1 hari sebelumnya di ujung kota Jakarta
Sejak matahari belum menampakkan diri, gadis bermata hazel itu sudah mengendap-endap keluar dari rumahnya dengan kamera menggantung di lehernya. Wajahnya panik, tangan dan kakinya dingin, jantungnya juga berdetak sangat kencang. Namun, senyum di wajahnya tak hilang sama sekali.
Pelan-pelan sekali, ia membuka pintu depan rumahnya, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sama sekali atau ia akan membangunkan penghuni rumahnya yang lain. Langkah kakinya semakin cepat saat ia berhasil keluar dari rumah. Melewati pos satpam, gadis bermata hazel itu mengangguk pelan dan menempelkan telunjuk di bibirnya sambil mendesis pelan. Memberi kode pada satpam yang sedang berjaga malam.
"ke mana, Neng?" tanya Pak Rudi, satpam rumahnya dengan suara setengah berbisik. Gadis itu tidak menjawab, hanya mengangkat kameranya sambil tersenyum penuh arti yang dibalas anggukan dan senyum lebar oleh Pak Rudi.
"Ati-ati di jalan, Neng. Semoga sukses!"
Di rumah ini, hanya Pak Rudi dan istrinya yang bekerja sebagai pembantu yang mendukung penuh gadis itu. Tak jarang, mereka ikut membantunya kabur dari rumah, atau mencarikan seribu satu alasan saat orang rumah mencarinya.
Di ujung jalan, mobil hitamnya sudah menunggu. Lengkap dengan dua orang teman yang menatap pagar rumahnya was-was. Begitu melihat gadis bermata hazel itu, mereka buru-buru menyalakan mobil. Dengan sekali lompatan, ia berhasil masuk ke dalam mobilnya sambil menghela napas lega.
"Gila, kita udah kayak syuting adegan penculikan!" teriak temannya yang duduk di belakang kemudi. Temannya yang lain hanya bias tertawa terbahak-bahak, sedang gadis itu menyandarkan diri sambil menenggak sebotol air mineral yang disodorkan oleh teman di sebelah kanannya.
"Kalo gak gini, gue gak bakal bisa keluar. Rio posesif setengah mati," keluh gadis itu dengan muka kesal. Masih jelas di ingatannya saat Rio, tunangannya, menghapus semua foto di kameranya hanya karena cemburu dengan objek fotonya. Padahal, ia hanya tertarik dengan Gedung-gedungnya, tapi tanpa sadar ada sosok lelaki yang tertangkap kamera. Rio sudah cemburu buta dan menghapus seluruh foto yang ia cari susah payah. Padahal, sosok lelaki yang tertangkap kamera itu tidak begitu jelas, bahkan hanya berupa siluet.
"Lagian ya, Ra. Ngapain sih masih bertahan sama cowok kayak gitu? Jelas-jelas nyusahin lo doang."
"Gue juga pengennya udahan, tapi nyokap gak bakal setuju. Gue tunangan sama dia kan gara-gara nyokap dia sama nyokap gue bestie-an. Bisa kena serangan jantung nyokap kalo gue mutusin udahan sama Rio."
"Gila, masih jaman aja dijodoh-jodohin begini. Kabur aja!"
Gadis bermata hazel itu lagi-lagi hanya bisa menghela napas berat. Kabur memang menjadi mimpinya sejak dulu. Andai dia tidak memikirkan perasaan mamanya, dia pasti sudah lari dari rumah saat Rio menghapus seluruh foto-fotonya. Sayangnya, ia masih ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua.
Mobil hitam itu berhenti di salah satu gedung pencakar langit yang terlihat cukup tua dan sudah tak lagi digunakan. Ketiga orang itu turun dari mobil, merapatkan jaket yang mereka kenakan sambil memegang kamera erat-erat. Tanpa menunggu lagi, mereka melewati jalan memutar menuju tangga setengah jadi yang ada di sisi gedung.
"Kalo malem kayak gini serem juga, ya?" Indi, gadis paling imut di antar mereka bertiga bergidik pelan melihat kondisi gedung setengah jadi itu.
"Iyalah, Ndi. Udah berapa tahun coba gedungnya gak dipake. Ntar di atas kalo kita ketemu Mbak Kunti jangan teriak." Luna, gadis yang berdiri tepat di belakang Indi menimpali sambil tertawa pelan.
"Kan yang bisa liat cuma lu, gue sama Rara mah santuy."
Setelah entah berapa puluh anak tangga yang mereka naiki, akhirnya mereka sampai di atap gedung. Tepat ketika sinar matahari mulai menampakkan diri, ketiga gadis yang sudah bersiap dengan kamera di depan wajahnya itu langsung menekan tombol capture berkali-kali tanpa jeda, mengambil gambar sebanyak mungkin.
Gadis bermata hazel itu tidak bisa menahan diri untuk tidak berdecak kagum. Ini momen yang ia tunggu-tunggu. Mengabadikan matahari terbit di antara gedung-gedung kota Jakarta. Segalanya indah. Mulai dari berkas cahaya yang mulai keluar, bayangan gedung yang terkena sinar, kabut yang perlahan menghilang, juga kenangan yang tiba-tiba muncul seiring dengan matahari yang perlahan naik.
Gadis bermata hazel itu, Maura.
^^^
"Ke mana aja?!"
Maura hampir berteriak dan menjatuhkan ponselnya saat mendengar suara berat yang sejak kemarin ia abaikan keberadaannya. Pandangannya mendongak pelan ke arah sumber suara. Tepat di depan pintu rumahnya, seorang lelaki dengan jas lengkap dan rambut tertata rapi tengah menatapnya tajam. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana. Melihat lelaki itu, tanpa sadar Maura menahan napasnya.
"Gue tanya sama lo, ke mana aja? Gue gak bisa hubungi lo sama sekali. Orang rumah juga gak tau ke mana. Lo lagi main kucing-kucingan?" Maura bahkan belum melangkahkan kakinya, tetapi lelaki itu sudah lebih dulu mendekat bahkan kini berdiri tepat di hadapannya.
"Jawab, Maura!" Maura perlahan mendongakkan kepala, menatap lurus pada mata hitam yang menuntut jawab itu. Tangannya perlahan menunjukkan ponsel yang tadi ada di tangannya.
"Kemaren hpnya gak mau nyala, jadi gue servis. Ini baru diambil, makanya gak bisa dihubungi. Gue gak sempet pamit orang rumah, keburu dijemput Indi sama Luna."
Setengah ceritanya tidak berbohong. Ia memang sengaja memasukkan ponselnya ke dalam bak mandi agar dia punya alasan saat Rio atau keluarganya bertanya.
"kenapa gak ngabarin? Telpon rumah lo banyak. Bisa pinjem punya Indi sama Luna juga buat kabarin gue. Lo sengaja mau menghindar dari gue? Biar gue gak ngajakin lo kencan? Biar lo gak ketemu sama gue? Gitu niat lo?"
"Bukan gitu, kan gue gak hapal nomer lo. Kebetulan Indi sama Luna juga gak ada yang simpen, jadi gue gak bisa kabarin. Kemarin mau bilang sama orang rumah kalo hpnya rusak, tapi gak sempet. Pas pulang kuliah udah capek dan ngantuk banget. Lo tau sendiri kemaren badan gue agak anget."
Bola mata Rio sedikit melebar mendengar penuturan Maura. Lelaki itu perlahan mengeluarkan tangannya dari dalam saku dan mengulurkan punggung tangannya ke dahi Maura.
"Gue udah minum obat kemarin, sekarang udah gak demam lagi, 'kan?"
Rio tampak menghela napas panjang, tapi sepertinya dia menerima semua alasan Maura karena berikutnya ia menggandeng gadis itu erat dan membawanya masuk ke dalam rumah. Maura tanpa sadar menghela napas panjang. Untung dia sudah menyusun alibi dengan sempurna. Ditambah lagi, dia sudah menitipkan kamera dan ranselnya pada Indi agar Rio tidak curiga.
"Mandi, siap-siap. Sejam lagi kita makan malam di resto Jepang kesukaan lo. Mau cawan mushi, 'kan? Tiap sakit lo pasti minta makan itu."
"Iya. Makasi banyak udah ngertiin dan inget-inget kebiasaan gue."
"Jelas. Cuma gue yang sayang, peduli, dan tulus sama lo. Awas aja sampe lo sia-siain."
"Gak akan, kok!" ucapnya dengan senyum yang sebisa mungkin terlihat tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...