Ternyata Adit hanya bisa berada di rumah selama tiga hari. Setelah kejadian pingsannya yang tak juga sadar setelah cukup lama, Randy akhirnya membawa Adit ke rumah sakit sendirian sementara Ayah menemani Bunda yang terkena panic attack. Kali ini, setelah segala pemeriksaan dilakukan dan angka-angka di hasil pemeriksaan itu tidak menunjukkan hal yang baik, dokter dengan berat hati meminta Adit untuk tetap di rumah sakit sampai lima minggu ke depan, paling tidak sampai siklus kemoterapi pertamanya selesai.
"Dit?"
Sejak mendengar penuturan dokter dan ia dipindahkan ke kamar rawatnya, Adit tak mengatakan sepatah katapun. Agaknya ia kesal dengan keadaan. Ia bahkan belum bertemu dengan anak-anak. Belum melihat bayi Rury secara langsung. Belum ke galery, butik, ataupun mebel Ayah. Ia masih belum melakukan apapun selain berdiam diri di rumah. Adit pikir, ia masih bisa mendapatkan kebebasannya sampai kemoterapi selanjutnya.
"Adit?"
Randy kembali memanggil sahabatnya itu sambil menyentuh lengannya pelan. Randy sangat paham seberapa hancur Adit saat ini. Adit perlahan menggerakkan kepalanya, menatap Randy yang juga menatapnya. Bibirnya bergetar, ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokannya tercekat.
"Ran." Adit tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Airmatanya berebut keluar, diiringi isak tangisnya. Sebut Adit cengeng. Ia tak peduli lagi. Adit merasa kehilangan hidupnya sekarang. Randy perlahan menarik Adit dalam pelukannya, menepuk punggungnya dengan pelan sambil menahan tangis agar tak juga mengalir.
"Gak pa-pa, kamu berhak nangis. Luapin semuanya, Dit. Biar lega. Gak pa-pa, cuma ada aku di sini," bisik Randy, mencoba membuat Adit merasa lebih baik. Cukup lama hingga Randy bisa mendengar Adit bersuara. Beberapa kali, Adit hanya menyebut penggalan namanya, sampai akhirnya di sela isakannya, kalimat yang sejak tadi memenuhi hatinya pun terlontar.
"Aku mau hidupku, Ran! Aku mau sama anak-anak lagi!" raung Adit dalam tangisnya. Hancur sudah pertahanan Randy. Airmatanya menganak sungai di kedua pipinya, tapi ia tak melepaskan pelukannya pada Adit, bahkan semakin erat.
"Balikin hidupku, Ran! Aku mau hidupku lagi! Aku salah apa sama Tuhan, Ran? Sejahat itu Tuhan mainin takdirku, Ran!"
"Enggak, Dit. Tuhan baik."
"Aku benci banget sama Tuhan, Ran! Tuhan gak pernah ada buat aku! Balikin hidupku yang dulu, Ran!"
Adit berkali-kali mengucapkan kalimat yang sama hingga lelelahan dan jatuh tertidur. Randy membaringkan Adit ke tempat tidurnya, memperbaiki letak selimutnya. Bahkan dalam tidurnya, isakannya masih terlihat. Randy memejamkan matanya, menetralkan emosinya yang campur aduk.
Tak mampu menahan, Randy buru-buru keluar dari ruang rawat Adit. Tak disangka, ia bertemu dengan Ayah tepat di depan pintu, bersama Bunda yang sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Randy tersenyum melihat Bunda, meminta Bunda masuk dan menemani Adit sementara ia menggandeng tangan Ayah menjauh.
"Apa kata dokter, Ran?"
"Gak boleh ninggalin rumah sakit, Yah. Harus tetep di sini minimal lima minggu. Tadi hasil pemeriksaannya bener-bener gak baik. Sel darah putihnya terlalu tinggi. Ada pendarahan juga di lambungnya. Ditambah dia anemia parah. Tadi udah transfusi, nanti dokter visit lagi buat liat perkembangannya." Ayah mengangguk mengerti. Namun, ia masih bingung saat langkah kaki Randy membawanya semakin menjauhi ruang rawat Adit.
"Kita mau ke mana?"
"Ikut Randy ke taman sebentar, Yah. Ada yang mau Randy omongin. Adit udah sama Bunda, 'kan? Dia juga baru tidur lagi, mungkin bakal lama bangunnya. Kecapekan pasti."
Ayah tak lagi bertanya. Langkah kakinya terus mengikuti langkah kaki Randy yang melenggang santai. Sesekali, Ayah membalas sapaan orang-orang yang menyapanya dengan anggukan dan senyuman ramah, rata-rata dari perawat dan dokter senior yang masih mengingatnya. Sampai di taman rumah sakit, keduanya duduk berdampingan. Butuh waktu hampir sepuluh menit bagi Randy untuk akhirnya membuka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
Fiksi UmumKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...