Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Jungkook mengerti, akan tetapi, ia sama sekali tidak pernah membayangkan, jika perpisahannya dengan sang kakak akan terjadi dengan secepat ini.
Pertemuan mereka memang tidak meninggalkan kesan yang cukup berarti. Sejak awal, Jungkook datang ke kehidupan Jimin hanya sebagai adik tiri. Jimin yang tidak begitu pandai bersosialisasi, serta kepribadian Jungkook yang bisa dibilang cukup pendiam, membuat keduanya terasa sulit untuk saling mengakrabkan diri.
Kendati demikian, rasa sakit akan kehilangan seseorang yang pernah menjadi bagian dalam cerita hidupnya tentu saja ikut Jungkook rasakan. Sebagian hatinya terasa kosong, saat melihat potret mendiang sang kakak dan berdiri di hadapan peti matinya.
"Kau bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan, Kak," lirih Jungkook seraya menatap lamat potret sang kakak.
Terakhir kali mereka bertemu adalah hari di mana ia menjenguk sang kakak dengan ayahnya.
Jungkook berpikir akan kembali mengunjungi Jimin setelah ujiannya berakhir. Namun, di luar dugaannya, Tuhan justru memiliki rencana lain untuk mereka. Ia sudah lebih dulu mengambil sang kakak, dan membuat mereka bertemu dengan cara yang tidak pernah ada dalam rencananya.
"Jangan sia-siakan waktumu hanya untuk menyesali masa lalu, Jung. Hidup terus berjalan, kau akan tertinggal jika selalu berjalan di tempat yang sama."
Sudut bibirnya tertarik begitu saja saat penggalan kalimat sang kakak berputar di otaknya. Jungkook ingat, itu adalah secuil nasehat dari sang kakak mengenai masalah yang terjadi antara dirinya dan Yoongi.
"Sebenarnya masih banyak sesuatu yang ingin aku bagi denganmu, Kak. Namun, jika mengambilmu adalah cara Tuhan agar Kakak tidak merasa sakit lagi, aku tidak memiliki hak untuk protes, 'kan?"
Selain pada tubuhnya, efek dari gagal ginjal juga menyebabkan gangguan pada jantungnya. Kerusakan pada ginjalnya membuat jantung Jimin harus bekerja lebih keras untuk memompa cairan ke seluruh tubuh yang pada akhirnya membuat jantung menjadi membengkak. Hingga terjadi komplikasi, dan membuat Jimin tidak bisa tertolong lagi.
"Kak Jimin hebat sekali sudah berjuang sampai sejauh ini. Sekarang, istirahat yang tenang di pangkuan Tuhan, ya, Kak? Jika bisa, tolong sampaikan salamku untuk Ayah Wonwoo di sana."
Jungkook tersenyum sembari mengusap kasar air matanya. Anak itu membungkuk, memberikan penghormatan terakhirnya untuk sang kakak, sebelum akhirnya melangkah pergi dari sana.
***
Jenazah Jimin baru akan dikremasi setelah tiga hari. Selama itu, Yoongi dan Jungkook berniat tetap berada di rumah duka guna menghormati mendiang Jimin dan keluarganya.Namun, ucapan yang baru saja keluar dari mulut Seoho agaknya telah membuat Yoongi mengurungkan niatnya. Tanpa peduli akan sekitar, pria itu menyudutkan Jungkook dan menyalahkan kematian Jimin padanya.
"Andai kau tidak menolak memberikan ginjalmu, putraku pasti masih hidup sampai sekarang."
Yoongi yang mendengarnya tentu saja merasa tak terima. Sebagai sesama orang tua, ia mencoba mengerti akan kesedihan Seoho saat ini. Akan tetapi, menyalahkan putranya atas kematian Jimin adalah sesuatu yang tidak bisa ia tolelir lagi.
"Anda bisa mengatakan apa-pun. Namun, jangan coba-coba untuk menyalahkan putra saya atas sesuatu yang berada di luar kendalinya. Kita sedang sama-sama berduka, tolong jangan memancing emosi saya dan membuat saya melakukan sesuatu yang tidak seharusnya saya lakukan, Tuan."
Tak ingin suasana menjadi semakin runyam, Yoongi langsung menyeret pergi sang putra usai menyelesaikan ucapannya. Sama sekali tak peduli, pada permohonan Ji Hyun yang menyuruhnya tetap tinggal dan mengabaikan ucapan Seoho, ataupun sebagian orang yang menatap mereka dengan pandangan berbeda-beda.
***
Tidak ada konversasi apapun yang terjadi selama perjalanan meninggalkan rumah duka. Keduanya hanya terdiam, hingga Yoongi memecah keheningan dengan memulai pembicaraan."Tidak perlu memikirkan ucapan Ayahnya Jimin, Koo. Dia hanya sedang terluka karena kepergian putranya, makanya omongannya jadi ikut melantur juga."
"Tidak," sanggah Jungkook, cepat.
Entah apa yang salah, anak itu tertawa usai mendengar ucapan yang keluar dari mulut sang ayah.
"Bukankah aku sama saja dengan Paman Park, Ayah? Sama-sama menyalahkan orang lain untuk kematian orang terdekat kami."
Yoongi tidak tahu apa maksud dari kalimat sang putra. Namun, jika Jungkook bermaksud untuk menyindirnya, sepertinya itu berhasil lantaran napas Yoongi terasa tercekat seketika.
Tangannya mulai berkeringat, seiring dengan cengkraman pada stir mobil yang semakin mengerat. Sebisa mungkin, Yoongi tetap berusaha mengendalikan diri dan fokus dalam mengemudi.
"Apa yang Paman Park lakukan adalah hal wajar. Beliau merasa sakit hati karena kepergian putranya. Jika Paman Park salah, apa aku juga bersalah karena menyalahkanmu atas kematian Ayah Wonwoo, Ayah?"
"Tidak. Keduanya tidak bisa dibandingkan, Koo."
"Kenapa tidak, Ayah?"
Yoongi menghela napasnya kasar. Meski tidak secara gamblang, ia merasa Jungkook tengah memaksanya untuk sekali lagi mengakui dosa-dosanya dan mengulitinya habis-habisan.
Meski begitu, Yoongi tetap menjawab apa yang Jungkook tanyakan. Ia tidak ingin, anak itu menerima mentah-mentah ucapan Seoho dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Jimin.
"Menolak memberikan sesuatu yang menjadi hak kita tidak lantas menjadikan kita bersalah apa lagi jahat, Koo. Koo bisa bersimpati, atau merasa sedih karena kepergian Kak Jimin. Itu adalah hal wajar sebab Kak Jimin pernah menjadi bagian dalam hidup Koo. Akan tetapi, tidak bisa dibenarkan jika Koo justru menyalahkan diri untuk kematiannya. Seperti yang Ayah bilang, Koo punya hak untuk menolak. Koo punya hak untuk mempertahankan ginjal Koo dan hidup dengan dua ginjal yang sehat. Oleh karena itu, Koo tidak harus merasa bertanggung jawab atas kematian Kak Jimin."
"Hal itu tentu berbeda sama sekali dengan Koo, yang menyalahkan Ayah. Sebenarnya, tidak bisa disebut menyalahkan, sebab apa yang Koo katakan memang benar. Ayah yang bertanggung jawab atas kematian Wonwoo. Ayah, yang secara tidak sengaja maupun tidak telah membuat Ayah Koo meninggal dan membuat Koo harus merasakan sakit karena kehilangan. Koo tidak bisa disalahkan, karena memang Ayahlah yang bersalah."
Demi Tuhan, dada Yoongi terasa sesak sekali saat mengingat kejadian puluhan tahun silam. Bagaimana tubuh Wonwoo yang terlempar usai tertabrak oleh mobilnya, dan ia yang dengan teganya justru kabur sebab dikuasai oleh ketakutan seolah berputar begitu jelas di kepalanya.
Yoongi menyesali semua yang telah terjadi. Ia menyesali, dirinya yang dulu begitu pengecut hingga memilih untuk melarikan diri dan menyelamatkan dirinya sendiri.
Andai waktu bisa diputar, Yoongi lebih baik mati, atau dipenjara di balik jerusi besi, dari pada hidup dengan penyesalan yang terus menghantuinya setiap hari.
"Ah ... begitu, ya."
Jungkook berguman sembari menganggukkan kepalanya. Untuk sekilas, ia menoleh pada sang ayah yang berada di sampingnya sembari dengan lirih berkata;
"Jadi aku tidak salah, 'kan. Karena membenci Ayah?"
Tbc.
_____________
Yang ngerti tentang medis atau kesehatan, tolong koreksi kalau ada yang salah pas bagian aku jelasin tentang kematian Jimin, ya.
Cuma secuil, si, tapi itu yang bikin aku maju-mundur buat posting karna takut salah meski udah pusing sendiri cari info sana-sini. 😩
____________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake✔️
FanfictionSemua baik-baik saja antara Min Yoongi dan Jungkook-sang putra. Hingga satu kebenaran terungkap, dan membuat segalanya mulai terasa runyam. Cover by : Pinterest.