Randy sudah memarkir mobilnya di parkiran museum, menunggu Adit yang masih belum juga sampai. Perasaannya sudah tidak menentu, takut ada apa-apa di jalan. Apalagi, kondisi Adit terlihat sangat buruk tadi saat mereka berhenti untuk mengisi BBM. Jauh lebih buruk dari pagi tadi. Padahal yang pagi tadi saja sudah terlihat mengerikan.
"Mas Randy ndak mau telpon Mas Adit? Tanya lagi di mana gitu," tanya Amir, anak yang duduk tepat di sampingnya. Randy sebenarnya sudah mempertimbangkan hal itu, tapi takut itu justru mengganggu konsentrasi Adit mengemudi.
"Lima menit lagi, deh. Kalo lima menit ndak muncul juga, Mas telpon." Amir mengangguk, ikut menatap ke arah gerbang masuk museum. Tangannya sesekali mencomot snack yang ada di pangkuannya. Untuk ukuran anak jalanan, bisa belanja ke supermarket dan makan snack yang sama seperti yang dimakan orang-orang kaya adalah kenikmatan luar biasa. Mereka selalu bersyukur bisa bertemu dan akrab dengan Adit dan Randy. Karena mereka, meski sebentar mereka bisa merasakan hidup normal.
"Itu mobil Mas Adit!" Amir refleks berteriak saat melihat mobil Adit perlahan memasuki pelataran museum. Anak-anak di belakang pun ikut bersorak, terlebih saat mobil putih besar itu parkir tepat di samping mereka. Belum juga sempurna terparkir, anak-anak sudah berebut turun, begitu juga dengan anak-anak di mobil Randy. Mereka melompat kegirangan melihat bangunan museum yang biasanya hanya bisa mereka lihat dari luar saat mengamen.
Tok! Tok!
Randy mengetuk kaca di sebelah Adit, tidak sabar menanti sahabatnya itu keluar dari mobil. Alih-alih menurunkan kacanya, Adit membuka sedikit pintu mobilnya, memberi ruang untuk Randy menyingkir sebelum membuka lebih lebar dan keluar dari tempatnya duduk. Sejenak, ia memejamkan mata, menghalau pening dan menetralkan pandangannya yang menggelap.
"Lama banget datengnya. Ada masalah?" tanya Randy khawatir. Ia bahkan melihat mobil Adit, mencari tanda-tanda yang tidak biasa dari mobil itu, entah goresan atau penyok. Siapa tahu sahabatnya itu kecelakaan karena mengantuk setelah minum obat.
"Maaf lama, kena lampu merah berkali-kali, padahal udah ngebut ngejar kalian," terang Adit pelan. Randy tanpa sadar menghela napas lega sambil menepuk Pundak Adit pelan.
"Untung deh kalian baik-baik aja. Udah hampir puter balik nih kalo kalian gak muncul-muncul."
"Suka lebay, deh! Itu hp puluhan juta gak bisa buat telpon?"
"Iya juga. Mana kepikiran."
"Mas! Masuk kapan?!" teriak Amir yang ternyata sudah beberapa langkah mendahului Adit dan Randy. Keduanya saling pandang, kemudian tertawa pelan. Anak-anak itu pasti sudah tidak sabar bermain sambil belajar di sana.
"Yuk, masuk. Hari ini lumayan sepi kata penjaganya. Buku catatan sama bolpennya jangan lupa dibawa. Nanti yang dijelasin sama petugasnya Mas tanyain. Kalo bisa jawab dapet kaos lagi, lengkap sama celananya."
Anak-anak langsung bersemangat mendengar perkataan Adit. Baju baru tentu selalu menjadi kesukaan mereka. Belum tentu setahun sekali mereka bisa membeli baju baru, apalagi ini gratis. Siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan emas?
Adit membiarkan anak-anak berjalan duluan memasuki museum. Di depan museum memang sudah ada Andi, temannya yang hari ini akan menemani anak-anak di dalam sekaligus memberikan penjelasan. Ia juga sudah meminta Andi menyiapkan beberapa kuis untuk mereka setelah selesai tur.
Di belakang, Randy dan Adit berjalan beriringan dengan pelan. Sesekali Randy melirik Adit yang berjalan agak sempoyongan. Keringatnya masih deras mengalir, sementara ia justru merapatkan hoodie berlapis jaket yang ia kenakan. Anak-anak sendiri sudah tak terlihat, asik menjelajah museum bersama Andy yang sekaligus menggantikan tugas mereka menjaga anak-anak.
"Bentar, Ran." Adit tiba-tiba berhenti, berpegang pada tembok sambil mengatur napas. Ia terlihat terengah, padahal jarak parkiran dan posisi mereka sekarang belum terlalu jauh. Randy otomatis memegangi Adit, takut tiba-tiba sahabatnya itu pingsan. Tubuh itu tampak menggigil. Beberapa helai rambutnya yang terlepas dari ikatan ikut basah terkena keringat.
Sshh!
Tanpa sadar Adit mendesis pelan saat dingin semakin menusuk kulitnya. Tubuhnya sudah ia sandarkan sepenuhnya pada dinding. Di sampingnya, Randy juga sudah menahan tubuh Adit sekuat tenaga. Andai tangannya terlepas, Adit pasti sudah meluruh ke lantai.
"Duduk dulu, deh." Randy membantu Adit berjalan ke arah bangku yang tak jauh dari mereka. Untungnya air mineral yang ia beli di supermarket tadi ia bawa. Buru-buru ia memberikan pada Adit yang langsung diterima meski dengan tangan gemetaran. Randy tidak mengatakan apa pun. Tangannya hanya otomatis memijat kepala Adit, mencoba meringankan rasa sakitnya. Untung posisi mereka agak tersembunyi, atau mereka akan jadi tontonan orang-orang.
"Mau dilanjut? Panasnya gak turun-turun. Kita ke rumah sakit aja, deh. Deket juga dari sini. Anak-anak titip ke Andy dulu." Randy sudah panik, apalagi dengan tubuh Adit yang semakin melemas.
"Bentar. Dikit lagi sembuh, nih." ucapnya dengan memejamkan matanya, menikmati pijatan di kepalanya sambil mencoba mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya juga dingin yang semakin menyiksa. Hembusan napasnya terasa panas. Andai tidak ada janji dengan anak-anak, Adit pasti sudah bergelung di balik selimut sambil merengek manja pada Bunda.
"Mas Adit kenapa?" Randy langsung menoleh, mendapati Pak Slamet, satpam museum menatap mereka khawatir. Adit perlahan membuka mata, tersenyum ramah pada Pak Slamet meski dengan mata sayu.
"Teh anget dikasih jahe dikit mau ya, Mas? Tunggu sebentar." Tanpa menunggu jawaban mereka, Pak Slamet sudah melesat ke warung kopi tak jauh dari gerbang masuk tadi.
"Masuk, gih. Temenin anak-anak. Ada Pak Slamet, kok." Randy sontak menggeleng. Mana mungkin dia meninggalkan Adit seperti ini. Kalau pingsan bagaimana? Ia juga sudah berjanji pada Ayah dan Bunda untuk menjaga Adit.
"Berdua. Nanti anak-anak nanyain, bingung jawabnya." Adit mengangguk pasrah. Pikiran anak-anak memang sedang kritis-kritisnya, semua ditanyakan. Apalagi melihat semangat mereka, Adit tak tega harus merusak suasana karena kondisinya.
"Ini Mas, diminum dulu. Biasanya kalo demam minum ini bisa cepet turun."
"Makasi Pak, berapa?"
"Oalah, ndak usah. Kayak sama siapa aja. Mas-mas ini kan udah sering beliin bapak kopi sama rokok. Diminum, Mas. Itu udah pucet banget mukanya." Adit menangguk, membiarkan Pak Slamet kembali ke posnya sambil mengucapkan terima kasih sekali lagi. Dengan tangan yang masih gemetar, Adit menyesap pelan teh panas itu. Sedikitnya, teh itu lumayan meringankan sakit kepalanya. Entah hanya sugesti atau memang benar. Perlahan rasa sakit di kepala dan pandangannya yang berkunang-kunang mulai berkurang.
"Yuk! Takut anak-anak nyariin." Adit perlahan mencoba berdiri, reflex berpegang pada lengan Randy saat kepalanya kembali berputar.
"Eh? Udah enakan? Jangan dipaksain kalo gak kuat. Masih pusing, 'kan?" tanya Randy kebingungan, tapi tangannya masih tetap membantu Adit berdiri, bahkan menyangga tubuh itu sejenak sebelum berdiri dengan sempurna.
"Udah. Ada jampi-jampinya kayaknya teh Mbak Nur, langsung enakan di badan," celetuk Adit sambil terkekeh, meninggalkan Randy yang masih menatapnya keheranan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
Fiksi UmumKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...