Maura sejujurnya tidak tahu apa yang sedang ia lakukan sekarang, pun dengan tujuannya. Sudah hampir satu jam ia berdiri di depan papan jalur kereta, menimbang tujuan pelariannya. Jujur, dia tidak memiliki satu pun kerabat atau teman selain di Jakarta. Dibanding Indonesia, dia lebih punya teman dan kerabat di luar negeri. Sayangnya, mereka semua pasti juga mengenal Rio. Bahkan, koneksi Rio di luar negeri juga tak main-main. Namun, jika harus memilih kembali ke rumahnya atau melanjutkan pelariannya, Maura tidak harus berpikir dua kali untuk memilih pilihan ke dua.
"Oke, ke sana aja!" pekik Maura tanpa sadar. Ia segera pergi ke loket, membeli tiket untuk dirinya sendiri tepat ketika pengumuman kereta yang akan ia tumpangi sudah berhenti di stasiun sebelum stasiun tempatnya berada.
Untungnya, ini bukan weekend dan jam yang Maura pilih mungkin juga tidak wajar bagi orang yang ingin bepergian. Jika tidak, Maura mungkin tidak akan mendapatkan tiket dan pelariannya mungkin akan gagal bahkan sebelum ia sempat lari.
Tak sampai setengah jam, kereta yang Maura tumpangi sudah bergerak meninggalkan stasiun, lengkap dengan Maura di dalamnya. Dengan perasaan campur aduk, Maura menatap Jakarta untuk terakhir kalinya. Hatinya benar-benar berharap ia tidak perlu kembali lagi ke kota ini, kembali ke kehidupannya yang dulu, dengan alasan apa pun.
Setitik air mata tiba-tiba mengalir, diikuti dengan tetes-tetes yang lain. Perlahan, air mata itu sudah menganak sungai di pipinya. Ia mencoba menenangkan diri sambil mengatur nafas. Namun, alih-alih tenang, ia justru terisak semakin kencang, bahkan setelah ia membekap mulutnya dengan tas agar orang di sekelilingnya tak melihatnya menangis, isakan itu masih terdengar. Seumur hidupnya, ia tidak pernah setakut dan selega ini. Entah bagaimana, rasa lega itu membuat air matanya tak mampu ia hentikan.
"Mbak, butuh tissue?"
Maura tersentak, matanya membola menatap orang yang baru saja menegurnya. Bahkan tanpa sadar ia menahan nafas dengan detak jantung yang memacu. Sejenak, ia seolah lupa bagaimana caranya bernafas dengan normal.
"Mbak?" Beberapa kali, orang di hadapan Maura menegurnya hingga Maura kembali ke kesadarannya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian menghela nafas lega saat mendapati petugas kereta api yang memanggilnya barusan. Tangannya refleks mengelus dada, menetralkan detak jantungnya yang memburu.
"Mbak, baik-baik aja?" tanya petugas itu dengan tatapan khawatir yang terlihat begitu tulus. Maura tanpa sadar tersenyum, menanggapi ketulusan di mata lawan bicaranya.
"Baik kok, Mbak. Maaf ya udah bikin penumpang lain gak nyaman."
"Enggak kok, Mbak. Kebetulan gerbong ini juga sepi penumpang. Cuma ada 4 orang sama mbaknya. Oiya, ini mbak, tissue. Maaf udah ngagetin mbaknya."
"Gak kok, makasi banyak!"
Maura menerima tissue itu sambil tersenyum tipis. Ia ambil beberapa lembar untuk menghapus air mata di wajahnya sebelum menyimpan sisanya di dalam tas. Petugas kereta api itu tersenyum saat Maura memesan segelas teh hangat dari troli makanan yang sedang ia bawa.
"Semoga perjalanan dan petualangannya di Malang menyenangkan, Mbak."
Seperti wargamu yang begitu ramah, Malang, please be nice!
^^^
"Hai, Malang."
Maura beberapa kali menarik napas panjang. Tubuhnya bersandar di salah satu kursi ruang tunggu. Ia benar-benar tidak punya tujuan sekarang. Ia pun tidak tahu tentang Malang sedikit pun. Sambil mengumpulkan energi dan keberanian, Maura mulai membuka ponselnya, mencoba mencari ke mana ia harus pergi sekarang sebelum ke penginapan yang sudah ia pesan.
"Oiya, ke bank dulu!"
Maura bergegas merubah pencarian di ponselnya dari tempat wisata ke bank terdekat. Ia harus segera melakukan setor tunai dari uang yang ia tarik kemarin. Bisa dikira perampokan jika ia membawa uang sebanyak itu ke mana-mana. Setelah menemukan lokasi bank yang biasa ia gunakan, Maura memesan aplikasi ojek online, jenis transportasi yang mungkin akan menjadi sahabatnya selama di Malang.
Tak sampai 1 jam kemudian, Maura sudah selesai membuka rekening dan menyimpan sebagian besar uangnya ke dalam sana, berharap uang itu akan cukup untuk menghidupinya selama di Malang sampai ia mendapatkan pekerjaan di sini.
"Jadi, ke mana kita," bisik Maura sambil mencari-cari destinasi wisata Malang di instagram.
"Malang punya banyak museum juga ternyata," bisik Maura tanpa sadar. Semakin dalam berselancar di pencarian, Maura semakin merasa rileks. Ia bahkan sudah bisa tersenyum sesekali, membayangkan petualangan baru yang sudah menunggunya.
"Ini boleh juga."
Maura mengangguk tanpa sadar, sudah memantapkan hati dengan tujuannya. Setelah menandaskan kopi yang sejak tadi menemaninya, Maura segera memulai petualangannya.
"Naik angkot oke juga nih. Let's the adventure, begin!"
^^^
Kesan pertama tentang Malang : Ramah!
Maura tidak pernah menyangka, kota yang menurutnya cukup terkenal ini ternyata bersih dan penduduknya ramah-ramah. Meski pendatang yang jelas-jelas tidak mengerti tentang Malang, selama tiga kali berganti angkutan umum, Maura tidak pernah sekalipun dimintai ongkos yang mahal. Semua sama seperti orang lokal pada umumnya. Mereka bahkan mengarahkan Maura ke lokasi yang ia tuju. Sepertinya, pilihannya untuk ke kota ini memang tidak salah. Baru beberapa menit saja, dia sudah terpuaskan.
Maura suka sejarah. Ralat, ia sangat suka sejarah. Maka dari itu, tempat pertama yang Maura tuju adalah sebuah museum yang tak jauh dari stasiun. Belum sampai di sana pun sebenarnya Maura sudah mendapatkan banyak sekali foto. Semua terlihat begitu menarik baginya, bahkan daun yang berjatuhan pun menjadi sumber inspirasinya.
Baru memasuki pelataran parkirnya saja, Maura sudah disambut dengan patung-patung purbakala khas jaman kerajaan. Senyumnya tak luntur sedikitpun, semakin lebar bahkan ketika memasuki bagian dalam museum. Beruntung ia datang tak terlalu siang, museum itu masih sepi. Maura bisa dengan bebas mengambil gambar dan memuaskan keingintahuannya.
"Suka sejarah, ya, Mbak?" Maura hampir menjerit kaget saat suara riang itu menyapanya. Maura mengangguk kikuk, kemudian tersenyum ramah saat melihat tanda pengenal yang menggantung di leher perempuan itu.
"Maaf Mbak, kenalkan saya Rury, salah satu guide baru di sini. Maaf guide utamanya sedang memandu tamu yang lain. Mau saya bantu jelaskan arca-arca yang ada di sini? Ada beberapa yang baru selesai dipugar juga."
"oh ya? Boleh banget. Saya malah baru tau di sini ada guide-nya. Tadi pas pertama masuk sempet bingung mulai dari mana liat-liatnya." Rury tersenyum mendengar penuturan Maura yang terdengar begitu polos. Memang, bagi yang tidak pernah mengunjungi Museum ini, akan sedikit kebingungan dengan alurnya karena banyaknya pintu masuk di museum ini.
"Mari, Mbak. Kita mulai sebelah sini, abad awal agama hindu-budha masuk ke Jawa Timur."
Maura mendengarkan penjelasan Rury dengan seksama. Tangannya tak henti mengabadikan momen yang ada di sana. Ketika pengunjung museum sudah semakin ramai, Maura selesai dengan turnya bersama Rury, membiarkan Rury menyapa tamu yang lainnya. Ia kini sibuk mengabadikan suasana di sana. Mulai dari anak-anak dengan segala keingin tahuannya, juga Rury yang menjelaskannya dengan antusias. Maura tanpa sadar tersenyum melihat Rury bersama dengan anak-anak di sekitarnya. Ia bisa melihat perempuan itu sangat menyukai pekerjaannya, juga anak-anak.
Langkah Maura membawanya masuk lebih dalam ke area museum. Semakin dalam, matanya semakin dimanjakan dengan segala hal yang ada di sana, bersih, rapi, informatif, dan tentu saja sangat klasik. Langkah itu akhirnya terhenti di depan aula besar, tempat foto-foto pemugaran peninggalan bersejarah ditata memenuhi aula.
Alisnya bertaut saat melihat lelaki yang seolah tengah kesakitan. Begitu tubuh itu limbung, Maura tanpa banyak berpikir langsung berlari menghampirinya, menyangga tubuh yang ternyata sangat panas itu agar tidak membentur lantai,
"Hei! Lo kenapa? Mana yang sakit? Mau gue bantu ke rumah sakit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...