BAB 12

2.3K 194 1
                                    

Lindang| Pengusiran Tanpa Belas Kasih
***

Keesokan harinya Bhira terbangun oleh suara ketukan pintu yang berisik didepan kamarnya. Setengah kelopak matanya terbuka saat dia memandang ke arah pintu balkon dalam posisi miring. Cahaya mentari masuk melalui tirai tipis dia memandangnya cukup lama sampai ketukan itu kembali terdengar.

"Nona, apakah Nona sudah bangun?" Tanya seorang asisten rumah tangga dengan nada lembut.

Bhira memutar bola matanya jengah. Dia terlalu malas bangun dari tempat tidur setelah apa yang terjadi kemarin. Dia tidak punya mood untuk melakukan kegiatan apapun. Lagipula Bhira masih belum tahu apa yang akan ia lakukan saat dia tak lagi kuliah. Wira tidak bicara apapun perihal rencana ke depan Bhira, sehingga Bhira terlanjur malas untuk bertanya. Apalagi Wira dan Milya saat ini sudah sibuk mengurus putri kandungnya dan Bhira merasa keberadaannya tak lagi diinginkan. Jadi akan lebih baik jika dia berdiam ditempat tidur sampai seluruh penghuni meninggalkan rumah.

Setelah ketukan pintu yang tak dihiraukan, suasana kembali hening. Bhira tidak tahu akan ada badai setelah keheningan ini, jadi Bhira hanya berdiam sambil memandangi pintu balkon dengan pandangan kosong. Tidak lama setelah itu, Bhira kembali dikejutkan dengan suara ketukan yang lebih kuat dan menuntut. Bhira terkesiap dengan matanya menatap pintu yang di gedor oleh seseorang diluar.

"Bhira ayo bangun, jangan biarkan aku memaksa pintu ini terbuka. Cepat bangun!" Suara dingin dan tegas itu menggema dari luar ruangan. Bhira berkedip memandangi pintu mahoni yang terlihat akan roboh jika tak segera dibuka. Bhira bangkit dari kasur empuknya, mengikat tali piyama kimononya yang longgar dan turun dengan berat hati menyeret tubuhnya untuk membukakan pintu.

Begitu pintu terbuka, tiga hingga empat orang laki-laki menyerbu masuk ke dalam membuat Bhira tersandung ke belakang dengan ekspresi terkejut. Tanpa permisi, mereka mengeluarkan koper, pakaian serta membereskan alat hiasnya di meja rias dengan gerakan cepat. Mulut Bhira menganga, matanya berkilat dalam kemarahan, dia hendak menghentikan orang-orang itu saat tiba-tiba Wira mencengkeram pergelangan menahannya ditempat.

"Papa, kenapa barang-barangku dikeluarkan?" Katanya panik, lalu menoleh melihat barang berharganya disentuh hingga membuat dia murka. "Hei! Berhenti, jangan menyentuh barang mahalku, gaji kalian tidak akan cukup untuk membayarnya! Ku bilang berhenti menyentuhnya!"

Wira tidak membiarkan putrinya berlari untuk menghentikan suruhannya. Dia mencengkeram pergelangan tangan gadis itu dengan sedikit kekuatan sehingga dia meronta dengan liar. "Papa, hentikan mereka! Apa yang akan mereka lakukan dengan barang-barangku."

Bhira meronta, mencoba meloloskan diri dari cengkeraman Wira yang semakin mengerat, dalam kegelisahan itu Bhira mendengar suara dingin dari belakangnya: "Kamu harus pergi dari sini!"

Tubuh Bhira berhenti meronta. Dia tertegun, berpikir mungkin dia salah mendengar sehingga bertanya sekali lagi. "Papa, barusan, apa yang kamu katakan?"

Wira tanpa belas kasihan mengulanginya dengan penuh penekanan, "Kamu. Harus. Keluar. Dari. Rumah. Ini."

Mata Bhira berkedip cepat, ekspresi diwajah nya membeku selama beberapa detik. Pandangannya kosong, dia merasakan petir menyambar jantungnya hingga seluruh tubuhnya bergetar karena kegundahan. "Papa, kamu mengusirku?" Tanya Bhira dengan ekspresi tak percaya.

Sudut matanya memerah, tenggorokannya tercekat sehingga membuat ia sulit bernapas, dadanya terasa sesak dan menyakitkan. Apa ini? Mengapa tiba-tiba Wira mengusirnya? Apa Bhira benar-benar tidak diinginkan lagi dirumah ini?

"Papa, aku..." Bhira menelan ludah dengan susah payah, diselingi oleh kata-katanya yang tersangkut diujung lidah.

"Kamu harus kembali ke keluarga kandungmu."

LINDANG [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang