BAB 09

1.9K 185 1
                                    

Lindang|Kenyataan Ini Membunuhku
***

"Bos, apa yang harus kita lakukan? Dia sudah membayar mahal untuk menyewa kapal pesiar bahkan mengundang beberapa koki terkenal, tapi ...."

Karyawan lain berceletuk, "Dia pasti sangat sedih, tapi aku tidak bisa menghiburnya. Lihat wajahnya itu, dia terlihat sangat kesepian namun tak ingin diganggu."

"Kekasihnya bukanlah orang yang baik. Dia sudah sangat berusaha keras menyiapkan segala hal untuk pesta ini, aku merasa sangat kasihan padanya."

Kue tiga tingkat itu diletakkan diatas meja, Bhira duduk di atas kursi memandangi nama yang tertulis di sisi kue tersebut, jantungnya berdenyut kesakitan, air matanya mengalir deras seperti sungai. Diam-diam menangis dan tidak ada ekspresi di wajahnya tetapi mata dan hidungnya yang merah mengkhianati emosi batinnya.

Sudah cukup lama Bhira menunggu kedatangan Fairel bersama Ayumi. Dia merasa tidak enak hati karena membuat Ayumi terjaga sampai larut malam hanya untuk menemaninya menunggu. Sampai akhirnya Bhira memutuskan untuk pergi. Alih-alih pulang, Bhira kembali kesini untuk sekedar menemani para tamu yang datang dan meminta maaf atas keterlambatannya. Namun begitu kakinya memasuki aula, Bhira tak menemukan satupun tamu yang turut hadir memeriahkan pesta yang diadakannya. Hanya ada sekumpulan pemain orkestra yang menunggu dikursi siap menyambut tamu yang datang, namun yang hadir hanyalah seonggok manusia tanpa jiwa. Bhira meminta manajer membubarkan acara dan membiarkan dia sendirian menatap ruang yang sepi dalam keadaan linglung.

Manajer telah berdiri disudut bersama beberapa karyawannya yang lain, menatap gadis itu dengan iba. Ia merasa kasihan pada Bhira, namun mereka tak bisa membantu. "Sebaiknya kita tidak mengganggunya, biarkan dia sendiri. Ayo pergi!" Menajer menarik bawahannya untuk pergi meninggalkan Bhira sendirian meratapi kesedihanya ditengah aula.

Air matanya mengalir keluar tanpa henti, dan sambil tersedak dia bergumam, "Apa yang kulakukan sendirian disini? Ayi pasti sedang bersenang-senang bersama teman-temannya disana."

Bhira terkekeh disela-sela isak tangis yang memilukan, berusaha untuk berpikir positif meski jantungnya berdenyut dengan rasa sakit yang tak tertahankan. "Ehehehe Ayi pasti lupa, atau apakah dia belum membaca isi pesan ku oleh sebab itu dia tidak datang. Ah, dia pasti sangat sibuk sehingga tidak melihat ponselnya. Tsk! Aku benar-benar bodoh."

Perlahan-lahan rasa kantuk mulai merayapi kelopak matanya yang terasa semakin berat. Bhira kelelahan setelah banyak menangis, dia mengendurkan tubuh menjadikan kedua lengannya sebagai bantal dan tertidur dengan air mata yang mengalir di atas meja.

Entah berapa lama dia tertidur, saat dia terbangun dia merasakan seseorang menepuk-nepuk lengannya dengan lembut. Bhira mengangkat kelopak matanya perlahan, dia berkedip sebelum akhirnya melihat sekumpulan orang berseragam berdiri didepannya dengan ekspresi cemas.

Ketika mencoba untuk bangun, Bhira merasakan seluruh tubuhnya terasa nyeri, bahkan kepalanya terasa berputar. Bhira meringis karena ketidakberdayaan. Manajer menyondorkan segelas air putih ke arah bibirnya yang pucat dengan khawatir, "Nona, minumlah sedikit."

Bhira mendorong gelas dengan lemah, sambil memegangi meja, Bhira mencoba untuk berdiri. Kakinya terasa lemas, dia terhuyung-huyung dan hampir saja ambruk kelantai sebelum dengan sigap beberapa orang segera menahan tubuhnya. "Nona, apa kamu baik-baik saja? Kami akan mengantarmu kerumah sakit."

Dia sudah tidur selama semalaman di tengah aula dengan pakaian minim. Dia tidak tidur dengan nyenyak, karena ketidaknyamanan. Sekarang seluruh tubuhnya terasa panas, wajahnya pucat, kepalanya sakit. Dia bersikeras untuk pulang dan menolak ajakan mereka ke rumah sakit. Mereka memasukkan tubuh lemah Bhira kedalam Taxi, merasa sedikit khawatir. Bhira berbaring lemah disana, dengan mata terpejam Bhira menyebutkan alamatnya pada sang supir.

LINDANG [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang