Ri, Adit bukan Shan. Mereka berbeda. Lo gak akan nemuin apa yang lo cari di diri Adit.
Kalimat Randy masih nyaring menggema di kepala Rima, bahkan setelah satu minggu kalimat itu terlontar dengan lugasnya. Selama satu minggu itu juga, Rima berhenti mengunjungi Adit. Ia sempurna menghilang dari hidup Adit. Setidaknya menghilang secara fisik. Ia masih selalu menanyakan kabar Adit lewat Ayah atau Randy, tapi tak pernah menanyai Adit secara langsung.
Sayangnya, hari ini sepertinya ia tidak bisa menghindar lagi. Ia harus mengisi hiburan di rumah sakit, dan pastinya Adit akan ada di sana. Sejak pagi, ia sudah merancang ribuan kalimat alasan paling masuk akal ketika nanti Adit bertanya kenapa ia tak pernah membalas pesan atau panggilannya. Tapi, tak ada satupun yang terdengar wajar dan bisa diterima oleh Adit.
Argh!
Rima mengacak rambut panjangnya frustasi. Sebenarnya, ia bingung juga kenapa menjauhi Adit, padahal Adit jelas tidak tahu tentang percakapannya dengan Randy. Ia yakin, Randy pun tidak akan menceritakan apapun pada Adit.
Tok, tok, tok!
Kaca mobil Rima diketuk oleh tak lain dan tak bukan adalah Randy. Dengan senyum tipis dan sekantung minuman dari kafe kopi terkenal menggantung di tangan, ia mengode Rima untuk keluar dari mobilnya. Rima menurut meski dengan tarikan nafas panjang. Sambil meraih gitarnya, ia keluar dari mobil, mengikuti Langkah Randy yang sudah tiga Langkah di depannya. Ia berusaha mengejar, sayangnya kaki kecilnya tak sebanding dengan Langkah lebar Randy yang terlihat terburu.
"Ran, kita mau ke mana ini?" tanya Rima hampir seperti berteriak. Randy tiba-tiba menghentikan langkahnya, kemudian berbalik dan menatap Rima dengan tatapan Lelah. Begitu Rima sudah berada dalam jangkauannya, Randy meraih tangan lentik itu dan menggandengnya agar bisa berjalan lebih cepat.
"Ran, lo gak lagi mau bawa gue ke Adit, 'kan?" tebak Rima yang sepertinya tepat sasaran. Rima serta merta menghentikan Langkah sambil menarik tangannya kasar dan berjalan menjauhi Randy. Tak sampai sepuluh langkah, tangannya sudah kembali dicekal oleh Randy.
"Please, ikut gue, Ri!"
"Enggak! Gue gak mau ketemu Adit, Ran. Please, hargai keputusan gue."
Randy bergeming, terus melajukan langkah dengan cengkeraman di lengan Rima yang semakin menguat seiring dengan tenaga Rima yang semakin besar untuk berusaha lepas darinya. Langkah itu semakin lebar, membuat Rima setengah berlari mengikutinya, meski masih dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan cengkeraman tangan Randy dari lengannya.
"Ran, please, gue gak mau!" teriak Rima hampir menangis hingga membuat orang-orang yang ada di sana menoleh, menatap keduanya dengan tatapan penuh tanya. Menyadari dirinya menjadi pusat perhatian, Randy membalik badan. Matanya melebar begitu bertemu pandang dengan Rima yang sudah menangis.
"Gue gak mau, Ran. Gue takut."
"Takut apa? Lo sendiri yang bilang, Adit bukan Shan. Lo gak akan perlakukan mereka berdua dengan cara yang sama. Tapi kenapa lo malah menghindar? Ini yang lo bilang memperlakukan mereka berdua dengan cara yang berbeda? Dengan menjauh. Bego, lo!"
"Gue gak tau gimana ngadepin Adit. Gue gak tau apa yang gue rasain tiap ketemu sama dia. Gue gak bisa bedain perasaan gue sekarang ke Adit sama perasaan gue dulu ke Shan. Gue bener-bener gak tau harus gimana, Ran."
"Paling enggak, jangan terang-terangan ngehindar dan bikin dia jadi kepikiran. Lo tau kan seberapa berbahayanya pikiran negatif buat orang sakit, terutama terminal illness kayak Adit."
Kalimat panjang Randy bagai petir yang menyadarkan Rima begitu saja. Bagaimana bisa dia lupa seberbahaya apa yang sudah ia lakukan pada Adit. Harusnya dia ingat, sehancur apa dulu Shan ketika ia menjauh. Bahkan, ia nyaris kehilangan Shan kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
Ficción GeneralKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...