Negosiasi dengan Tuhan

291 33 2
                                    

Kali ini, Ayah berdiri di depan pintu rawat berwarna coklat tempat Adit berada. Dari celah kaca yang ada di pintu, Ayah bisa melihat Adit yang tengah tertidur dengan masker oksigen menutupi hampir setengah wajahnya. Matanya memanas. Tak pernah sedikitpun ia membayangkan akan berada dalam kondisi seperti ini. Melihat anaknya sendiri harus berjuang dengan penyakit mematikan.

Meski ragu, ia akhirnya membuka pintu itu, berjalan lunglai penuh rasa bersalah. Semakin besar ketika ia mengikis jarak dengan Adit. Tubuhnya terjatuh begitu saja di kursi yang ada di samping ranjang. Tangan anaknya begitu kurus, pucat, dengan beberapa memar terlihat jelas di lengan yang terbuka itu. Sejak kapan Adit sekurus ini? Sejak kapan Adit merasa tubuhnya tidak baik-baik saja? Kenapa sebagai ayah, ia tidak menyadari ada yang berbeda dari putranya?

Tangan Ayah perlahan meraih tangan kurus itu, dingin sekali, sejak kapan tangan ini jadi sedingin itu? Kemana kehangatan yang selama ini ia genggam? Air mata Ayah mengalir begitu saja, menetes pada tangan yang ia genggam. Buru-buru Ayah menghapusnya, takut Adit akan terbangun.

Tak kuasa menahan tangis, Ayah menelungkupkan kepalanya, sambil terus menggenggam tangan Adit. Sakit sekali hatinya melihat anaknya dalam kondisi seperti ini. Apalagi bukan hanya alergi makanan yang sedang menyakitinya, tetapi penyakit mematikan yang bisa membuatnya kehilangan putra semata wayangnya ini untuk selama-lamanya. Jika boleh, jika bisa, ia akan dengan senang hati memindahkan seluruh rasa sakit Adit padanya. Anaknya harus sehat, hidup jauh lebih lama dari orang tuanya.

"Ran?"

Suara serak disertai tepukan pelan di kepalanya membuat Ayah buru-buru menghapus air matanya dan mendongak, menatap Adit yang menyipit, sepertinya mencoba memfokuskan pandangan padanya. Mata itu tiba-tiba melebar, bahkan tubuhnya sampai mundur sedikit.

"Ayah?"

"Iya, Ayah di sini. Ada apa? Adit butuh apa? Ada yang sakit?" Adit mengerutkan keningnya, masih bingung kenapa ada ayahnya di sini. Sayangnya, sensasi mual yang membangunkannya dari tidur semakin terasa, hingga Adit melupakan pertanyaannya, melepas masker oksigen yang menutupi area nafasnya dan bergerak menyingkap selimutnya dengan tergesa.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Ayah panik. Melihat gerakan tangan Adit yang membekap mulutnya dan suara muntah yang tertahan, Ayah buru-buru mengambil wadah yang paling dekat dengan posisinya saat ini dan meletakkan di dekat wajah Adit. Sambil menahan tangis, Ayah mengurut tengkuk Adit, berusaha membantu mengurangi rasa tak nyamannya.

"Udah, Yah." Ayah mengangguk, menjauhkan muntahan Adit dan buru-buru membantu Adit kembali berbaring ke tempat tidur. Setelahnya, Ayah mengelap bibir Adit dari bekas muntahannya, sebelum mengambil selembar tissue lagi untuk menghapus keringat di wajah Adit yang membanjir.

"Gak mau dipake lagi masker oksigennya? Ini saturasinya belum tinggi." Ayah hendak memasangkan kembali masker oksigen yang dimaksud, tapi Adit justru langsung menolak sambil menatap ayahnya dengan tatapan nanar.

"Ya udah kalo gak mau. Nanti kalo sesek dipake lagi, ya? Sekarang gimana rasanya, Nak? Ada yang sakit?" tanya Ayah lembut. Ayah memang tidak pernah berbicara kasar pada Adit, sedikitpun. Dibandingkan Bunda, Ayah yang lebih sering memanjakan Adit, membebaskan apapun yang Adit mau, dan mendukung semua yang Adit lakukan.

Mendengar pertanyaan Ayah yang begitu lembut, air mata Adit merebak. Tak lama, air mata itu sudah mengalir lewat sudut matanya diiringi isakan. Buru-buru Adit menutupi matanya dengan lengannya sambil terus terisak. Dengan lembut, Ayah mengangkat tubuh Adit, membawanya ke dalam pelukan dan membelai punggungnya.

"Kamu takut pulang, ya kemarin-kemarin? Kenapa, Nak? Takut Ayah sama Bunda sedih tau kondisi Adit? Kenapa harus takut, Nak? Harusnya malah kamu langsung kabari Ayah kalo sakit. Maafin Ayah sama Bunda, ya? Belum bisa lahirin kamu dalam kondisi sempurna." Getar di suara Ayah membuat tangis Adit semakin deras. Tak sanggup mendengarkan kekecewaan Ayah.

The Painter and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang