Untuk Masa Depan

230 27 2
                                    

Mobil yang dikemudikan oleh Randy berhenti tepat di pelataran yayasan Paramitha, salah satu yayasan yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengadakan pusat kegiatan belajar masyarakat, khususnya kejar paket. Adit yang sudah bangun sekitar lima menit yang lalu mengumpulkan berkas-berkas yang mereka butuhkan, sebelum menyerahkannya pada Randy dan keluar dari mobil.

"Gimana? Udah enakan? Kalo enggak kita ke rumah sakit dulu aja, lumayan dapet injeksi. Gimana?" tanya Randy sambil menyamakan langkah dengan Adit yang berjalan pelan, sesekali tampak goyah. Adit mengangguk sambil tersenyum, tak mengatakan sepatah katapun.

"Kalo gak kuat, bilang. Aku gak mau gendong kalo sampe pingsan."

"Siapa juga yang mau pingsan."

"Dih, bilangnya gitu, ntar tiba-tiba udah geletakan aja di jalan."

"Bisa gak doainnya yang baik-baik?"

"Ya kamunya gak bisa jaga diri. Kalo capek istirahat, kalo badan udah kerasa protes berenti dulu, bukannya malah maksain. Emang nyawa kamu ada cadangannya?"

"Ngomel aja terus. Gak ada bedanya sama Bunda, tau gak?"

"Mending-mending ngomel, itu namanya peduli!"

Keasikan berdebat, keduanya tak sadar sudah sampai di depan pintu ruangan pak Indra, kepala sekolah dari PKBM Paramitha. Belum sempat mengetuk, pintu itu sudah terbuka lebih dulu, menampilkan wajah cerah pak Indra yang tengah tersenyum pada mereka berdua.

"Kalian ini, tiap kali ke sini pasti ada aja yang dijadiin bahan berantem. Sekarang Adit kenapa lagi, Ran?" tanya Pak Indra yang sepertinya sudah sangat hafal dengan tabiat keduanya.

Memang sejak kecil Adit sudah akrab dengan Pak Indra yang juga sahabat Ayah saking seringnya Adit diajak memancing bersama keduanya. Bahkan kadang Pak Indra hanya pergi memancing dengan Adit ketika Ayah sibuk dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ketika Randy datang ke Malang, Adit langsung mengajak Randy memancing bersama Pak Indra yang akhirnya malah lebih bestie daripada Adit.

"Tau tuh, Om. Susah banget dikasih tau. Dikira nyawanya ada sembilan kali." Randy masih melanjutkan omelannya, bahkan sampai ketiganya sudah memasuki ruangan Pak Indra.

"Mau sampe kapan ngomel? Pak Indra sibuk, tau! Gak ada waktu buat dengerin kamu ngomel kayak emak-emak." Lagi-lagi, Pak Indra hanya menggeleng-gelengkan kepala, membiarkan keduanya memuaskan perdebatan sampai puas sebelum memulai bahasan yang lebih serius. Begitu keduanya diam dan menandaskan air mineral yang ada di hadapannya, Pak Indra akhirnya membuka suara dengan mimik wajah yang lebih serius dari sebelumnya.

"Jadi? Siapa si anak beruntung itu sekarang?" tanya Pak Indra antusias. Ia paham, tidak mungkin dua anak muda ini datang menemuinya jika tidak untuk itu.

"Ini, Om. Namanya Rinto. Dia udah lulus paket B beberapa hari yang lalu. Rencananya, kita mau langsung masukin dia ke paket C. Kalo liat semangat dia buat belajar, kayaknya dua tahun cukup buat dia selesaiin paket C dan lanjut kuliah." Pak Indra menerima dokumen yang Adit berikan, memeriksa sekilas nilai-nilainya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Mau dimasukkan ke IPS aja? Kayaknya lebih berpotensi ke sana. Nanti ekstranya disesuaikan sama minatnya dia. Kayaknya seninya bagus, nih. Ini yang jaga galery itu, 'kan? Pas banget, nanti bisa langsung praktek di galery."

"Boleh, sih, Om. Kemaren anaknya juga pengennya gitu. Nanti minta tolong aturin aja, Om. Yang penting pelajaran agama sama akhlaknya gak ketinggalan. Selebihnya terserah aja. Biar kayak padi, semakin tinggi ilmunya semakin merunduk," ucap Adit, memasrahkan segala bentuk pembelajaran Rinto ke depannya pada Om Indra. Ia yakin Om Indra lebih tahu tentang itu daripada dirinya.

The Painter and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang