy. Sayangnya, melihat wajah Adit yang seolah tak ingin dibantah, Randy akhirnya menurut untuk keluar dari ruangan tersebut.
Melalui celah pintu yang sengaja dibiarkannya terbuka sedikit sebelum keluar, Randy bisa mendengar dokter berambut putih itu berbicara dengan suara pelan. Saat itu, Randy tidak bisa menangkap kata-kata pastinya. Ucapan bernada rendah dokter tua itu semakin tersamarkan oleh suara riuh orang yang berlalu lalang. Tak sabar, Randy kembali membuka pintu itu dengan sedikit kasar, membuat baik Adit maupun dokter itu menatap ke arah Randy.
"Ran, please."
"Enggak! Kalo bukan Ayah sama Bunda, paling enggak, izinin aku untuk tau, Dit."
Sang dokter sepertinya tengah menunggu persetujuan dari Adit. Begitu Adit akhirnya menghela nafas panjang dan mengangguk, Randy pun duduk kembali ke kursi di samping Adit, menunggu dokter melanjutkan kalimatnya.
"Jadi, saya tadi sudah menjelaskannya pada saudara Adit, tapi sepertinya Anda juga harus tahu. Rasa sakit yang saudara Adit alami selama sebulan terakhir ini disebabkan oleh pembengkakan limpa. Saya sudah meresepkan obat yang harus diminum untuk mengecilkan pembengkakan tersebut selama saudara Adit dirawat di sini."
Randy diam saja, menunggu penjelasan lebih lanjut. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih serius dari sekadar pembekakan limpa yang bisa disembuhkan hanya dengan minum obat. Tidak mungkin Adit harus menjalani serangkaian pemeriksaan dan dirawat selama itu jika penyakitnya bisa disembuhkan semudah itu.
Dokter itu mengerti tatapan tajam Randy dan kediaman Adit. Ia mendesah sebelum melanjutkan kalimatnya. "hasil tes darah perifer menunjukkan gambaran sel-sel blast yang seharusnya tidak ditemui pada orang normal. Jumlah leukosit dalam darahmu juga sangat tinggi. Tes lebih lanjut, pengambilan sampel dari sum-sum tulang belakang menyimpulkan bahwa saudara Adit menderita kanker darah myeloid akut."
"Masih bisa diobati, Dok?" tanya Adit santai, seolah penyakit yang dideritanya hanya flu. Randy sendiri bahkan tak bisa menemukan kalimat atau ekspresi yang tepat untuk diberikan pada Adit. Rasanya, ia ingin memeluk sahabatnya itu, menguatkannya. Ia tahu, setegar apapun Adit, hati dan hidupnya hancur saat ini.
"Langkah paling tepat dan efektif untuk dilakukan saat ini adalah kemoterapi. Satu siklus biasanya terdiri dari lima kali kemoterapi. Setelah itu baru hasilnya dievaluasi ulang, apakah bisa masuk masa remisi atau harus kemoterapi tambahan." Adit mengangguk, seolah dia hanya berdiskusi tentang menu makanan yang akan dimakan nanti malam, bukan tentang hidupnya. Bahkan, dia lebih serius saat membicarakan tentang lukisan dibandingkan mendengarkan vonis hidupnya.
"Apa bisa dilakukan di Malang? Kami harus pulang."
"Dit!"
"Diem dulu, Ran." Adit mengatakannya nyaris tanpa penekanan, membiarkan Randy yang ada di sampingnya menahan amarah.
"Saya akan buatkan surat pengantarnya ke rumah sakit rekanan kami. Tapi kemoterapi ini harus segera dilakukan. Apa bisa hari senin sore ke rumah sakit Panti nirmala?"
Adit tak tahu mengapa ia bisa begitu tenang saat mengangguk menyetujui kalimat dari dokter di hadapannya. Diagnosis itu membuat Adit merasa kosong hingga benar-benar tidak tahu lagi harus merasakan apa, seakan-akan tubuhnya sama sekali di luar kendalinya.
Tuhan, kali ini apa lagi? Rencana apa lagi yang Kau sedang siapkan untukku, Tuhan? Kenapa serumit ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...