Alex kembali masuk ke kamar Maura. Kali ini dengan sebuah koper besar di belakangnya. Ia meletakkan koper itu tepat di hadapan Maura yang tengah duduk di lantai, bingung memasukkan pakaiannya yang sekarang bertambah hampir dua kali lipatnya ke dalam tas yang dulu ia bawa ke Malang. Ia tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Malang. Karenanya, ia hanya terus membeli pakaian tanpa membeli koper.
"Rio beliin ini, warna kesukaan lo, 'kan? Masukin baju-baju lo ke sini. Tas lo gak akan muat sekesar apapun lo maksa masuk."
"Makasi. Ngomong-ngomong, Lex. Sejak kapan Rio tau gue di sini?"
"Dia tau dari awal lo pergi, kok. Waktu itu dia mau minta maaf sama lo karena udah ngehancurin kamera kesayangan lo, tapi lo udah terlanjur kabur duluan. Dia sengaja gak ngejar lo di hari pertama lo lari biar lo bisa nenangin diri di sini. Dia berharap pas lo udah tenang, lo bakal ngabarin dia. Sayangnya bukannya kabar yang dia dapet dari lo, justru dia harus nerima kenyataan kalo lo jatuh cinta sama pelukis itu."
Maura kembali menunduk, tak berani menatap Alex atau bahkan menyentuh koper yang Rio belikan. Semakin Alex menjelaskan keadaan yang sebenarnya, semakin Maura merasa bersalah pada Rio, juga Adit yang menjadi korban dari segala kebodohannya.
"Rio bilang penerbangannya diundur besok jam 10. Naik langsung dari bandara sini. Lo bisa pamitan dulu ke mereka kalo mau. Daripada mereka mikir kita yang maksa lo pulang dan malah nyusulin ke Jakarta. Makin panjang nanti urusannya."
"Rio ngizinin gue pamitan sama mereka? Dia sekarang di mana?"
"Kenapa? Lo gak mendadak peduli ke dia, 'kan?"
"Sorry, gue cuma tanya aja, kok."
"Saran gue, kalo hati lo emang udah berubah, selesaiin dulu baik-baik hubungan lo sama Rio. Abis itu lo bebas mau ngelakuin apa aja. Walaupun sulit, Rio pasti bakal lebih mentingin lo, kok. Cuman, lo juga harus tau posisi Rio kayak gimana. Tanggungjawab apa yang dia tanggung buat lo dan keluarga lo. Harus ada solusi tentang hidup lo sama nyokap lo kalo tanpa Rio nanti. Dengan gitu, Rio bakal bisa lebih mikir rasional tentang pilihan lo."
Alex mengulurkan tangannya, menyodorkan kunci mobil yang tadi ia kendarai. Melihat kunci mobil itu, Maura akhirnya mendongakkan kepala, menatap Alex yang tengah menatapnya dengan tatapan lelah yang sengaja tak ia sembunyikan.
"Rio bilang kalo ke mana-mana pake ini aja, daripada naik ojol, bahaya. Besok kita ke sini jam 8 pagi. Kita sarapan bareng sebelum ke bandara. Dan please, untuk beberapa jam ke depan sampe nanti kita balik ke Jakarta, jangan bikin masalah apapun lagi. Gue capek banget. Leher gue juga masih sakit kalo lo nyadar."
Alex pergi setelah selesai mengatakan apa yang Rio amanahkan. Sebenarnya, ingin sekali Alex mengatakan Rio sedang di rumah sakit, kembali menjalani perawatan karena jahitan bekas pembedahannya terbuka. Sayangnya, si kepala batu itu melarang. Tentu saja masih memikirkan Maura, takut terlihat lemah di hadapan wanitanya. Sepertinya di pikiran Rio, Maura masih Mauranya yang dulu, yang melihat dirinya sebagai super hero, yang akan menangis ketika melihat Rio terluka. Nyatanya, setelah semua fakta yang Alex katakan, Maura tetaplah Maura. Segala hal tentang Maura yang ada dalam kenangan Rio, lenyap.
^^^
Cafe Pelangi yang baru dibuka sepuluh menit yang lalu itu sudah ramai pengunjung, termasuk Maura yang mengambil tempat di ujung, menghadap taman yang penuh berbagai macam bunga warna-warni. Segelas frappe dan sepotong kue coklat baru saja diantarkan oleh pelayan dengan ramah. Meski begitu, Maura belum menyentuhnya sedikitpun. pandangannya masih fokus pada bunga-bunga itu, hatinya menunggu kehadiran Adit dan Randy, sementara pikirannya merangkai kalimat yang akan ia sampaikan pada keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...