Lima belas

53.7K 5.4K 35
                                        

-Happy Reading-

"Maaf ya lama, tadi kelasnya molor beberapa menit." Rama menarik kursi di hadapan Laras, ikut duduk menikmati kue yang sudah gadis itu pesan.

Hari ini H-1 acara keluarga Rama, dan Laras sudah bisa kembali berkuliah seperti biasa, tapi gadis itu minta dijemput di salah satu toko kue di sekitar kampus saja untuk ke rumah lelaki itu, karena kebetulan dia harus memesankan kue untuk acara keluarga nya dan sekalian membeli buah tangan untuk dibawa ke rumah Rama.

Laras menutup bukunya setelah menyadari Rama sudah sampai di hadapannya, "Nggak papa, aku sekalian me time disini."

Suasana toko kue itu memang enak sekali, tidak terlalu berisik dan adem, apalagi jam segini orang-orang masih sibuk di tempat kerja masing-masing sehingga toko seperti ini pun tidak banyak pengunjung. 

"Kemarin dua hari dirumah ga sempet sendirian ya?" Rama terkekeh mengingat keluhan-keluhan gadis itu menghadapi keponakan-keponakannya.

"Ya gimana lagi, kamarku emang selalu punya daya tarik buat krucil-krucil itu main." Bukannya tidak suka, hanya saja Laras terkadang perlu waktu sendirian tapi ada-ada saja keponakannya yang masuk kamar mengambil barang-barangnya untuk bermain.

Boneka-boneka sudah tersebar di sudut-sudut rumah, make up yang tidak seberapa harga dan jumlahnya itu pun ikut menjadi korban, ntah yang habis untuk mainan sampai yang pecah dijatuhkan, semua sudah hal biasa jika ada acara keluarga.

"Belum lagi kena omel ibu sama kakak, terus jadi bahan perbandingan sama anak tetangga." Gadis itu sudah melas sekali, Rama mengusap pucuk kepala gadis itu sambil tersenyum menenangkan.

"Nggak papa, aku tau kamu udah usaha yang terbaik."

"Iya mas, tapi tetep aja anak tetangga lebih baik." Jika dengan Rama begini Laras berani berbicara banyak hal, dia juga kadang perlu mengeluh juga sebagai manusia, begitu pula dengan Rama, tetapi kadang Laras cuma nyengir kalau lelaki itu sudah mengeluhkan problem mahasiswa.

Rama berhenti mengunyah, menatap gadis dihadapannya serius, "Nggak apa sakit, tapi yang perlu di ingat itu niatnya baik Ras, Mas tau kamu pasti paham, cuma mungkin caranya sedikit tidak menyenangkan, pola asuh mereka juga pengaruh dari pola asuh sebelumnya, tau sendiri sejauh apa perbedaannya kan?"

Rasa sakit itu wajar, emosi-emosi seperti Marah, Kecewa, Sedih yang dirasakan itu perlu di akui dan di validasi bukan untuk dipendam dan di tekan.

Laras akui dia sadar betul, generasi orang tua bahkan kakaknya tidak mengerti tentang apa itu kesehatan mental, dia tidak bisa menyalahkan mereka atas itu karena kesehatan mental baru disuarakan beberapa tahun terakhir.

"Mas tau kamu paham masalah ini." Laras mengiyakan dengan anggukan, yahhh setidaknya dia lega sudah mengeluarkan uneg-uneg nya pada Rama.

***

Rama melirik Laras dengan pandangan geli, menyadari gadis itu gugup dan terus menghembuskan nafas bahkan duduknya tidak tenang sama sekali. 

"Tenang aja, anggep aja main kayak biasanya."

Masih memainkan jari-jarinya yang tidak bisa diam, "Beda mas, ini bakal ketemu lebih banyak orang."

Sangking gugupnya, perjalanan dari toko kue ke rumah Rama tidak terasa sama sekali, gadis itu makin panas-dingin saat mobil mulai parkir di antara mobil lain di pekarangan rumah Rama, terlihat kalau didalamnya banyak orang.

"Ayo." Laras menoleh mendapati Rama mengulurkan tangannya setelah membukakan pintu mobil.

Gadis itu menyambut uluran dengan tangan dinginnya, tangannya semakin erat menggenggam sejalan mereka semakin dekat dengan pintu. 

Rama membuka pintu utama, Laras mengikuti dengan suara pelan dan senyum kecil, "Assalamualaikum." 

"Wa'alaikumsalam." Sontak saja mereka berdua menjadi pusat perhatian seluruh orang yang berada di ruang tamu yang baru saja menjawab salam mereka.

"Akhirnya ke sini juga." Mama Rani yang baru keluar dari dapur langsung meletakkan piring di meja, memeluk Laras sayang.

"Sini-sini duduk, kenalan sama yang lain," kata salah satu wanita seumuran Mama Rani di sofa.

"Laras bawa kue ma," jawabnya sebelum wanita paruh baya itu mengajaknya duduk.

"Makasih ya." Wanita itu memberikan bingkisan pada yang lain, memilih menemani Laras duduk di antara keluarga nya.

Laras melirik Rama tersenyum ke arahnya dengan masih berdiri di tempat, peka dengan perasaan Laras lelaki itu menenangkan lewat isyarat sebelum akhirnya meninggalkan ruang tamu, sementara Laras sudah di ajui beberapa pertanyaan. 

Walaupun bukan dalam satu lingkup Rama tetap memantau gadis itu dari jauh, lelaki itu duduk bersama para bapak-bapak di ruang keluarga. Tapi pada akhirnya mereka pun memutuskan bergabung di ruang tamu, berkenalan dengan Laras juga mungkin.

Gadis itu tersenyum canggung sembari menundukkan kepala sopan ketika Ayah Rama duduk di ruangan itu juga, dia tentu masih mengenali lelaki itu, Dosennya yang Rama gantikan, Pak Rahardi.

Tentu saja lelaki itu tertawa kecil melihat gerak-gerik gadis yang dibawa anaknya itu, "Nggak usah sungkan, kan saya sudah bukan dosen mu."

"Sudah siap gantiin posisi papa ya Ram? katanya nunggu kalau mau nikah," goda salah satu tante Rama yang memang dari tadi aktif berbicara.

Rama cuma tersenyum sedangkan Laras walaupun sama tersenyum-nya tapi membatin dalam hati, kalau sudah membahas sampai pernikahan apa yang harus dia jawab.

"Masih mau ngajar dulu sambil nunggu Laras lulus." Jawaban Rama memang membuat gadis itu lega, tapi juga takut dengan respon keluarga.

"Ngapain nunggu lulus? nikah sama Rama tinggal duduk manis duit bakal ngalir ke kamu dan keluarga kok Ras." Laras meringis mendengar ungkapan itu, dari tadi memang mau tak mau dia ditampar fakta tentang keluarga Rama.

Gadis itu mencoba menjawab dengan tenang, "Laras masih ada impian yang belum tercapai tan."

"Nikah sama pria kaya bukannya impianmu tah?" Ruangan yang awalnya masih ada suara lain mendadak sepi, obrolan lainnya terlupakan dengan satu pertanyaan.

Mama Rani buru-buru menjawab sambil mengelus punggung tangan Laras untuk menenangkan, "Bukan masalah uangnya Mbak, punya impian kan wajar."

Laras tertawa miris dalam hati, Laras ingin memiliki pekerjaan impiannya, bukan hanya tentang uang, tapi bagaimana dia bisa menolong orang, dan demi apapun dia tidak berfikir membuat Rama seperti bank berjalannya.

"Aku sama Laras udah punya planning kedepannya, tante gak perlu pusing masalah impian kita apa, dan gak semua orang bisa tante samain sama impian tante." Rama angkat bicara, dia tetaplah orang yang paling tau bagaimana kondisi Laras sekarang, dari banyaknya orang di sini.

Wanita paruh baya itu masih menjawab walaupun adik nya sudah melotot menatapnya, menyuruhnya untuk diam, "Menikah dengan pria kaya itu impian hampir seluruh perempuan Ram."

"Iya, tapi bukan itu esensi menikah itu sendiri tante, dan kami paham dengan prinsip kita sendiri." Jawaban penuh penekanan itu membuat orangtuanya tersenyum kecil, Rama tau harus bagaimana, dan dia tidak suka di usik cara hidupnya.

Bersambung...
Sumpah pusinh banget ngebut nulis biar bisa update sekarang, udah gak tau lagi ini kayak gimana, aku bakal usahain minimal update sekali seminggu... kalau bisa ya lebih wkwk
jangan lupa vote dan komen nyaaaaa
kalau mau follow aku juga seneng wkwk
papayy
lopyu gais

Pak Pacar [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang