"Mas Adit, ada waktu sebentar?" Adit yang tengah memeriksa laporan keuangan galery mendongak, menatap Rinto yang berdiri di ambang pintu. Anak berusia 18 tahun itu tampak menatapnya ragu, tetapi juga penuh harap. Adit akhirnya mengangguk, mengiyakan permintaan Rinto.
"Sini, masuk." Rinto masuk dengan langkah ragu. Di tangannya terdapat map coklat besar yang biasa digunakan orang-orang untuk melamar pekerjaan.
Kening Adit mendadak bertaut. Rinto sendiri sudah menjadi penjaga galery selama tiga tahun ini dengan tugas utama membersihkan seluruh galery. Tak jarang, ia juga membantu Adit dan Randy mengelola galery, menerima tamu yang datang, bahkan membantu mereka menjelaskan tentang lukisan yang ada di sana. Jadi, apa yang Rinto pikirkan kali ini?
"Ada apa?" tanya Adit ketika Rinto tak kunjung membuka mulut. Anak itu hanya duduk di hadapan Adit sambil memainkan tali map yang dia bawa. Tangan itu perlahan mengeluarkan isi yang ada di dalam amplop. Adit semakin mengerutkan kening, mencoba membaca tulisan yang ada di selembar kertas yang Rinto keluarkan.
"Kamu lulus SMP?!" tanya Adit, hampir tak percaya. Rinto mengangguk sambil tersenyum lebar. Ia menyerahkan ijazahnya pada Adit yang langsung diambil tak sabaran.
Mata Adit sempurna berkaca-kaca. Ia benar-benar terharu. Sejak awal ia mendaftarkan Rinto sekolah paket B sekitar dua tahun yang lalu, ia tidak pernah mendengarkan anak itu mengeluhkan tentang banyaknya tugas yang harus dikerjakan, atau sulitnya pelajaran yang diberikan. Rinto selalu menikmati proses pembelajarannya. Bahkan dia yang paling aktif ketika di kelas. Setiap hasil belajar yang diberikan oleh pengajar, selalu menunjukkan nilai yang memuaskan, bahkan hingga kelulusan ini.
"Hebat! Kamu hebat! Bapak di surga pasti bangga banget liat anaknya bisa lulus SMP dengan nilai luar biasa," puji Adit tulus. Memang ada nilai yang tidak terlalu tinggi, tetapi semua angka itu ada di atas standar. Yang mengejutkan, matematika dan seni nya tertinggi, dengan nilai sempurna. Semakin menyelami ijazah yang tengah ia pegang, rasa harunya semakin tinggi. Adit buru-buru bangkit dari tempat duduknya yang langsung diikuti Rinto.
"Anak hebat! Kamu bener-bener hebat!" Adit lagi-lagi memuji Rinto, kali ini dengan menepuk-nepuk pundaknya. Tak puas hanya menepuk, Adit menarik Rinto ke dalam pelukannya. Tak menyangka, pencopet cilik yang mencuri dompetnya lima tahun yang lalu sudah berhasil lulus SMP dengan nilai yang memuaskan.
"Jadi gimana rencanamu ke depannya? Mau langsung lanjut paket C?"
"Boleh, Mas?" tanya Rinto dengan pandangan tak percaya. Sebenarnya, itulah yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Ia ingin meminta Adit menyekolahkannya paket C, tapi dia sadar biaya yang harus dikeluarkan untuk paket C tidak lah sedikit.
"Boleh banget, lah. Nilai kamu memuaskan, sayang kalo gak dilanjut. Kamu bilang mau ngelola galery ini, 'kan? Mas akan sekolahkan kamu setinggi mungkin sampai kamu bisa jadi kepala galery terbaik dan bawa karya kamu ke luar negeri. Itu cita-cita kamu, 'kan? Kamu harus wujudkan itu."
Rinto mengangguk sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali, sempurna menangis hingga tergugu di hadapan Adit. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam, benar-benar bersyukur dipertemukan oleh manusia seperti Adit, yang selalu memikirkan orang lain di atas kepentingannya sendiri.
"Tapi aku gak ada uang, Mas."
"Hei! Emangnya selama ambil paket B mas pernah minta kamu bayar? Enggak, 'kan? Pokoknya kalo butuh apa-apa langsung bilang sama Mas. Bilang Ayah sama Bunda juga boleh. Yang penting bisa cepet lulus."
"Makasi, Mas. Maaf masih terus ngerepotin Mas Adit."
"Udah, udah, jangan nangis. Sekarang kamu balik dulu ke depan, mas mau telpon mas Randy dulu untuk daftarin kamu paket C."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...