Harapan Terakhir

201 28 2
                                    

Ayah menatap Adit yang tengah terbaring tak berdaya itu dengan tatapan nanar. Tak ada Bunda yang biasa berdiri di sampingnya sambil menggenggam erat tangannya. Wanitanya itu tengah berada di IGD, jatuh pingsan setelah tak mampu melihat Adit dikerumuni banyak orang dengan kondisi henti jantung dan nafas. Cukup lama Dokter Danu dan para dokter lain mengembalikan detak jantung dan nafas Adit. Setelah kembali pun, detak jantung itu masih tak stabil, membuat Dokter Danu akhirnya memutuskan untuk membawa Adit ke ICCU yang langsung disetujui oleh Ayah meski dengan penuh kebingungan.

"Jantungnya kenapa?" tanya Ayah setelah menandatangani dokumen persetujuan. Dokter Danu sebenarnya belum memiliki jawaban pasti karena dia juga belum melakukan pemeriksaan lebih dalam. Dokter Danu akhirnya meminta timnya untuk membawa Adit lebih dulu sementara ia membawa Ayah duduk di sofa ruang rawat Adit sambil mengurai ketegangan dari pria paruh baya itu.

"Diagnosa awal, penumpukan cairannya tidak hanya di paru-paru, tapi juga ada di sekitar lapisan jantung. Nanti kita juga akan cek kadar kalium dalam darahnya. Sepertinya kaliumnya tinggi juga. Itu bisa jadi salah satu penyebab Adit gagal jantung tadi."

"Masih ada harapan, 'kan? Gak mungkin semua organnya tiba-tiba rusak gitu aja, 'kan? Masih bisa disembuhkan, 'kan?" tanya Ayah takut-takut. Rasanya, ilmu kedokteran yang selama ini ia miliki menguap ketika harus berhadapan dengan kondisi Adit.

"Kita usahakan yang terbaik, Pak. Semaksimal kita."

"Terima kasih banyak."

Dokter Danu memberikan pelukan dan tepukan di punggung sebelum meninggalkan Ayah yang masih mencoba mengontrol segala emosi yang muncul sebelum menemui Bunda di IGD. Wanitanya itu belum sadar. Tekanan darahnya rendah, saturasi oksigennya pun tak baik. Dokter jaga tadi mengatakan suhu tubuh Bunda cukup tinggi. Bagaimana bisa ia tidak tahu Bunda sedang sakit padahal ia bersama dengannya sepanjang hari?

Ayah mengusap wajahnya dan menarik nafas panjang. Ia merasa gagal baik sebagai suami maupun Ayah. Ia gagal menyadari perubahan fisik anaknya yang menjadi indikasi gagal ginjal yang ia alami. Ia pun gagal menjaga istrinya, hingga tak menyadari mental dan fisiknya yang jatuh hingga wanitanya tak mampu menahannya lagi.

"Ayah?"

"Bunda, gimana? Pusing gak? Mau minum?"

"Adit?"

"Masih ditangani. Jangan khawatir. Mereka tau yang terbaik buat Adit."

"Bunda mau liat Adit, Yah."

"Nanti, ya? Bunda istirahat dulu."

"Tapi Adit gak pa-pa, 'kan? Tadi kenapa sampe biru gitu?"

"Gak pa-pa. Udah gak biru lagi anaknya. Aman."

"Ya udah kalo gitu, Yah."

"Bunda kenapa gak cerita kalo lagi gak enak badan? Tadi tinggi banget lo Bun demamnya. Hampir 40."

"Adit juga sakit, Yah. Tapi gak pernah ngeluh."

"Bukan mengeluh, Bun. Tapi jujur sama diri sendiri. Kasian badannya kalo gak ditangani dengan baik. Kalo makin parah nanti malah gak bisa nemenin Adit."

"Maaf, Yah."

"Gak pa-pa, Bun. Habis ini apa-apa harus cerita sama Ayah, ya? Kalo ada yang dikhawatirin juga, harus cerita. Bunda gak sendiri, ada Ayah, ada Randy. Kita sama-sama buat Adit, ya?"

"Iya."

"Ya udah, Bunda istirahat lagi. Ayah temenin di sini."

Ayah meraih tangan Bunda yang bebas dari selang infus, menggenggamnya sambil membelai punggung tangannya, mencoba memberikan kenyamanan pada wanita yang ia cintai itu di tengah ketakutannya sendiri. Lama-lama, Ayah membawa tangan Bunda mendekati wajahnya, menempelkan tangan yang juga tertaut dengan tangannya itu ke dahi sambil memejamkan mata, mencoba menetralkan segala rasa takut dan marah yang menguasai hatinya.

The Painter and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang