Maura berdiri dengan ragu di depan rumah Adit. Tangannya sejak tadi ingin menekan bel, tetapi hatinya gentar. Perasaan bersalah masih menyelimuti hatinya lekat-lekat. Bunga mawar kuning yang ia bawa untuk ibu Adit dan sekeranjang buah tergenggam erat di kedua tangan. Ingin rasanya Maura berbalik, kembali ke villa, tapi ia harus meminta maaf langsung pada orang tua Adit karena sudah membuat anaknya terluka.
"Mbak, mau ketemu mas Adit, ya?" Maura menoleh, menatap wanita yang usianya tak jauh beda darinya itu sambil tersenyum kikuk.
"Iya, Mbak. Ada?"
"Ada, kok. Tadi lagi sama Ibu di taman belakang. Mari masuk, Mbak. Saya antar ke sana."
Maura menatap pintu gerbang yang akhirnya terbuka itu sambil menghela nafas panjang. Hanya dengan melihat halaman rumah Adit yang luas dengan bangunan rumah tinggi di ujungnya, membuat keraguan Maura semakin tinggi. Namun, Maura tetap melangkahkan kakinya meski dengan langkah yang jelas penuh keraguan.
taman luas penuh bunga yang biasanya bisa mengalihkan perhatian Maura, kini seolah tak terlihat. Tangannya dingin, sedingin kakinya yang terus melangkah mengikuti langkah wanita di hadapannya. Begitu berbelok ke area taman belakang yang ternyata jauh lebih luas dan indah, langkah Maura mendadak membeku.
Wanita paruh baya dengan baju rumahan sederhana dan rambut yang digulung ke atas itu terlihat tengah menyiangi tanamannya. Wajahnya yang terlihat lembut dan ramah itu tersenyum pada lawan bicaranya yang Maura kenali sebagai salah satu anak jalanan yang bekerja di butik. Bunda, begitu orang-orang memanggilnya, kini berbalik menatapnya dengan tatapan lembut dan senyum yang tak luntur dari wajahnya.
"Sini, Mbak. Duduk sini. Biar mbaknya panggilin Mas Adit dulu."
Suara lembut itu akhirnya menggerakkan kaki Maura. Ia berjalan mendekat, memberikan bunga serta buah yang ia bawa pada anak yang sejak tadi berdiri di belakang Bunda, kemudian duduk di samping Bunda dan mencium tangan Bunda dengan penuh rasa bersalah.
"Temennya Adit? Kok Bunda belum pernah lihat, ya? Namanya siapa?"
"Maura, Tante," jawab Maura lirih sambil sedikit menunduk. Lewat sudut matanya, Maura bisa melihat perubahan ekspresi Bunda yang terlihat tidak suka setelah mendengar namanya.
"Ada perlu apa Nak Maura ke sini?" Persis seperti dugaan Maura, nada suara Bunda berubah menjadi dingin seketika setelah mendengar namanya. Ya, Maura tidak berharap lebih, terutama setelah membuat tangan puteranya yang begitu berharga sampai seperti itu.
"Maura mau minta maaf udah bikin tangan Adit kayak gitu, Tante." Helaan nafas panjang dari Bunda semakin membuat rasa bersalahnya menggunung, apalagi ketika Bunda menarik tubuh Maura untuk berhadapan dengannya.
"Nak Maura sehat? Ada yang luka?"
"Sehat, Tante. Gak ada luka sama sekali."
"Syukur kalo gitu. Diminum dulu, Nak. Itu kue kering bikinan Bunda sendiri. Coba, enak kok kata anak-anak."
Maura tanpa sadar menatap Bunda yang tengah tersenyum padanya. Anggukan kepala Bunda seolah menyuruhnya untuk mengambil kue kering dan minuman di meja. Bunda sendiri juga mengambil cangkir tehnya, menyesapnya sebelum meletakkannya ke atas cawan. Maura mengikuti, mengambil kue kering dan minumannya. Benar, kuenya enak. Jauh lebih enak dari kue mahal yang pernah Maura makan.
"Gimana? Enak, 'kan?"
"Iya, Tante."
"Nak Maura udah pernah lihat lukisan Adit?" Maura mengangguk, menanggapi pertanyaan yang Bunda lontarkan baru saja.
"Gimana menurut Nak Maura?"
"Lukisannya bicara. Tentang perasaan Adit saat melukis, tentang suasana ketika dia melukis, juga tentang hal yang menjadi objek lukisannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...