Pagi-pagi sekali, Randy sudah ada di kamar rawat Adit dengan tangan penuh dengan paperbag bertuliskan salah satu toko ATK ternama di Malang. Adit yang baru saja selesai dengan ritual paginya menatap sahabatnya itu keheranan. Meski begitu, ia tak banyak bertanya. Pandangannya dengan mudah teralihkan pada langit yang kini terlihat begitu cerah, biru yang indah. Biasanya, ia dan Randy sudah ada di pantai di sisi bagian selatan kabupaten Malang. Melukis dengan tenang sambil mendengar debur ombak yang menabrak karang.
"Nih." Adit mengerutkan keningnya melihat benda yang Randy sodorkan. Sebuah sketchbook tebal dengan satu set pensil dan satu set pensil warna berbahan kayu.
"Kamu pasti pengen ngelukis, 'kan? Ribet kalo ngelukis sekarang, apalagi badan kamu belum terlalu kuat buat lama-lama duduk tegak. Gambar aja, ya? Kalo ini kan sambil agak baringan kan bisa." Adit menatap Randy dan sketchbook di hadapannya bergantian. Cukup lama hingga akhirnya Adit mengangguk sambil tersenyum tipis, menerima satu lagi hal favoritnya yang tak bisa ia lakukan.
"Makasi," kata Adit sambil meraih semua itu. Melukis dan menggambar memang dua hal yang jauh berbeda bagi Adit. Perasaannya saat melukis tidak bisa ia temukan ketika menggambar. Tapi daripada hanya memandangi langit, ini jelas jauh lebih baik.
"Jendelanya boleh dibuka, gak ya?" tanya Adit sambil menatap langit. Sayangnya, Randy menggeleng sebagai jawaban. Udara bisa saja membawa penyakit, dan dia tidak mau tubuh Adit yang sudah sangat rentan terkena penyakit itu menyerap semua virus dan bakteri yang dibawa oleh udara.
"Oke gak masalah, ini udah cukup, kok. Gak usah sedih gitu mukanya. Gak pantes sama badan gedhemu."
"Nanti sore kalo hasil visit Dokter bagus, kita jalan-jalan ke sekitar rumah sakit, ya? Pake masker tapi. Siapa tau bisa jadi inspirasi. Daripada cuma di kamar, terbatas jendela pandangannya." Adit mengangguk sekenanya. Ia sudah fokus menggoreskan pensil pada kertas sambil sesekali memandang ke luar. Selang oksigen yang bertengger di hidungnya untuk membantu nafas seolah tak ada. Randy tersenyum senang. Pilihannya membawa sketchbook sepertinya tidak salah.
"Aku duduk di sofa sana sambil ngerjain design, ya? Kalo butuh apa-apa panggil aja." Kalimat Randy kembali mendapatkan jawaban singkat berupa anggukan tanpa pandang. Randy pun tak protes. Adit selalu seperti itu ketika sudah fokus dengan sesuatu.
Randy diam-diam mengambil kamera dari atas meja dan mulai mengabadikan Adit yang tengah serius menggambar. Seperti dugaannya, bahkan suara keras dari jepretan kamera tak mengganggunya sama sekali. Ia tetap fokus dengan sketchbook di depannya. Kini Randy mengerti kenapa sesuka itu Maura dengan seni potret. Karena lewat lensa yang sederhana itu, ia bisa membekukan kenangan yang mungkin tak akan pernah terulang.
"Kemarin kerja, sekarang nggambar. Bener-bener deh, ya?"
Adit dan Randy kompak tersenyum lebar mendengar keluhan Bunda yang baru saja masuk sambil menenteng hasil belanjaannya dari supermarket dekat rumah sakit. Muka itu tampak kesal, tapi Randy yakin dalam hatinya bahagia melihat anaknya kembali semangat seperti biasanya.
"Mau jus jambu, gak? Tadi Bunda bikin. Udah konsul sama dokter, bagus katanya buat naikin trombosit. Ya entah ngaruh atau enggak, ya? Kan trombosit kamu dimakan, bukan gak bisa bikin."
"Siniin, Ran. Nangis lagi nanti Bunda kalo kebanyakan ngomong."
"Dasar!" Randy terkekeh mendengar percakapan keduanya sambil mengambil alih paper bag berisi jus jambu yang Bunda maksud.
"Kok ada dua, Bun?"
"Lah, anak bunda kan dua, masa iya satu dibikinin satu enggak. Ya harus sama-sama dibikinin, dong." Ucapan Bunda berhasil membuat Randy terdiam untuk beberapa saat sambil memandangi paperbag di tangannya. Bunda dan Adit kompak menatapnya yang lama-lama berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...