"Yakin tetep mau berangkat? Gips aja baru dibuka, Dit. Ini demam juga tiap malem naik lagi. Bunda gak tenang biarin kamu ke sana kalo kondisinya masih kayak gini."
Bunda berkali-kali memastikan keberangkatan Adit ke Bandung esok hari. Pagi tadi Adit memeriksakan tangannya, dan setelah berdebat panjang dengan dokter akhirnya gips di tangan itu dilepas, diganti dengan perban elastis lengkap dengan arm sling-nya. Meski begitu, kenyataan bahwa tanpa sadar hampir setiap malam dalam tidurnya Adit mengerang kesakitan dengan tubuh Adit yang ikut demam membuat Bunda benar-benar tidak rela melepaskan Adit kali ini.
"Aman, Bun. Tangannya udah gak pa-pa, 'kok. Lagian, ada tamu penting yang mau kita temuin. Izinin, ya, Bun?" bujuk Adit, terakhir kali sebenarnya. Dia sudah membulatkan tekad, kalau kali ini Bunda berkata tidak, ia akan menurut, membiarkan Randy berangkat sendiri ke Bandung sementara dirinya memandu lewat video call dari sini.
"Biarin aja, Bun. Ada Randy yang jagain Adit. Kalo perlu, Bunda ikut juga ke sana. Memastikan Adit aman." Kali ini Ayah membantu membujuk istrinya yang langsung dihadiahi tatapan kesal dan bibir yang tertarik ke depan beberapa cm.
"Ayah, ih. Malah dukung anaknya. Bunda bisa apa kalo Ayah juga dukung." Adit dan Ayah saling pandang, kemudian tersenyum senang. Meski tidak langsung mengatakan iya, itu sudah pertanda Bunda mengizinkan mereka berangkat.
"Makasi, Bun. Tenang aja, Adit gak bakal bikin Bunda khawatir. Nanti Adit telponin terus tiap jam."
"Awas kalo enggak!"
Randy yang malam ini menginap di rumah Adit hanya bisa melihat drama keluarga cemara ini sambil terkikik dengan setoples kacang goreng di pangkuannya. Ia sendiri sudah membawa koper dan segala hal yang mereka perlukan di dalam mobil, siap berangkat esok hari. Sengaja ia menginap di rumah Adit, karena nanti Ayah dan Bunda akan mengantarkan mereka ke bandara.
"Obat demam sama pereda nyeri ada di tas ini. Bawa ke mana-mana. Obat alergi juga ada di sini. Inhaler sama obatnya Randy Bunda masukin sekalian di sini biar jadi satu. Tas ini gak boleh ditinggal. Ke mana-mana harus dibawa." Randy dan Adit kompak mengangguk, membiarkan Bunda mengatur barang-barang mereka, daripada marah-marah lagi.
"Ya udah, tidur sana. Udah malem. Besok Bunda bangunin. harus sarapan dulu sebelum berangkat. Bunda bikinin kesukaan kalian nanti."
"Makasi, Bun."
^^^
"Ran, aku tidur bentar, ya?" Randy mendongak, menatap Adit yang duduk di ujung tempat tidur. Pandangan Randy mengerut, fokus pada Adit yang akhirnya membuka suara lagi setelah berjam-jam mereka tiba di Bandung. Bukan itu sebenarnya yang membuat Randy akhirnya mengalihkan atensinya dari layar laptop, melainkan suara Adit yang parau dan lemah.
"Dit! Mimisan!" Adit yang memang sudah sangat lemas dan pusing hanya mampu menunduk, membiarkan darah yang mengalir dari hidungnya menetes langsung ke lantai. Pandangannya semakin berbayang, ditambah sekujur tubuhnya nyeri. Tadinya ia berpikir untuk mengistirahatkan tubuhnya setelah beberapa kali pandangannya menggelap ketika melukis, tapi sepertinya tubuhnya sudah menyuarakan protes terlebih dulu.
"Makanya disuruh istirahat itu nurut! Habis perjalanan jauh bukannya istirahat malah langsung ngelukis. Dibeliin makanan juga cuma diliatin aja. Dasar batu!" omel Randy, meski tangannya sibuk menutup darah yang mengalir dari hidung Adit dengan tissue. Ia sudah sempurna berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan Adit yang tengah duduk di kursi. Bukannya berhenti, darah itu justru semakin deras menetes, seolah mengalir begitu saja dari hidung Adit.
"Sampe pucet banget ini badan kamu. Kayak mayat tau, gak?" Kali ini Randy gusar menghubungi rumah sakit agar bisa mengirimkan ambulans untuknya. Mobilnya baru akan dikirim ke hotel besok pagi oleh orang rumahnya, dan Randy tidak yakin ojol bisa mengantarkannya ke rumah sakit lebih cepat dari ambulans.
"Dit? Tahan. Gak boleh pingsan!" teriak Randy, semakin gusar saat kepala Adit tertumpu ke dadanya. Adit menggumam sebagai jawaban, tak terlalu keras, tapi cukup terdengar oleh Randy. Ia lantas mengulurkan tangannya dan meraih sandaran kursi agar Adit bisa menggunakan lengannya untuk berpegangan. Dengan begitu, Randy bisa memastikan Adit tidak kehilangan kesadarannya.
"Ran, kok sesek, ya?" keluh Adit. Dari gerakan bahunya yang naik turun tak beraturan dan keringat yang tiba-tiba membanjir, Randy seolah hilang akal. Tak pernah dalam hidupnya melihat Adit sakit separah ini dalam hitungan menit. Ditambah lagi, Adit bukan perokok aktif. Meski tampilannya terlihat urakan, tapi Adit tak pernah menyentuh rokok dan miras sedikit pun. Maka mendengar keluhan Adit ini, Randy tak lagi bisa berfikir rasional.
Begitu genggaman tangan Adit di lengannya lepas sepenuhnya, Randy sempurna kehilangan akal dan kesabarannya. Ia buru-buru menaikkan Adit ke atas punggungnya dan berlari ke lift yang langsung membawanya ke lobby rumah sakit. Ia akan menunggu ambulans di sana. Harusnya tak lama. Info dari tim rumah sakit yang ia hubungi, ambulans itu ada di sekitar kawasan mereka. Harusnya tak sampai lima belas menit mereka sampai hotel.
Sayangnya, perjalanan turun ke lobby yang tak sampai lima menit saja sudah membuat Randy menggerutu sepanjang jalan. Apalagi jika ia harus menunggu lebih dari itu. Rasanya, kalau ada kendaraan yang bisa ia gunakan, Randy lebih memilih menyetir sendiri ke rumah sakit daripada harus menunggu seperti ini.
"Bang! Yang telpon ambulans, ya? Itu udah di pintu masuk!" teriak security saat melihat Randy. mendengar itu, Randy semakin mempercepat langkah kakinya, bahkan setengah berlari. Security tadi juga tanggap membantu Randy memegangi Adit yang sudah sempurna kehilangan kesadaran.
"Adit Pratama Setioso, 24 tahun, O rhesus negatif, tidak memiliki penyakit bawaan, alergi protein hewani, tidak mengonsumsi obat-obatan dan miras selama 24 jam terakhir, perokok pasif. Keluhan pusing, mimisan, sesak nafas," terang Randy dengan nafas satu-dua pada petugas ambulans.
^^^
Rekor, dua kali dalam sebulan Randy harus melihat Adit tak sadarkan diri dengan alasan yang sama, kelelahan. Ia sampai harus mendonorkan darahnya untuk Adit karena PMI di sini tidak memiliki stok darah yang cocok untuk Adit. Randy duduk di kursi tunggu ruang rawat setelah menyelesaikan administrasi rawat inap Adit. Adit sendiri belum sadarkan diri. Randy menatap Adit kebingungan, stamina Adit tidak pernah serendah ini. Biasanya, dia bahkan mampu begadang menyelesaikan lukisannya setelah dua hari full mendaki gunung Semeru.
Randy menggenggam ponselnya dan ponsel Adit, berharap tidak ada panggilan masuk dari Ayah dan Bunda. Beberapa menit sebelum Adit mimisan, Randy sudah sempat mengirimkan fotonya dan Adit yang tengah sibuk melukis. Semoga itu cukup membuat kedua orangtua itu tenang dan paham anaknya sedang tidak bisa diganggu.
"Ran, minum." Randy menatap Adit sejenak, memastikan Adit memang sudah sadar sebelum beranjak ke nakas untuk mengambilkan minum. Meski tanpa ekspresi, Randy membantu Adit minum dari gelas yang sudah ia beri sedotan. Ketika kepala Adit menjauh dari sedotan, Randy mengembalikan gelas itu ke tempatnya, kemudian ia duduk kembali.
"Kenapa?" tanya Adit pelan. Sadar sahabatnya memasang mimik wajah berbeda dari biasanya. Randy hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Kesal sekali dengan Adit.
"Takut, ya? Maaf, aku kurang sadar diri." Randy semakin menatap Adit sinis. Air mineral yang tadi ia berikan pada Adit tandas olehnya. Berharap air dingin itu juga meluruhkan amarahnya yang sudah di ubun-ubun. Melihat itu, Adit malah terkekeh dengan mata berkaca-kaca. Bersyukur sekali Randy hadir dalam hidupnya, membuatnya merasakan kasih sayang seorang kakak. Hal yang sangat mahal untuk anak tunggal sepertinya.
"Besok kalo dokter gak izinin ke acara, rasain!"
"Kita bakal tetep pergi. Pasti!"
"Serah! Batu!"
"Aku juga sayang banget sama kamu."
"Najis!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and I
Ficção GeralKetika kota Jakarta menjadi neraka bagi Maura, Malang akhirnya menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Dengan segala yang ada di kota itu, Maura untuk pertama kalinya merasa bebas, bahagia dan pada akhirnya menemukan cinta yang tak pernah ia duga. ...