Malam ini angin bertiup kencang, berhembus dingin menyela dahan-dahan pohon di pelataran. Riuh suara dedaunan yang saling bergesek, seperti nyanyian gulita menunggu hujan, terdengar merdu di telinga. Sayangnya, rintiknya hingga kini belum juga berjatuhan, baru mendung yang membawa kabar berita, menutupi cahaya bulan yang sedikit menyinari bebatuan di sekitar kolam ikan yang ada di taman belakang. Tanah yang lembab karena tak pernah tersapa sinar mentari pun ikut menyembulkan wangi khas yang memanjakan indra penciuman.
Harusnya, dengan suasana yang seindah dan setentram itu, mampu membawa Maura terjun ke alam mimpinya. Sayangnya, setelah mimpi buruknya beberapa jam yang lalu, mata itu enggan kembali terlelap. Alih-alih terlelap, Maura lebih memilih duduk di balkon kamarnya yang mengarah langsung ke taman belakang ditemani segelas coklat hangat dan musik klasik yang mengalun lewat ponselnya.
"Lo gak akan pernah bisa lari dari gue, Ra! Selama lo masih ada di bumi, gue akan bisa temuin lo, bahkan ke tempat terpencil sekalipun!"
Kalimat yang Rio lontarkan dalam mimpinya masih jelas terngiang di benak Maura. Tubuhnya seketika menggigil ketika wajah lelaki itu terlintas kembali. Air mata Maura merebak, tak mampu lagi untuk ia tahan. Di tengah malam dengan rintik hujan yang mulai berjatuhan itu, Maura terisak sendiri, ketakutan akan kenangan dan mimpi yang menghantuinya.
"Ada jutaan kemungkinan di dunia ini, dia gak akan segampang itu nemuin lo, Ra!" maki Maura di sela isakannya.
Tepat satu bulan ia melarikan diri ke Malang dan hingga saat ini belum ada tanda-tanda Rio menemukannya. Harusnya dia merasa tenang. Mungkin Rio sudah menemukan mainan yang lain. Tapi entah kenapa malam ini ia kembali teringat pada lelaki satu itu. Bahkan, lelaki itu hadir dalam mimpinya dengan ancaman-ancaman yang selalu membuat Maura terkurung. Rasanya, ia begitu ketakutan hanya untuk kembali tidur. Takut Rio akan datang lagi ke dalam mimpinya.
Argh!!
Tiba-tiba ponsel Maura berdering nyaring. Ia bahkan sampai berteriak saking kaget dan takutnya. Begitu nama Adit yang tertampil di layar, Maura sedikit menghela napas lega. Ia mencoba menetralkan suaranya sebelum menjawab panggilan itu dengan nada riangnya seperti biasa.
"Belum tidur?" tanya Adit begitu panggilan itu terjawab. Maura menggeleng, tapi segera meralatnya dengan kata setelah menyadari Adit jelas tidak bisa melihat gelengan kepalanya.
"Kenapa jam segini belum tidur?" tanya Adit lagi, seolah mereka biasa melakukan panggilan telpon seperti ini. Padahal ini baru kali ketiga mereka berbicara lewat telpon.
"Gak bisa tidur." Maura menjawab dengan nada senormal mungkin. Sayangnya, kalimat itu sudah berhasil membuat kening Adit berkerut.
"Aku sama Randy ke sana sekarang. Kita bawain sate kambing, mau?"
"Boleh. Bye, Dit."
"Tunggu di sana, Ra."
Maura mematikan panggilan lebih dulu. Untuk beberapa menit, ia hanya menatap langit yang hitam pekat, tak terlihat adanya bintang. Sejurus kemudian matanya terpejam, menikmati aroma hujan, mencoba menenangkan pikirannya dengan aroma itu. Setelah cukup tenang, ia kembali ke kamarnya, menata penampilannya yang lumayan kusut, juga mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian rumahan yang santai. Tepat ketika Maura keluar dari kamar, mobil Adit terparkir manis di depan pelataran villa.
"Kok cepet?" tanya Maura keheranan. Sepertinya ia hanya cuci muka dan ganti baju, tapi dua orang di hadapannya ini sudah tiba, lengkap dengan sate kambing yang dijanjikan.
"Adit nyetir kayak mau ngajak ketemu Tuhan, mana jalanan lagi sepi banget, ada gila-gilanya emang nih anak." Maura terkekeh mendengar gerutuan Randy. Melihat gaya Adit yang selalu kalem, agak sulit membayangkan dia beradu dengan kendaraan lain di jalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...