Setelah semua airmata yang keluar kemarin, juga ribuan permintaan maaf dan penyesalan yang terlontar, Adit akhirnya bisa sedikit bernafas lega. Ia kini menjalani serangkaian pemeriksaan yang dulu pernah ia jalani di Jakarta dengan lebih rileks. Ada Ayah dan Bunda yang senantiasa menemani di sampingnya, menggenggam tangannya saat bekas tusukan jarum di tubuhnya menyakitinya. Entah karena dorongan semangat dari orang-orang di sekitarnya, tubuh Adit terasa jauh lebih baik dibandingkan sebelum-sebelumnya. Padahal ia belum menjalani pengobatan apapun selain infus, transfusi darah dan trombosit.
"Gimana, Nak? Udah siap kemo pertamanya?" Ayah bertanya setelah Adit menyelesaikan sarapannya. Sore nanti jadwal kemo pertama Adit setelah pemasangan CVC di dadanya untuk jalur kemoterapi nanti. Setelahnya, beberapa hari tim dokter masih harus berusaha mengembalikan kondisi Adit yang naik turun agar siap diberikan obat-obatan itu. Adit mengangguk, meski deg-degan karena baru pertama kalinya menjalani kemoterapi.
"Kemonya masih nanti sore, Ayah sama Bunda pulang dulu aja. Udah tiga hari gak pulang, 'kan? Istirahat dulu di rumah. Adit udah baik-baik aja, kok."
Ayah menatap Adit lekat, sebagai mantan pegawai kesehatan, Ayah tahu pasti apa yang sedang dialami anaknya. Meski setiap penyakit memiliki gejala dan rasa sakit yang berbeda, tapi Ayah sangat yakin anaknya masih jauh dari kata baik-baik saja. Karenanya, meski mengangguk mengiyakan permintaan Adit dan berpamitan setelah memastikan anaknya baik-baik saja, Ayah tetap berada di rumah sakit, dekat dengan sang buah hati.
Kantin rumah sakit menjadi pilihannya dari sekian banyak tempat yang ada di rumah sakit. Melihat beberapa pegawai rumah sakit yang tengah makan siang, juga para pendamping pasien membuat Ayah merasa hangat. Ya, Adit bukan satu-satunya makhluk di dunia ini yang sakit. Banyak orang yang mengalami hal serupa. Melihat mereka semua membuat Ayah merasa dirinya tidak sendirian. Mereka juga tengah berjuang dengan perangnya masing-masing.
"Dokter Julio?" Ayah menoleh, tersenyum lembut saat mendengar namanya disebut. Ya, sebelum memutuskan untuk fokus pada Adit dan Bunda, Ayah adalah dokter bedah syaraf di rumah sakit ini.
"Apa kabar, Dok?" Dokter yang berusia sekitar sepuluh tahun lebih tua dari Adit itu mengulurkan tangannya, begitu Ayah membalas, dokter itu malah berusaha mencium punggung tangan Ayah yang langsung ditarik, diganti menjadi pelukan hangat.
"Udah jadi profesor ya kamu sekarang? Hebat!" puji Ayah tulus. Dokter itu menggeleng sambil tersenyum, "Semua berkat Dokter Julio, kalo gak ada dokter yang bimbing saya, gak akan saya bisa jadi profesor seperti sekarang."
"Enggak, kamu emang pantes jadi profesor. Kerja keras dan kepedulianmu ke pasien bener-bener luarbiasa. Jarang ada dokter seloyal kamu ke pasien."
"Dokter tumben ke sini, siapa yang sakit, Dok?"
"Adit."
"Kenapa, Dok? Lambungnya bermasalah lagi? Terakhir ke sini sampe muntah darah kan dia? Inget banget saya. Udah bikin geger IGD karena muntah darah dan sesak nafas, abis itu sorenya ribut minta pulang. Udah janji mau ngajakin jalan-jalan anak jalanan katanya. Emang unik dia."
Dokter itu tertawa mengingat kejadian Adit dan Ayah berdebat di lorong rumah sakit karena memaksa pulang setelah paginya membuat gempar seisi rumah karena muntah darah sampai tak sadarkan diri. Gelengan kepala dan tatapan sendu Ayah membungkam dokter itu begitu saja.
"Adit kanker, Li. Leukemia. Hari ini kemoterapi pertamanya." Dokter itu tak bisa berkomentar apa-apa setelah mendengar penuturan Ayah. Adit sudah seperti adiknya sendiri sebenarnya. Anak itu yang selalu merengek, memaksa menemaninya bermain saat ia sedang konsultasi dengan Ayah. Anak seceria dan sebaik itu, bagaimana bisa?
"Saya dan istri selalu dibuat jantungan sama kelakuan Adit. Kamu inget sendiri gimana jailnya dia dari kecil. Tapi gak pernah sedetikpun kami berpikir akan kehilangan dia. Sekarang, setelah vonis itu, tiap detiknya saya ketakutan. Takut itu adalah kali terakhir saya melihatnya membuka mata."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
General FictionKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...