part 4

82 10 0
                                    

"Udah ketemu keputusannya?" Tanya mbak Mela saat duduk di samping Asiy. Mereka sedang duduk di mushola sehabis shalat zuhur berjamaah.

"InsyaAllah mbak, besok mau bicarain sama ibu ayah dulu" Jawab Asiy. Mela mangut mangut.

"Mbak, mau tanya"

"Apa?" Mela kembali menoleh ke Asiy yang juga sednag menatapnya.

"Mbak Mela deket sama cowok yang namanya Azam ya?" Akhirnya Asiy bisa mengatakan apa yang mengganjal di pikirannya, entahlah, sejak kemarin ia memikirkan hal ini.

Mbak Mela mengerutkan keningnya dengan ekspresi kaget. "Tau dari mana berita kayak gituan?"

"Jawab jujur aja sih mabk, nggak usah malu" Asiy tersenyum.

"Sebemernya sih enggak"

"Kok sebenernya sih mabk? Nggak pasti banget deh"

"Enggak deket Asiy. Cuma kagum aja"

"Kagum? Emang dia kenapa sampek mbak Mela kagum?"

"Kamu kayak wartawan aja, jangan-jangqn kamu suka sama Azam" Mela balik menuduh.

"Ih enggak lah. Tau aja enggak. Cuma mbak Mela kan cantik, masak kagum sama seseorang. Berarti orang itu nggak main-main donk"

"iya ya, kenapa aku jadi kepo banget sih? Bukan urusan aku juag. Tapi udah nanggung, terusin aja deh" batin Asiy.

"Azam Asy-Syirbini. Dia selain pintar juga alim, ganteng juga sih. Tapi yang penting tuh bukan ganteng atau pinternya, pokoknya dia tuh beda dari yang lain. Dia takzim, jurusan tahfiz dan dia gus. Nggak tau sih pondok mana, tapi saat pemjengukan ibunya sering bawa santri buat nganter.

Dan banyak hal hal yang dia lakuin yang mungkin menurut kita sepele banget. Nata sandal contohnya, siapa sih yang merhatiin? Tapi dia lakuin. Dia juga sering beli makanan buat kucing yang keliaran di pondok putra. Ah perfeck deh, dia juga jaga pandangan, nggak pernah ngeliatin santri putri. Padahal jaman sekarang, siapa sih yang bisa jaga pandangan, malah banyak yang caper. Suka sama dia tuh nggak rugi, tapi sia-sia nggak bakalan ditanggepin masalahnya" ucap mbak Mela panjang lebar.

"Emang siapa aja yang suka sama Azam?"

"Nggak terhitung. Terus katanya nih ya, kalau kita baca shalawat sambil liatin dia, dia bisa tau dan nengok"

"Bisa gitu?"

"Ya bisa aja sih. Tapi aku nggak berani"

"Kenapa nggak berani?" Asiy lagi-lagi bertanya.

"Bener bener pantes jadi wartawan" Mela menyentil kening Asiy hingga membuat empunya mengaduh. Lalu pergi, Mela memang selalu pergi di tengah pembicaraan dan membuat Asiy semakin berpikir.

"Au ah, nggak penting"

*_*

Asiy sedikit menggerutu dalam hati, kesal. Tadi pagi saat berwudhu hendak pergi ke sekolah, kerudung Aqila terjatuh dan terkena air karena kran belum dimatikan. Aqila menyeret Asiy untuk mencari ke seluruh santriwati siapa yang punya kerudung sragam lebih, tentu saja tidak ada! Tapi beruntung karena ada yang sakit dan tidak berangkat ke sekolah dan meminjamkan kerudung sragamnya.

Tapi seberuntung apapun, mereka tetap todak beruntung, mereka terlambat lima belas menit! Padahal jam pertama adalah matematika, dan gurunya killer. Entah kenapa pelajaran yang sudah cukup membuat pusing itu harus ditambah guru killer, ups... keceplosan. Sebagaimanapun perangai guru, kita tetap harus takzim dan tidak menaruh sebal dalam hati. Atau ilmu yang kita terima tidak akan berguna.

Sebenarnya tidak apa tidak memakai kerudung sragam, cukup meminta izin dan membayar denda ke departement ketertiban. Tapi memakai kerudung yang berbeda pasti akan menjadi sorotan, dan Aqila tidak mau itu.

Siapapun pasti bisa menduga kalau guru pasti sudah datang. Dan mereka hanya mampu mematumgdi ambang pintu sambil menahan napas saat ditatap horor oleh pak Amir, guru matematika.

"Kalian kelas ini?" Tanya Pak Amir to the point, dia tidak suka bertele-tele. Asiy dan Aqila hanya mengangguk. Pasrah.

"Kenapa terlambat?"

"Katanya tidak ada kata terlambat untuk belajar? Eh..." Asiy menutup mulutnya sendiri yang benar benar tidak tau situasi. Entah apa yang akan terjadi, Asiy harap dia bisa menarik kembali ucapannya tapi itu mustahil.

"Asiy!" Geram Aqila pelan, tidak terdengar sampai telinga pak Amir.

"Jawaban yang bagus dan saya tidak menyukainya" Pak Amir menatap tajam Asiy yang kini menunduk semakin dalam.

"Karena jawaban nya bagus. Saya akan memberikan keringanan" Pak Amir tersenyum. Bukannya menambah pesoma wajah, pak Amir justru terlihat lebih menyeramkan.

Asiy menahan napas, kata ringan dari pak Amir tak pernah benar-benar ringan atau malah kebalikannya.

"Silakan berdiri di samping tiang bendera dengan satu kaki, dan jangan lupa jewer telinha satu sama lain, satu jam pelajaran" ucap Pak Amir tegas, tidak bisa diganggu gugat.

Asiy menghembuskan napasnya lega, itu tidak begitu melelahkan. Asiy bisa menyeret Aqila untuk kembali ke pomdok dan sarapan. Jujur Asiy lapar, ia tidak biasa tidak sarapan. Mereka memang tidak sempat sarapan. Ah, Asiy akan menyuruh Aqila membelikannya roti yang banyak, ini tanggung jawabnya.

"Saya awasi dari sini" ujar pak Amir yang langsung menghancurkan rencana Asiy yang sudah tersusun rapi.

Asiy menyeret Aqila keluar kelas setelah mengucap salam. Berhadapan dengan pak Amir tidak pernah berefek baik. Tapi berdiri di sqmping tiang bendera itu memang tergolong ringan.

Pernah dulu ada yang disuruh menghitung keramik satu gedung, tiga lantai padahal ukuran ruangan berbeda beda dan membuat si pemghitung harus memasuki ruangan satu persatu. Atau ada juga yang disuruh menghitung bata gedung seberang yang belum selesai dibangung dan masih terihat batanya.

"Sumpah ya aku takut banget" keluh Aqila.

"Ya karena apa kita telat? Kamu kan" Asiy menggerutu.

"Cepat berdiri atau saya tambah hukumannya" teriak pak Amir dari balkon lantai dua karena Asiy dan Aqila belum berdiri sesuai arahan Pak Amir tadi.

Cuaca pagi ini sedikit panas. Cahaya sinar matahari mulai menusuk pucuk kepalanya. Asiy mengusap peluh yang menetes dari dahinya, telinganya juga sakit karena jeweran Aqila walau dia juga menjewer Aqila. Berkali kali Asiy beristighfar dalam hati karena menggerutu.

"Assalamualaikum, pak" terdengar suara dari arah belakang Asiy. Asiy mengerut heran, ini jam pelajaran, tak seharusnya ada yang berkeliaran sqat jam pelajaran.

"Wa'alaikum salam warah matullahi wabarakatuh. Kok keluar nang, kan jam pelajaran" sahut seseorang dengan suara berat. Mungkin orang yang tadi disapa 'pak'.

"Iya, habis izin ke belakang" sambut suara awal. Karena penasaran, Asiy menoleh ke belakang, melepas jewerannya dan Aqila, pak Amir tidak lagi mengawasi.

'Deg' Asiy hanya diam memperhatikan dua lelaki berbeda generasi yang sedang mengobrol, lebih tepatnya ke yang muda. Tampan, itu kesan pertama yang Asiy dapat melihat orang itu.

"Masih sering seperti itu?" Tanya pak guru. Pak Safak namanya.

"Eh?" lelaki itu berpura pura tidak paham.

"Menata sandal" Asiy kembali membalikkan badannya yang sudah di posisi semula mendengar itu, begitu pun Aqila yang ternyata juga menguping.

*-*

jangan jadi silent readers ya kawan.

support nya

love you in my prostrationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang