"Ran, minum," ucap Adit lirih sambil berusaha untuk bangun. Sakit di kepalanya masih menyiksa, tapi sudah tidak semenyiksa tadi. Tubuhnya juga sudah tidak menggigil. Sepertinya, demamnya sudah turun. Mungkin juga karena cairan infus yang mengalir dari punggung tangannya, tubuhnya sudah tidak selemas tadi. Randy yang sedang serius dengan laptop di tangannya buru-buru melompat mendekat, mengambil botol minum lengkap dengan sedotan di sampingnya.
"Jam berapa?" tanya Adit setelah membasahi tenggorokannya dengan air. Hanya sedikit yang bisa masuk, mulutnya masih pahit. Mual sekali saat air itu mencoba melesak ke lambungnya.
"Jam 3 sore. Tadi Bunda sama Ayah sempet nanya kita ada di mana, aku bilang masih ngajakin Andy sama Rury makan rujak cingur di tempat biasa. Bunda sampe ngingetin buat kamu gak usah pesen yang ada cingurnya, nanti masuk RS lagi."
Adit mengangguk mengerti. Dalam hatinya bangga pada Randy, tanpa disuruh pun sahabatnya itu dengan suka rela berbohong pada orang tuanya. Kalau mereka tahu Adit kembali berakhir di rumah sakit setelah dua hari yang lalu baru saja selesai rawat inap, mereka pasti kalang kabut.
"Siksa aja terus itu badan yang udah kayak bambu. Biar sadar, cinta itu gak bisa dipaksa. Rena udah bahagia, Dit. Move on lah!"
"Berisik!" Adit menendang pantat Randy yang kebetulan tengah berdiri membelakanginya, sepertinya hendak kembali ke sofa tempat laptopnya berada.
"Andy mana?"
"Balik, abis nganterin anak-anak. Kasian Rury, lagi hamil muda, mual-mual terus. Apalagi bau rumah sakit gini. Dia bahkan belum tau kamu di rumah sakit ini."
"Kamu bawa aku ke sini sendiri? Hebat juga."
"Ya kali, badanmu kurus tapi tetep berat! Tadi dibantuin Maura."
"Maura?"
Tepat saat Randy akan menyebut tentang Maura, gadis itu melangkah masuk ke dalam ruang rawat Adit dengan beberapa kantung plastik di tangannya. Ia langsung meletakkan kantung plastik itu di atas meja dan mengambil satu botol air mineral dingin dari dalamnya.
"Eh, udah sadar?"
"Kamu, siapa?"
"Sungkem sama dia. Kalo gak ada dia udah dimakan semut kamu di aula!"
Adit mengerutkan keningnya, bingung. Samar, ia mengingat mata hazel yang ia lihat tepat sebelum kesadarannya terenggut. Ketika wanita itu semakin mendekat, Adit semakin yakin bahwa wanita inilah pemilik mata hazel itu.
"Oh, Mbak yang nangkep saya tadi, ya? Maaf ngerepotin, Mbak!"
"Enggak kok. Kebetulan aja ada gue. Jaga kesehatan makanya, banyak yang bakal sedih pasti kalo lo kenapa-kenapa."
"Iya, makasi banyak, Mbak."
"Ya udah, berhubung lo udah sadar, gue balik kalo gitu."
"Eh, tunggu. Udah dapet hotel? Di mana?"
"Belom,sih. Ada hotel yang bagus, gak? Bingung mau nginep di mana," ucap Maura jujur. Ia memang belum memutuskan untuk menginap di mana, meskipun ia sudah beberapa kali mencari referensi hotel di Malang yang memiliki view indah.
"Nginep tempat gue aja, villa sih, tapi cocok pasti sama selera lo. Tenang aja, gak ada yang nempatin kok. Ada penjaganya juga dan pastinya gak serem tempatnya. Siniin hp lo, gue kasih alamatnya."
"Puji Tuhan, gak salah emang gue ke Malang, ketemu orang baik terus!"
^^^
"Mbaknya bukan asli Malang, ya?" tanya supir taksi yang Maura naiki beberapa detik yang lalu. Maura menjawabnya dengan anggukan dan senyum tipis, hanya sebagai sopan santun. Tubuhnya mendadak diserang lelah yang berlebihan, dan dia hanya ingin segera sampai ke villa, merebahkan tubuhnya yang kaku.
Menyadari keengganan Maura untuk berbicara, supir itu akhirnya menyalakan musik untuk memecah keheningan dan menemaninya membelah jalanan. Maura pun memilih menyandarkan kepalanya ke bantal yang digantungkan di kursi mobil. Ia memejamkan matanya, sementara pikirannya kembali berlarian ke sana ke mari.
Maura terbangun saat mersakan laju mobil yang melambat. Rupanya, ia tak sadar sudah benar-benar tertidur pulas selama hampir 1 jam perjalanan. Sekarang, mereka sedang memasuki sebuah pelataran dengan pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Di depan, seseorang yang sepertinya adalah penjaga Villa sedang mengarahkan mobil untuk bisa parkir.
Mobil yang Maura tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah bergaya minimalis yang sebagian besar dindingnya berbahan dasar kayu yang tak dirubah warna. Begitu pintu mobil dibuka, Maura langsung bisa mencium aroma segar pepohonan yang beradu dengan embun. Udara dingin juga mulai menyerangnya, membuat rasa lelah Maura sedikit terobati. Tanpa sadar ia tersenyum, rindu sekali dengan suasana setenang ini.
"Selamat datang di Villa Pelangi, Mbak Maura. Kenalin, Mbak. Saya Parman. Tadi Mas Randy sudah telpon, katanya Mbak Maura mau menginap di sini selama di Malang. Kamarnya sudah saya bersihkan. Kulkas juga sudah saya isi sesuai instruksi Mas Randy. Kalo ada perlu apa-apa bisa panggil saya. Rumah saya di belakang villa persis. Nanti istri saya yang bagian bersih-bersih rumah sama masak."
Pak Parman membantu Maura memasukkan barang bawaan Maura yang sempat ia beli sebelum menuju villa tadi. Tak banyak sebenarnya yang Maura beli. Hanya keperluan harian dan beberapa pakaian santai. Nanti ia akan membeli lagi yang ia perlukan. Untuk saat ini, ia hanya ingin berbaring.
"Ini kunci rumahnya, Mbak. Saya permisi dulu ke belakang."
"Makasi banyak, Pak!"
Maura melihat-lihat villa yang ia tempati, lantai kayu yang mengkilap, dinding kayu yang bersih terawat, dan perabotan minimalis dengan dominasi warna putih yang terlihat begitu pas dengan ruangannya. Maura mengakui, segala hal di sini benar-benar ditata dengan selera yang sangat baik. Villa ini memang dikhususkan untuk orang yang ingin bersantai dari hiruk pikuk dunia sepertinya.
Langkah kaki Maura kali ini membawanya ke kamar yang tadi ditunjuk oleh Pak Parman. Tak begitu besar memang, barangkali hanya sepertiga dari luas kamarnya yang ada di Jakarta. Tetapi tempat tidur itu terlihat hangat dan nyaman dengan nuansa putih seperti perabotan yang lain di rumah ini, kontras dengan dinding dan lantainya yang terbuat dari kayu berwarna coklat mengkilap.
"Jadi pengen mandi air anget terus tiduran di atas sini sambil baca buku. Kayaknya bakal nyaman banget. Apalagi kalo ada coklat panas."
Baru akan merebahkan tubuhnya di kasur, sinar matahari sore yang menyeruak masuk dari jendela besar di hadapannya menarik perhatian Maura. Berkas-berkas sinar itu menerangi kamarnya dengan cahaya kemerahan yang redup. Di samping jendela itu, ada sebuah pintu yang menuju ke balkon.
Maura memutar kunci yang masih menggantung di lubangnya dan melangkah keluar. Di bawahnya, ia bisa melihat pekarangaan belakang yang luas. Pohon-pohon dan rumputnya terpangkas rapi. Bahkan, ada juga kolam renang berukuran sedang dan gazebo kecil di dekatnya.
Rasa lelah Maura menguar sempurna. Alih-alih membaringkan tubuh sesuai niat awalnya, Maura justru mengambil kamera yang baru beberapa menit lalu ia letakkan di meja. Ia mulai membidik pemandangan di sekitarnya dari balkon kamar. Tak puas dengan itu, ia bahkan berlari ke luar kamar, mengabadikan pemandangan yang jauh lebih luas dari yang bisa ia jangkau lewat balkon.
Malang, terima kasih untuk sambutannya yang begitu indah, lengkap dengan orang-orangnya yang begitu baik. Semoga tetap ramah dan menyenangkan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...