"Mas Randy, Mas Adit ke mana? Kok gak dateng-dateng. Apa nyasar lagi kayak tadi?"
Randy menatap ke arah pintu, mencari sosok sahabatnya itu yang tadi memintanya untuk berjalan lebih dulu dengan alasan mau ke toilet. Tadinya Randy sudah menawarkan diri untuk mengantar, mengingat kondisi Adit yang memang belum membaik, bahkan sepertinya semakin parah.
"Makanan datang!" teriak Andy ceria. Randy segera berdiri, membantu Andy membagikan makanan dan minuman pada anak-anak. Sesekali, pandangannya masih terus menatap pintu, berharap Adit akan berjalan masuk dari sana dengan senyum merekahnya seperti biasa. Sayangnya, sampai semua selesai dibagikan dan anak-anak sudah berdoa bersama, Adit belum datang juga.
"Titip anak-anak, ya? Mau cari Adit dulu, khawatir dia kenapa-kenapa," bisik Randy setelah memastikan anak-anak fokus pada makanannya. Andy menatap Randy sejenak, kemudian mengangguk. Ia sendiri juga khawatir sebenarnya, tapi sengaja tidak diperlihatkan agar anak-anak tidak semakin khawatir.
"Mas Randy mau ke mana?" Baru beberapa langkah meninggalkan ruangan, Momon sudah berteriak, menghentikan langkah Randy yang buru-buru. Randy berbalik sambil tersenyum seceria mungkin.
"Mas Randy ke toilet dulu, ya? Mules banget ini. Habis makan jalan-jalan lagi sama Mas Andy, ya? Inget, gak boleh berisik dan harus dicatat. Nanti mas Andy kasih kuis, hadiahnya kaos."
"Asiikk!!"
Lewat anggukan kepalanya, Andy mengisyaratkan Randy untuk segera pergi. Dengan bantuan Andy, Randy akhirnya berhasil keluar dari ruangan dengan aman. Ia buru-buru berlari ke aula sambil meneriakkan nama Adit. Untungnya, museum sedang sepi di sekitar situ.
"Adit!" teriak Randy dengan mata membola. Di tempat yang sama saat ia meninggalkannya, Adit tengah terkapar tak bergerak. Sepertinya sahabatnya itu kehilangan kesadarannya.
"Dia kenapa, Mbak?"
"Lagi sakit kayaknya, tiba-tiba pingsan. Badannya panas banget. Gue coba panggilin sama goyang-goyang badannya gak ada respon. Ini dikasih minyak angin juga gak ada perubahan."
"Mbaknya sempet telpon ambulan tadi?"
"Oiya! Astaga! Gak kepikiran gue, panik banget asli. Mana dia sebelumnya sempet teriak-teriak, kayak sakit banget gitu."
"Bagus, Mbak. Jangan telpon ambulan. Nanti bikin heboh. Bisa marah-marah dia pas sadar nanti. Kita bawa langsung aja ke rumah sakit. Ini kunci mobil saya, Mbak. Minta tolong pegangin, nanti bantu bukain pintu mobilnya, ya?"
"Oh, ok!" Maura mengambil kunci mobil dengan gantungan action figure yang sering Maura lihat di rumah Indy, si pecinta anime One Piece.
"Mbak, bisa tolong bantuin angkat ke punggung saya?"
"Ayo!"
Randy sukses menaikkan Adit ke punggungnya. Dibantu dengan wanita yang ada di hadapannya, Randy berdiri dan langsung berlari keluar area museum. Wanita itu sigap memegangi tubuh Adit agar tidak terjatuh saat dibawa lari.
"Mbak, ikut aja, ya? Pegangin temen saja di belakang." Meski terlihat bingung, Maura akhirnya naik ke kursi penumpang di belakang kemudi. Matanya sempat terbelalak saat Randy memasukkan Adit dan membaringkan kepala itu di pahanya.
"Mbak maaf, ya? Minta tolong pegangi badan sama kepalanya, ya? Kalo di depan takut kenapa-kenapa. Mau ngebut soalnya."
^^^
"An, kalo udah selesai, anterin anak-anak pulang, ya? Adit pingsan, ini lagi di rumah sakit. Maaf gak bisa bantuin ngurus anak-anak. Nanti aku kabarin lagi kalo Adit udah sadar."
Randy mengakhiri telponnya dengan Andy yang beberapa menit lalu sibuk menghubunginya. Ia paham, Andy pasti panik saat tidak bisa menemukannya dan Adit, terlebih tadi cukup banyak orang yang melihatnya membawa Adit yang sudah tak sadarkan diri.
"Makasi banyak, ya, udah bantuin bawa Adit ke sini. Dari pagi emang udah sakit dia. Tapi ngotot ngajak anak-anak jalanan main. Katanya udah janji. Keras kepala banget emang anaknya."
"Trus mereka gak pa-pa ditinggal?"
"Aman, sih. Ada Andy sama Rury di sana. Jadi, lo asli Jakarta?" tanya Randy, mengulang informasi yang baru ia dapatkan. Gadis di sampingnya mengangguk, meski pandangannya tak lepas dari pintu ruang IGD di mana Adit tengah ditangani.
"Lo juga orang Jakarta?" tanya Maura akhirnya, menyadari logat Randy bukan seperti Adit atau orang-orang yang ia temui baru-baru ini. Ia juga sudah tidak memanggil Maura dengan sebutan Mbak, tapi langsung menggunakan panggilan khas ibu kota, lo-gue.
"Gue lahir dan besar di Bekasi, tapi nyokap asli Dieng. Gue pindah ke sini waktu nyokap meninggal dan minta dikuburin di samping makam bokap di Dieng, sekitar 7 tahun yang lalu. Gak lama gue ketemu Adit, dan jadi partner dia sampai sekarang."
"Sorry for your lost," bisik Maura, kali ini pandangannya mengarah langsung ke wajah Randy yang justru tak menunjukkan kesedihan sedikitpun. Sepertinya, waktu 7 tahun sudah cukup bagi Randy untuk mengatasi dukanya.
"It''s ok. She's in a better place now. With the love of her live. Mungkin malah itu yang paling dia harapkan selama setahun sebelum dia pergi, nyusul bokap."
Maura kembali mengangguk. Mengagumi cara Randy menanggapi kematian dan duka yang ia alami. Tak seperti dirinya yang butuh waktu sangat lama untuk ikhlas melepas kepergian Papi. Padahal, hidupnya secara kasat mata tak berubah. Dia tetap kaya, bisa melakukan segala hal yang dulu bisa ia lakukan saat Papi masih ada. Tapi dalam hatinya kosong. Tak ada lagi yang bisa menyelamatkannya dari Mami, yang berujung pada pertunangannya dengan Rio dan segala kesedihan yang ia alami setelahnya.
"Lo liburan di sini? Sendiri?"
Senyuman Maura terbit, tipis, tapi mampu Randy tangkap dengan mudahnya. Apalagi dengan mata Hazelnya yang berbinar.
"I run away actually. Capek sama hidup gue di sana, pengen cari ketenangan."
"Dan Malang jadi tempat pilihan lo buat cari ketenangan?"
"Sebenernya di awal gue gak tau mau ke mana. Random aja pilih Malang pas liat di stasiun. Tapi sejauh ini, kayaknya bukan pilihan yang buruk. Malang cantik."
"Dengan hobby fotografi lo, Malang emang cocok sih buat jadi tempat pelarian, sekalian muasin hobby lo."
"Lo sendiri, apa yang bikin lo akhirnya menetap di Malang?"
Randy mengangkat sebelah alisnya, tak menyangka akan ditanya seperti itu. Banyak orang yang salah mengartikan alasan kenapa dia ada di Malang. Bukan, bukan karena lebih dekat dengan mendiang orang tuanya. Kenapa juga dia harus mendekati makam mereka? Bahkan saat hidup pun mereka tak pernah ada untuk Randy.
"Kalo gue bilang karena Adit, lo bakal mikir gue gay, gak?" Maura sontak tertawa mendengar kalimat Randy. Sayangnya, ekspresi Randy yang semakin serius langsung membungkam Maura seketinya. Ia bahkan tak bisa mengontrol ekspresinya sendiri untuk tidak syok.
"Gak mungkin. Lo, gay? Jangan, jangan, Adit juga?"
"Enggak. Kita berdua masih normal, kok. Cuman jomlo aja, tapi jelas gak doyan batang sih."
"Ya Tuhan, lo bikin jantung gue hampir copot tau, gak? Gue bukan anti LGBT, sih. Cuma gak tau aja gimana harus bersikap kalo ada di antara mereka."
"Tapi, alasan gue menetap emang karena Adit. Karena dia bikin gue bisa liat arti hidup, cinta, dan kasih sayang yang tulus. Dia bikin gue bisa ngerasain kasih sayang orang tua yang dari dulu gak pernah gue dapetin. Bahkan, orang tua Adit udah kayak orang tua sendiri. They treat me like their own. Karena Adit, gue jadi nemuin arti rumah yang sebenernya."
Rumah.
Maura sepertinya hampir lupa seperti apa arti rumah yang sebenarnya. Papi, meskipun sangat menyayanginya, lelaki itu hampir tak pernah hadir dalam hidupnya, terutama di saat-saat terendahnya. Mami, seperti halnya ibu-ibu sosialita pada umumnya yang masih terlalu muda untuk menikah dan punya anak, lebih suka bermain dengan teman-temannya daripada menemani Maura. Sepertinya, Maura pun tak pernah tahu apa arti rumah sebenarnya.
"Rumah, ya? Jadi iri," bisik Maura lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
Fiksi UmumKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...