Bahagia Mereka

314 35 2
                                    

Adit dan Randy memasuki area museum dengan langkah perlahan. Langkah keduanya terus menyusuri lorong menuju mini bioskop yang digunakan untuk menayangkan beberapa film dokumenter mengenai pemugaran beberapa peninggalan bersejarah yang ada di dalam museum. Anak-anak tentu saja melihat dengan begitu antusias. Sesekali bibirnya berceloteh menanggapi film yang tengah diputar. Hanya Andy yang menyadari kehadiran Adit dan Randy. Ketiganya sama-sama mengangguk sambil tersenyum, kemudian kembali fokus pada film yang tengah diputar.

"Kalo masih pusing, tidur dulu aja. Filmnya lumayan lama, kok." Randy membantu Adit duduk setelah melihat sahabatnya tiba-tiba limbung saat menuruni tangga mendekat ke anak-anak. Tak menanggapi lebih selain dengan gelengan dan senyum tipis, Adit justru lebih memilih untuk mengeluarkan sketchbook yang ia simpan di dalam tas selempang.

"Tanganku gatel pengen gambar anak-anak. Ekspresinya mahal banget." Randy tanpa sadar memalingkan wajahnya, menatap anak-anak yang sama sekali tak menurunkan antusiasmenya. Bahkan terlihat semakin antusias dengan banyaknya celotehan yang ditujukan pada Andy.

"Inget, kamu bukan robot." Seperti sebelumnya, kalimat Randy pun dibiarkan begitu saja tanpa balas. Untuk beberapa menit kemudian, Randy membiarkan Adit menggambar sementara dirinya bergabung dengan Andy, membantu menjawab pertanyaan random anak-anak di sana.

seolah terserap masuk ke dalam sketchbook-nya, Adit tak lagi memperhatikaan sekitarnya. Ia bahkan tak lagi menyadari saat Randy tak lagi di sampingnya, padahal tangannya tengah menggambar Randy di antara kerumunan anak-anak di bawah sana. Kali ini, baginya Randy dan semua yang ada di sana bukan lagi manusia, melainkan objek karya seni. Tangannya baru berhenti ketika lampu bioskop menyala, menampakan wajah puas anak-anak jalanan dan raut pusing Randy, juga Andy.

"Kita kumpul di aula, ya?" Andy menggiring anak-anak keluar dari bioskop, diikuti Randy yang ikut mengkondisikan anak-anak. Sementara Adit masih menyelesaikan gambarannya. Tak berselang lama, ia selesai dan buru-buru memasukkan sketchbook juga pensil yang ia gunakan ke dalam tas. Ia buru-buru mengikuti langkah anak-anak.

"Aku gantiin dari sini, kalian istirahat dulu," tawar Adit pada Randy dan Andy yang terlihat sudah kelelahan.

"Gimana? Seru gak filmnya?" tanya Adit, menggantikan Randy dan Andy agar bisa mengistirahatkan otak sejenak setelah menanggapi segala pertanyaan anak-anak yang tidak ada habisnya.

"Seru!"

"Ada yang mau cerita gak ke Mas Adit, siapa raja Majapahit yang pertama? Yang bisa jawab nanti Mas Adit kasih uang lima puluh ribu." Mendengar nominal uang yang Adit tawarkan, anak-anak langsung berebut menjawab. Dari ujung tak jauh tempat Adit duduk, Randy dan Andy menghela nafas panjang, lega tidak perlu menghadapi teriakan mereka untuk beberapa saat.

"oke, oke. Gantian, ya? Alia mau jawab duluan?" tunjuk Adit pada gadis berperawakan mungil, berselang dua baris dari tempatnya duduk. Gadis bernama Alia yang memang mengangkat tangan paling awal langsung berdiri sambil tersenyum sumringah.

"Raja pertama kerajaan Majapahit itu Raden Wijaya, atau Kertarajasa Jayawardhana. Sebelumnya, dia adalah panglima perang Kerajaan Singasari sekaligus menantu Raja Kertanegara. Raden Wijaya ini adalah pendiri dari kerajaan Majapahit," terang Alia dengan penuh percaya diri. Adit yang memang juga sangat menyukai sejarah refleks bertepuk tangan mendengar jawaban yang sangat sempurna dari Alia.

"Bagus sekali, Alia. Sini maju!" Adit mengambil selembar uang lima puluh ribu dari dompetnya dan memberikannya langsung pada Alia yang dibalas teriakan iri anak-anak yang lain. Adit semakin tersenyum lebar.

"Oke, siapa siap dengan pertanyaan selanjutnya?"

"Aku, aku, aku!" teriak anak-anak antusias, lebih dari sebelumnya yang mengundang gelak tawa tak hanya Adit, tapi juga Randy dan Andy yang sudah selesai menandaskan air dan sebungkus roti.

"Kalo tadi raja pertama, sekarang raja yang paling terkenal!"

Suasana kembali ricuh saat Adit selesai dengan pertanyaannya. Tak sedikit dari anak-anak itu bahkan sampai maju ke depan, membuat Adit refleks memundurkan tubuhnya sampai menabrak dinding.

"Yang tertib, ya!" teriak Randy dan Andy, mencoba mengatur suasana agar Adit tidak kewalahan. Mendengar teriakan, anak-anak refleks mundur dan kembali duduk, meski mulutnya masih berteriak dengan tangan teracung ke atas.

"Oke, sekarang Momon yang jawab, ya?"

"Yah!" teriak anak-anak tidak terima. Adit hanya bisa tersenyum melihat Momon meledek teman-temannya yang tidak ditunjuk.

"Yang paling terkenal ya pasti Hayam Wuruk!Soalnya selama memimpin, kerajaan Majapahit jadi damai dan maju, jarang perang kecuali perang Pasundan-Bubat."

Adit kembali tersenyum lebar bahkan bertepuk tangan dengan kencang. Tak seperti anak-anak di sekolah umum yang merasa sekolah adalah hal yang melelahkan dan membosankan, anak-anak jalanan selalu merekam semua pembelajaran yang ia sediakan dengan sangat baik. Menganggap pembelajaran ini adalah hal yang mahal, jadi mereka selalu sangat antusias belajar.

"Tepat sekali! Sini, maju!"

Momon bersorak girang. Uang lima puluh ribu yang diberikan Adit langsung disimpan dengan baik di saku celananya. Lumayan, mereka tidak perlu bekerja panas-panasan di jalanan hari ini.

"Terakhir, ya? Kerajaan Majapahit ada di mana, sih?"

Sekali lagi, aula itu dipenuhi teriakan anak-anak jalanan. Adit memilih satu dari mereka yang terlihat matanya mengangkat tangan lebih dulu. Seperti biasa, jawaban anak itu juga sempurna. Adit dengan bangga memberikan selembar lima puluh ribuannya lagi pada anak itu yang langsung diterima dengan wajah kelewat sumringah.

"Yuk, makan siang dulu. Abis makan siang kita lanjut belajar lagi, ya?"

"Oke, Mas!"

Adit menghela nafas panjang tepat saat anak terakhir dalam barisan itu menghilang dari pandangannya. Ia sengaja tidak langsung beranjak. Sejak tadi, ia menahan rasa sakit di kepala yang kembali datang. Kali ini bahkan lebih sakit dari sebelumnya. Mungkin, efek obat yang ia minum sudah mulai menghilang. Dengan bantuan air mineral yang Randy berikan sebelum menggiring anak-anak ke ruang makan, Adit kembali menelan obatnya.

Untuk beberapa saat, ia menikmati rasa sakit di kepalanya sambil menahan tubuhnya untuk tidak menggigil. Dingin sekali, padahal jaket berlapis miliknya tak pernah ia longgarkan. ia malah semakin merapatkan tangannya, mencoba mencari kehangatan lebih. Ketika ponsel di sakunya berdering panjang, Adit yakin Randy lah yang menghubunginya. Ia perlahan bergerak, mencoba berdiri dengan bertumpu pada dinding yang sedari tadi ia gunakan untuk bersandar.

"Argh!"

Tanpa sadar Adit mengerang. Sakit sekali kepalanya. Seolah ada orang yang sengaja melempari kepalanya dengan batu besar. Pandangannya kembali menggelap, lengkap dengan denging di kepalanya. Adit pasrah jika harus kehilangan kesadarannya di sini. Salahnya sendiri tidak mau mendengarkan tubuhnya.

"Hei! Lo kenapa? Mana yang sakit? Mau gue bantu ke rumah sakit?"

Adit mengerutkan keningnya, mencoba memfokuskan pandangan yang semakin berbayang. Pandangannya bertemu pada mata hazel yang menatapnya dengan raut khawatir yang begitu kentara. Sayangnya, itu jugalah yang menjadi hal terakhir yang ia lihat sebelum kegelapan akhirnya menguasai, menariknya ke alam bawah sadar yang sudah sejak tadi menunggunya.

The Painter and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang