Jangan Berubah, Bun!

267 38 1
                                    

Kemoterapi pertama hingga ketiga berhasil Adit lewati dengan baik, hanya pusing, mual, dan kelelahan luar biasa yang ia rasakan. Secara fisik, tubuhnya belum ada yang berubah, rambutnya masih tebal dan panjang, kulitnya meski pucat belum kering dan bibirnya belum pecah-pecah. Adit tahu itu semua pasti akan ia alami suatu saat nanti. Ia bukan menanti, hanya bersiap ketika semuanya harus ia lalui.

Genap satu minggu sejak kemoterapi ketiga dilakukan dan saat ini ia masuk dalam masa istirahat. Dokter bilang jika keadaannya stabil, ia diizinkan pulang sampai kemoterapi ke empat dilaksanakan. Mendengar kata pulang, tentu saja Adit bahagia. Lama sekali ia tidak melukis. Ia juga merindukan anak-anak jalanan. Keesokan harinya, ia resmi diizinkan pulang meski dengan catatan panjang dan puluhan obat yang harus diminum rutin.

Adit terbangun dari tidurnya dengan rasa sakit di sekujur tubuh dan sensasi mual yang tak tertahankan. Ia buru-buru berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua yang ada di perutnya sebelum terduduk di closet selama beberapa lama. Setelah sensasi mual itu pergi, Adit memutuskan untuk sekalian mandi, tubuhnya terasa lengket, padahal ia baru bangun tidur.

Begitu membasahi kepala, Adit baru menyadari puluhan helai rambut panjangnya ikut jatuh bersama aliran air. Adit mengumpulkan rambutnya yang berjatuhan di lantai shower setelah mandi untuk dibuang ke tempat sampah. Sepuluh hari sejak kemoterapi terakhir yang dijalaninya, tiga hari sejak ia diizinkan pulang, kini efek kemoterapi mulai berdampak juga pada fisiknya. Mulai dari kulitnya yang kering, tubuhnya yang jauh mengurus, dan rambutnya yang rontok cukup banyak. Perubahan fisik ini, tak mungkin Adit sembunyikan. Apalagi, efeknya benar-benar menyakitkan untuknya.

"Dit, udah bangun?"

Bunda membuka pintu kamar Adit pelan, tersenyum teduh ketika melihat putra semata wayangnya tengah berdiri di depan almari pakaian, tengah mengenakan hoodie di atas kaos putih panjangnya.

"Gimana hari ini? Ada yang sakit?"

Adit menggeleng. Hatinya sakit mendengar Bunda bertanya selembut itu padanya. Kanker memang tidak hanya merubah kehidupannya, tetapi juga orangtua dan sahabatnya. Semenjak tahu dia menderita kanker, semua memperlakukan Adit seolah lukisan mahal yang sekali sentuh saja bisa merusak cat dan kanvasnya. Dan Adit benci itu.

"Bunda masak apa hari ini?"

"Sup jagung, mau?"

"Maulah, Bun. Laper banget ini." Adit menggandeng Bunda keluar dari kamarnya, setengah merangkul sebenarnya karena dia menumpukan tubuhnya pada Bunda. Kepalanya masih sakit sebenarnya, dan berjalan turun sendiri mungkin bukan pilihan yang tepat. Daripada tergelinding di tangga.

"Makan di kamar aja, ya? Lemes banget ini kamu." Adit menghela nafas panjang. Di tengah tangga, ia menghentikan langkahnya, memutar tubuh Bunda hingga berhadapan dengannya. Mata Bunda tiba-tiba berubah kemerahan dan berkaca-kaca, membuat Adit lagi-lagi menghela nafas panjang.

"Jangan nangis terus, Bun. Tetep jadi Bunda yang dulu, ya? Jangan berubah cuma gara-gara penyakit. Adit jadi gak ngenalin Bunda lagi kalo Bunda berubah."

Bunda seketika membeku. Air matanya merebak. Apalagi melihat senyum di wajah Adit yang pias. Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir begitu saja, bahkan sampai terisak. Adit pun tanpa sadar ikut menangis. Dengan tangannya, ia tarik tubuh Bunda ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan Bunda yang semakin terisak.

"Ini cuma penyakit, Bun. Tetep marahin Adit kalo gak makan. Teriakin kalo gak bangun-bangun. Adit janji bakal berjuang buat sembuh."

"Jangan tinggalin Bunda, ya?" Justru kalimat itu yang keluar dari mulut Bunda. Kelu, tapi hanya itu yang selalu terngiang di kepala Bunda. Adit tersenyum tipis mendengarnya. Ia paham betul ketakutan Bunda. Karenanya, bukannya mengiyakan, Adit justru memilih kalimat yang seketika membuat air mata Bunda mengalir.

The Painter and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang