"Lo batu, sumpah, lo batu! kalo kepala lo diadu sama batu beneran juga pecah batunya bukan kepala lo!" maki Randy sambil mengejar langkah kaki Adit yang terburu-buru. Mereka bahkan sudah ada di parkiran rumah sakit sekarang. Hanya lima jam setelah kejadian Adit mimisan hebat pagi tadi.
"Bisa, gak, manggilnya pake aku-kamu lagi. Gak enak dengernya. Berasa ngomong sama Randy yang dulu." Adit justru mengoreksi panggilan Randy alih-alih menanggapi omelan sahabatnya itu.
"Lo nya ngajak berantem, sih! Paling enggak tunggu hasil tes darahnya keluar, goblok!" Randy masih memakinya dengan penuh emosi, sementara Adit sibuk menggeledah pakaiannya, mencari kunci mobil. Menyadari kunci mobilnya ada pada Randy, tangannya langsung menengadah, sempurna mengacuhkan kalimat Randy.
"Siniin kunci mobilnya. Aku ada janji sama Maura."
"Masih sempet-sempetnya, ya, mikirin cewek pas kondisi kayak gini? Gak denger tadi dokter bilang, ada yang gak wajar sama badanmu, Dit! Kamu harus diperiksa lebih dalam lagi!"
"Ran, please. Aku gak pa-pa. Ini cuma kecapekan biasa. Kamu udah puluhan kali liat aku kayak gitu dan gak pernah ada apa-apa. Aku baik-baik aja selama ini. Gak ada yang perlu dilebih-lebihkan. Sekarang, siniin kunci mobilnya. Kasian dia udah nunggu lama." Randy sudah hampir mengumpat, tapi melihat wajah Adit yang memelas, Randy mau tak mau menyerahkan kunci mobilnya.
"Jam 5 sore harus udah balik ke rumahku. Kita pulang ke rumahmu barengan. Bunda bakal curiga kalo kita gak pulang bareng."
"Beres! Salam buat Andy sama Rury. Bilangin maaf gak bisa makan siang bareng."
"Iya."
Randy menatap mobil Adit yang bergerak meninggalkan parkiran rumah sakit dengan tatapan kesal. Setengah hatinya masih jengkel mengingat Adit yang buru-buru meninggalkan rumah sakit bahkan sebelum hasil tes darahnya keluar. Tapi, hatinya jauh lebih bahagia melihat Adit yang bersemangat menemui Maura. Akhirnya setelah bertahun-tahun, ia bisa melihat sahabatnya itu jatuh cinta lagi. Tak lagi terpuruk menyalahkan diri sendiri karena ditinggal sang mantan.
"Lah, gue ke museum pake apa terusan?" Randy menepuk jidatnya. Lupa dirinya tidak membawa mobil sendiri. Sambil mengumpat meninggalkan parkiran rumah sakit, Randy menghubungi orang rumahnya.
"Mas, minta tolong anterin mobilku ke museum, ya? Sekalian isiin dulu, semalem belom diisi," ucap Randy tanpa salam. Setelah mendapatkan jawaban, ia langsung mematikan panggilan, tanpa salam juga.
Sialan emang si Adit!
^^^
"Dit!"
Lambaian tangan lentik dan panggilan merdu Maura seketika tertangkap oleh mata dan telinga Adit. Lelaki itu buru-buru menghampiri, sedikit kecewa karena harus membuat Maura menunggu cukup lama.
"Maaf telat."
"Aman. Gue juga lagi nikmatin pemandangan di sini, kok. Itu aku pesenin honey lemon. Tenang, anget kok."
"Makasi." Maura tersenyum manis, kemudian menyesap coklat hangat di hadapannya. Pandangannya kembali menatap langit yang cukup cerah dengan kumpulan awan yang bergerak beriringan. Lagi, senyum Maura terbit. Dengan kamera di ponselnya, ia mengabadikan langit dan cafe nya.
"Cantik banget, ya, Dit?" Maura menunjukkan hasil jepretannya pada Adit yang langsung dihadiahi anggukan setuju oleh Adit.
"Gue post di IG, ah. Bagi IG lo dong. Ini, ketik sendiri." Adit meraih ponsel Maura, mengetik nama instagramnya dan membiarkan laman instagramnya itu terbuka tanpa menekan ikon follow.
"Gue follow, ya?" Maura menunjukkan layar ponselnya di mana akun instagram Adit sudah ia follow. Ia juga sudah memposting langit yang ia abadikan, tak lupa dengan tag akun instagram Adit.
"Itu second account gue sebenernya. Akun gue yang asli sengaja gue non aktifin. Biar orang-orang di dunia gue yang lama gak bisa nemuin gue." Adit hanya mengangguk, tak menanggapi kalimat Maura. Ia justru tengah menikmati gambar-gambar yang ada di akun instagram Maura.
"Hasil jepretannya bagus-bagus. Kamu suka banget sama senja, ya?"
Maura tersenyum lebar mendengar pertanyaan Adit. Banyak yang tahu ia suka dunia fotografi, tapi tak banyak yang tahu kecintaannya pada Senja, bahkan sahabat-sahabatnya. Karena ia tidak selalu memposting tentang langit kemerahan itu. Biasanya, selalu ada object lain di fotonya yang membuat senja di langit itu menjadi terabaikan.
"Secantik itu, 'kan? Selalu kagum sama Tuhan yang ciptain Senja seindah itu. Yang tiap harinya, berkas sinarnya gak pernah sama. Kayak sidik jari, gak pernah ada yang sama. Bahkan di jari kita sendiri."
"Bener. Salah banget kalo kita gak bersyukur sama Tuhan, padahal Tuhan udah mikirin kita segitunya. Ngomong-ngomong, mau liat senja di Bromo, gak? Mumpung udah di sini."
"Boleh banget, kapan?"
"Sekarang, yuk! Nanti kita mampir mall dulu buat beli baju anget, pasti gak bawa kan dari jakarta?"
"Iya, ya udah ayo!"
^^^
Bromo di pikiran Maura tak pernah seindah ini. Orang-orang selalu bilang sunrise di Bromo lah yang terindah, tapi bagi Maura, Sunset di Bromo juga tak kalah indahnya. Apalagi, selama perjalanan tadi Adit memperlakukannya bak Ratu. Mulai dari perhatian-perhatian kecil seperti merapikan anak rambut yang berantakan, sampai perhatian besar yang tak pernah Maura dapatkan dari Rio. Rasanya, hati Maura benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya pada lelaki di sampingnya ini.
"Dit, may I love you?"
Adit yang tengah menatap senja sejenak tertegun. Ia bahkan tanpa sadar menghentikan tarikan nafasnya. Beberapa kedipan mata akhirnya mengembalikannya ke dalam kesadaran. Ia mencoba menarik nafas dengan konstan, seolah lupa caranya bernafas normal. Sejurus kemudian, ia menoleh, menatap Maura yang juga menoleh, tengah menatapnya, menunggu jawaban.
"Kamu gak perlu izin siapapun untuk jatuh cinta, Ra. Itu hakmu sepenuhnya." Adit menjawabnya dengan senyuman di wajah. Ia sadar, bukan itu jawaban yang Maura inginkan. Semakin sadar saat melihat Maura menghela nafas sambil tersenyum tipis, nampak kecewa dengan jawaban yang Adit belikan.
"Would you love me back?" Kali ini Maura memperjelas pertanyaannya, membuat Adit mau tak mau harus kembali memutar otak, mencari jawaban yang kiranya tidak menyakiti ego dan perasaan Maura.
"Maybe one day? Untuk sekarang, aku masih dalam proses mengobati lukaku, Ra. Dan bohong kalau luka ini bisa disembuhkan dengan orang yang baru. Aku gak mau kamu, atau siapapun menjadi pelarianku dari luka."
Maura kali ini terdiam untuk beberapa saat, memproses penolakan Adit yang terdengar begitu halus di telinganya. Sudut bibirnya perlahan tertarik ke atas, senyum tulusnya terlukis bersamaan dengan anggukan kepala Maura. Ia mengerti sepenuhnya dengan kalimat Adit.
"Then, let me love you, dengan cara gue sendiri pastinya."
"Silakan. Tapi jangan menyiksa dirimu sendiri dengan rasa cinta itu. Silakan pergi jika dalam proses mencintaiku ini, kamu menemukan lelaki yang bisa membalas perasaanmu." Maura kembali mengangguk. Ia menghela nafas lega setelah mengutarakan perasaannya.
Melihat Maura yang sepertinya tak lagi mengatakan apapun, Adit kembali mengarahkan pandangannya pada langit yang kemerahan. Sayangnya, senja sudah tak lagi menarik di matanya, pikirannya berkecamuk antara keinginan hatinya dan kenyataan di hadapannya.
Sementara Maura kembali fokus mengabadikan langit dan alam dengan lensanya, Adit sibuk berperang dalam hatinya. Ia cinta Maura, tapi yakin sepenuhnya bahwa dia tidak akan bisa menghadirkan senyum di wajah itu. Hanya akan ada air mata yang terurai dari wajah indah itu jika ia memaksakan diri bersama dengan Maura.
"Thanks buat hari ini, Dit. Gue happy banget. Ini salah satu wishlist gue dari tahun lalu, foto sunset di Bromo. Balik, yuk. Udah mau gelap, nih." Adit mengangguk, tangannya refleks terulur, membantu Maura turun dari tanjakan. Maura tersenyum, menyambut tangan hangat Adit yang selalu ada untuknya. Bagaimana bisa Maura tidak jatuh cinta jika act of service Adit sesempurna ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...