"Maura!" Adit berlari, meraup tubuh Maura yang baru saja tergelinding dari tangga Florist akibat tamparan keras dari Rio. Pipi Maura langsung kemerahan, untungnya dia tidak kehilangan kesadaran setelah kepalanya membentur ujung tangga. Dahinya juga terlihat kemerahan dan memar, tapi tidak sampai berdarah.
Berkali-kali Adit memanggil nama Maura, memastikan wanita di pelukannya itu bisa meresponnya dengan baik. Di pangkal tangga, Rio menatap keduanya dengan nyalang. Wajahnya merah padam, tak terlihat rasa penyesalan sedikitpun setelah menjatuhkan tubuh Maura.
"Kamu gak pa-pa, Ra?" tanya Adit berkali-kali dengan nada khawatir yang tak bisa ia sembunyikan. Maura mengerutkan kening, kepalanya pusing dan pandangannya sedikit mengabur. Tapi dari tangan yang menggenggamnya dan suara lembut itu, Maura yakin ini milik Adit. Karenanya, Maura semakin mengeratkan pegangan, berharap Adit melindunginya dari tindakan apapun yang mungkin Rio lakukan sambil menahan derai air mata yang sudah menggenang di pelupuk.
"Oh, jadi ini selingkuhan lo? Gede juga nyali lo selingkuhin gue! Mau mati lo?!"
Adit masih sibuk membantu Maura berdiri ketika Rio berjalan mendekatinya. Ia bahkan tidak menyadari gerakan tangan yang begitu cepat dari Rio. Tiba-tiba saja tangan kanan Adit yang merapikan rambut Maura dicekal, kemudian dipelintir dengan kencang hingga Adit tanpa sadar berteriak kesakitan.
Bug!
Tak cukup dengan itu, sebuah pukulan keras mendarat begitu saja di pipi kanan Adit yang langsung membuat tubuh kurus itu tersungkur ke tanah.
"Rio, Stop!" teriak Maura sekencang mungkin. Ia berusaha melerai, sayangnya tangan Adit lebih dulu menahannya dan malah menyuruhnya untuk menyingkir. Amarah Rio bukan hal yang Maura bisa tangani dengan tenaganya. Sayangnya, Maura tak menurut, ia tetap maju, menyekal tangan Rio yang langsung dihadiahi tatapan nyalang si iblis.
Plak!
Satu tamparan keras lagi-lagi mendarat di pipi kanan Maura yang sudah membengkak dan kemerahan, membuat darah segar langsung mengalir dari sudut bibirnya. Melihat hal itu, darah Adit mendidih. Dengan tangan yang tadi dipelintir Rio, Adit memukuli Rio berkali-kali, sekuat tenaga, hingga tubuh itu terkapar di tanah. Sayangnya, Adit tidak menyadari keberadaan Alex yang sejak tadi hanya melihat dari dalam mobilnya.
Begitu tubuh Adit berbalik dan berlari menolong Maura yang belum bisa bangun, Alex menyerang Adit dari belakang, memukul kepalanya dengan batu dan menginjak pergelangan tangan kanan Adit ketika ia tersungkur.
"Alex, please jangan sakiti dia, Lex. Gue mohon!" Maura menangis di kaki Alex yang tengah menginjak pergelangan tangan Adit, mencoba menahan kaki itu agar tidak memberikan tekanan yang lebih besar pada pergelangan tangan Adit.
"Gue bakal ikut pulang kalo lo lepasin Adit, please, jangan sakiti dia, Lex."
Alex seolah tuli. Ia terus menekan pergelangan tangan Adit hingga lelaki itu berteriak kesakitan. Maura semakin histeris mendengar teriakan Adit. Jelas sekali Adit mencoba menahan rasa sakitnya hingga urat-urat di leher dan dahinya nampak jelas, lengkap dengan wajahnya yang memerah. Sedangkan Maura masih terus mencoba mengangkat kaki Alex dari pergelangan tangan Adit.
Bug!
"Randy!"
Satu tendangan kencang mendarat di kepala Alex, membuat lelaki itu pingsan seketika. Randy bahkan tidak yakin leher Alex tidak patah karena tendangannya. Amarahnya seolah sampai di ubun-ubun melihat Adit kesakitan seperti itu.
"Bangsat!"
Randy sudah hampir berlari mendekati Rio yang ternyata masih sadar. Sayangnya, teriakan Maura dan cekalan tangan Adit di kakinya membuatnya urung. Ia sadar, Adit harus segera ditangani, apalagi tangan kanannya yang terluka. Tanpa banyak berpikir, Randy menghentikan taksi yang melintas dan mengangkat tubuh Adit sepelan mungkin, diikuti Maura.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
Ficción GeneralKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...