Cukup, Tuhan!

248 29 4
                                    

"Sore, Dok." Randy mengetuk pintu ruang kerja Dokter Danu sebelum membuka dan menyapa pria paruh baya itu. Ia kemudian menyingkir, mempersilakan Ayah untuk masuk lebih dulu setelah Dokter Danu memberi isyarat padanya untuk masuk. Ayah tersenyum tipis menyapa Dokter Danu yang justru dibalas dengan pelukan hangat.

"Mari, duduk dulu. Saya sudah buatkan kopi kesukaan Pak Julio, baru diseduh. Kita minum dulu." Dokter Danu membimbing Ayah untuk duduk di sofa yanga da di ruang kerja Dokter Danu. Ia juga memberikan kode pada Randy untuk mengikuti dan duduk di samping Ayah. Seperti kata Dokter Danu, sudah ada tiga cangkir berisi kopi yang masih mengepulkan asap.

"Sudah sampai mana penyakitnya?" tanya Ayah pertama kali. Ayah tahu pasti tahapan kanker yang ada dalam tubuh Adit saat ini. Sayangnya, ia abai pada setiap tanda-tanda yang Adit perlihatkan. Ia lebih memilih menjaga mental Adit, selalu mengupayakan agar anaknya tidak terpuruk karena penyakitnya.

"Seperti yang kita tau, sel plasma Adit yang berubah menjadi sel mieloma yang bersifat kanker ini menumpuk di sumsum tulang dan menyingkirkan sel-sel darah yang sehat. Sel mieloma ini terus berusaha membuat antibodi, seperti yang dilakukan sel-sel plasma yang sehat. Namun, tubuhnya tidak bisa menggunakan antibodi ini, yang disebut protein M. Penumpukan protein M dalam tubuh Adit akhirnya menyebabkan kerusakan pada ginjalnya."

Randy mendengarkan dengan seksama, sementara Ayah yang sudah tahu arah pembicaraan ini hanya bisa tertunduk sambil meremas kedua tangannya dan berkali-kali menarik nafas panjang, menahan air matanya untuk tidak jatuh.

"Kita akan melakukan tes untuk melihat sudah sejauh mana kerusakan ginjalnya. Dari kondisi fisik yang Adit tunjukkan, sepertinya sudah mengarah pada kegagalan fungsi, tapi semoga saja diagnosa saya salah."

"Ya Tuhan." Ayah menghela nafas sambil menutup matanya. Getar dalam suaranya tak bisa ia sembunyikan. Ia lalai. Bagaimana bisa ia mengabaikan segala tanda-tanda yang ada dan membuat Adit sampai harus melalui semua ini? Apa gunanya pengalamannya sebagai dokter selama ini sampai anak sendiri saja ia tak bisa menjaganya?

"Lakukan yang terbaik, Dok. Secepatnya."

"Baik, Pak."

"Saya permisi dulu."

Tanpa menunggu Randy, Ayah beranjak dan berjalan sedikit terburu. Tak lagi menuju ruang rawat Adit, Ayah justru memilih berjalan keluar dari area rumah sakit. Di belakangnya, Randy mengekor, tak berani menipiskan jarak, tapi juga tak menjauh. Ia terus mengikuti langkah Ayah dengan jarak konstan hingga menyeberang jalan dan berakhir di depan sebuah tempat ibadah yang dulu kerap ia datangi bersama Adit dan para anak jalanan.

Langkah Ayah mantap memasuki tempat ibadah itu, sesekali ia menyapa orang-orang yang tengah berada di pelataran, yang beberapa sudah tak asing lagi untuk Ayah. Ayah berhenti sejenak, menyapa Pemuka agama yang kebetulan berada di luar dan langsung dibalas dengan sapaan dan pelukan hangat.

"Apa kabar, Pak Julio?" Ayah menjawabnya dengan anggukan dan senyuman, yang kemudian dibalas dengan puji syukur dari sang penanya.

Pertanyaan berganti pada Bunda dan Adit. Tak mampu menjawab, air mata Ayah yang ia tahan mati-matian pun tumpah. Sang Pendeta segera membawa Ayah masuk ke dalam gereja, diikuti Randy yang masih setia mengekor dari belakang. Lewat sudut matanya, sang Pendeta mengenali Randy, menyapanya dengan senyum dan anggukan yang juga dibalas dengan hal yang sama.

"Kita berdoa sama-sama untuk Adit, ya, pak?" Ayah mengangguk tanpa kata, masih dengan air mata di wajahnya, semakin deras ketika ia sudah duduk di dalam gereja.

"Ya Tuhan, kami datang kepada-Mu dengan hati yang rendah dan penuh harapan, memohon kesembuhan bagi anak kami Adir. Kami tahu bahwa Engkau adalah Sang Penyembuh yang maha kuasa. Kiranya Engkau memulihkan tubuhnya, mengurangi rasa sakitnya, dan mengembalikan kesehatan yang sempurna. Serta berikanlah hikmat kepada para dokter dan tenaga medis yang merawatnya. Kami percaya bahwa Engkau adalah sumber hidup dan kesembuhan. Terima kasih atas kasih karunia-Mu. Dalam nama Yesus kami berdoa, Amin."

The Painter and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang