"Bun, sebentar lagi jamnya kunjungan. Mau ketemu Adit?"
Bunda yang baru diizinkan untuk menemui Adit sejak kejadian pingsannya tiga hari yang lalu tersenyum senang. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan putranya. Ayah tidak pernah mengambil gambar Adit selama di ICCU, membuat Bunda rindu setengah mati pada putra semata wayangnya itu.
"Bun, apapun yang Bunda liat nanti, semua itu yang terbaik buat Adit, ya? Kita serahkan semuanya ke tim dokter yang lebih paham harus bagaimana dengan Adit."
Ayah memang sengaja tidak menjelaskan apapun tentang Adit pada Bunda, takut hal itu justru membuat Bunda semakin drop. Setiap kali bertanya, ia selalu mengatakan Adit dalam kondisi yang baik, tapi masih memerlukan penanganan khusus dari tim dokter, dan Bunda percaya.
"Adit kenapa, Yah?"
"Yuk, kita liat Adit."
"Yah?"
Ayah yang berjalan beberapa langkah di depan Bunda sambil menarik tangan wanitanya itu akhirnya menghentikan langkah. Ia tanpa sadar memejamkan mata dan menarik nafas panjang sebelum berbalik dan menatap Bunda lekat. Yang ditatap tentu saja kebingungan. Apalagi dengan mata nanar di balik senyuman tipis itu.
"Adit kenapa, Yah?"
"Ayah jelasin sambil liat Adit, ya? Daripada Bunda gak bisa lihat Adit hari ini. Waktu kunjungannya gak banyak. Yuk?"
Bunda menurut, mengikuti langkah Ayah yang semakin cepat seiring dengan detak jantungnya yang juga semakin memburu. Dibawa ke lorong yang Bunda tak pernah datangi sebelumnya, ketakutan Bunda semakin tinggi. Tangannya bahkan sudah berubah dingin dan Ayah menyadari hal itu. Ia berhenti, tersenyum pada Bunda sambil memeluknya lembut.
"Tenang, Bun. Adit di tangan orang-orang profesional. Mereka tau apa yang terbaik buat Adit. Bunda percaya, 'kan?"
Meski masih ketakutan, Bunda mengangguk. Ia memejamkan mata, mengatur nafasnya yang memburu agar lebih teratur. Setelah tenang, ia akhirnya kembali melangkah, membiarkan Ayah membimbingnya ke tempat Adit berada. Di dalam ruangan, Randy tengah mengobrol dengan petugas yang ada di sana. Begitu melihat Bunda, Randy keluar dan membuka maskernya sambil tersenyum lebar.
"Adit udah nungguin Bunda. Dari kemarin kalo diajak ngobrol tentang Bunda pasti responnya bagus. Kangen diomelin kayaknya, Bun."
"Yuk, Bun. Kita pakai baju sama bersih-bersih dulu sebelum ketemu Adit."
Bunda tak membuka mulut sama sekali. Masih syok dengan kondisi putranya yang penuh dengan peralatan medis. Apalagi alat bantu nafas yang dimasukkan paksa ke mulutnya itu, pasti begitu menyakitkan. Sambil membersihkan diri, Bunda tanpa sadar menitikkan air matanya. Sakit sekali melihat anaknya dalam kondisi seperti itu. Menyadari hal itu, Ayah buru-buru menarik Bunda ke dalam pelukannya.
"Nanti di dalem gak boleh nangis, ya? Adit kangen banget sama Bunda dan Adit sering minta Bunda gak berubah, 'kan? Omelin kalo dia nakal, kasih semangat biar cepet sembuh."
"Ya Tuhan," bisik Bunda lirih. Masih tidak terima dengan takdir yang Tuhan tetapkan untuk anaknya. Berat sekali. Padahal Adit adalah anak Tuhan yang begitu taat dan baik.
"Yuk, Bun. Di dalam harus satu-satu, Ayah tunggu di luar sama Randy, ya?"
Tak ada jawaban, tapi langkah kaki Bunda berjalan mantap memasuki ruang ICCU. Bunda sekilas menyapa petugas di dalam dengan anggukan pelan, kemudian segera menghampiri Adit yang tengah terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...