----
DENGAN WAJAHNYA yang dileburkan ke bantal, June berbaring di tempat tidur, seprai dan selimut menyatu menjadi bentuk tubuhnya. Satu hari berlalu dan dia hanya berdiam diri di rumah, tidak bergerak selama sekitar lima belas menit terakhir. Keinginan untuk melakukan segala hal benar-benar tidak ada, satu-satunya hal yang berhasil dia lakukan adalah membuang napas yang terdengar ke sana-sini, berdiri sekali atau dua kali hanya untuk mengambil air, selain itu, dia bertingkah seolah-olah depresi memborgolnya di antara dinding-dinding kamar.
Dia berguling-guling, menutupi wajahnya dengan bantal, hanya untuk menarik napas dalam-dalam, menyebabkan Taehyung memutar bola matanya saat memandang gadis itu.
Taehyung sedang duduk di kamarnya, kaki panjang dan ramping terentang ke depan dengan punggung bersandar pada bingkai tempat tidur kayu. Saat itu sudah sore hari, lampu kecil di meja samping tempat tidur memancarkan beberapa sinar cahaya ke arahnya. "Bisakah kau berhenti bernapas begitu keras? Aku sedang berusaha membaca di sini, dan aku tidak bisa melakukannya saat malaikat maut terdengar bernapas di sebelahku." Dia bertanya, ujung jari menyentuh buku tua di tangannya.
Tapi June hanya menoleh ke sisi lain, mendekat ke anak laki-laki itu saat dia mengeluarkan napas lagi, kali ini desahan yang lebih keras keluar dari bibirnya.
Taehyung menggelengkan kepalanya dengan kesal, tahu bahwa dia tidak akan berhenti sampai dia memberikannya perhatian penuh. "Astaga, kau ini" Dia mengangkat kedua alisnya. "Kau seperti anak anjing, selalu saja haus perhatian setiap saat."
"Tapi 'kan anak anjing itu lucu?" Bibir gadis itu cemberut saat dia dengan cepat bangun untuk duduk, melepaskan bantal dari wajahnya yang sekarang tersenyum.
"Tidak juga." Dia mengejek, menutup buku dan meninggalkannya di samping pangkuannya. "Jika anak anjingnya terlihat seperti dirimu, maka tidak."
Belakangan ini, Taehyung lebih sering berada di rumah June daripada sebelumnya. Dia memang tinggal hanya beberapa blok dari June, meskipun begitu mereka berdua sering bergaul bahkan sejak mereka kecil, dan itu selalu di rumah June. Tanpa sadar, Taehyung selalu berakhir di kamarnya, duduk di lantai, saat mereka berdua mengobrol sampai pagi.
Bukannya June tidak menyukainya, justru sebaliknya. Dia menikmati menghabiskan waktu bersama Taehyung, karena tak satu pun dari mereka memiliki banyak teman.
"Sekarang aku patah hati." Dia berkata, menyilangkan tangannya, sekarang bertingkah seperti anak anjing sungguhan. "Lagi."
Tangan anak laki-laki meraih pelipisnya, menekannya untuk menghentikan sakit kepala yang mungkin akan datang. "Ya Tuhan, tolong jangan lagi. Berapa kali aku harus mendengarkan cerita tentang Jimin dan si Bo-doh, pacarnya?"
"Kau ini temanku!" Dia mengklaim, matanya menatap lurus ke arahnya. "Selain itu, aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk curhat, jadi tolong bantu aku dan dengarkan aku. Kau bahkan bisa berpura-pura mendengarkan, aku tidak keberatan." Mengangkat bahu, dia berdiri, berjalan menuju mejanya saat dia duduk, mengeluarkan pensil dan selembar kertas kosong.
Anak laki-laki itu mengernyitkan hidungnya, tindakan itu menyebabkan tahi lalat kecil yang berada di ujung hidung menari. "Kau ini menyebalkan, kau tahu itu?"
Tapi June tidak mendengar pertanyaan retoris itu, pikirannya terpusat pada selembar kertas yang tergeletak di depannya. Taehyung memiringkan kepalanya, ingin tahu apa yang dia lakukan. Jadi dia berdiri, kedua tangannya sekarang berada di saku celana jinsnya, kemeja putih kebesaran menutupi sosoknya. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Menggambar."
"Aku bisa melihatnya, bodoh." Dia tersenyum cerah. "Apa yang kau gambar?"
Gadis itu berhenti tiba-tiba, menatap beberapa garis yang terhubung yang ditinggalkan tangannya di atas kertas. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman lembut. "Dia."
Tapi Taehyung hanya menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Dan inilah alasannya kenapa kita berdua tidak punya teman, June."
"Kenapa?"
"Karena kau menakutkan."
Sebelum June bisa memikirkan balasan yang cerdas, suara ketukan keras di pintu mengejutkannya. Bertanya-tanya siapa yang datang pada jam ini, dan mengapa, dia berdiri dari kursi dan perlahan berjalan menuju pintu depan apartemennya.
Tok, tok
Aneh. Mengapa seseorang mengunjunginya? Apalagi selarut ini? Dia tidak punya banyak teman yang tahu di mana dia tinggal.
Coret itu.
Dia bahkan tidak punya teman. Mungkin itu ibunya, mengunjunginya? Tapi kenapa dia datang tanpa memberi tahu? Dia pasti selalu menelepon dulu, memastikan apakah boleh datang.
Sepertinya memang orang lain.
Seseorang yang tidak diundang.
Masih dengan piyamanya, June menyeret kakinya ke pintu depan dengan perlahan, sekarang memegang setiap atom keberanian yang dia miliki di sekujur tubuhnya. Bagaimana jika itu pencuri atau lebih buruk lagi, pembunuh berantai? Sial, kenapa pintunya tidak memiliki lubang intip. Tapi itu tidak mengherankan karena apartemen ini sudah tua, berkarat dan tidak ada yang berfungsi dengan baik di dalamnya. Jendelanya berderit, lampu berkedip-kedip, lalu ada bau aneh di dapur, tapi hei, setidaknya harga sewanya murah.
Bicara tentang sewa, apakah dia sudah membayarnya bulan ini?
Astaga, June. Ini bukan waktunya untuk berpikir tentang uang sewa. Ada pembunuh berantai di depan apartemenmu.
Menarik napas dalam-dalam, dia menelan benjolan besar yang seolah-olah muncul di tenggorokannya. Jantungnya berpacu dengan kecepatan luar biasa, dia meletakkan tangannya yang gemetar ke kenop pintu. Setelah memutarnya sedikit, pintu terbuka, memperlihatkan seorang anak laki-laki berdiri di depannya. Wajah yang segera dikenalinya saat dia tersenyum, matanya membentuk bulan sabit kecil.
"Bolehkah aku masuk?"
Itu adalah Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
June | PJM
Fanfiction"dia adalah separuh lainnya, tetapi terserah padanya untuk memutuskan apakah dia akan menjadi sisi yang lebih baik atau lebih buruk darinya." gadis itu memandangnya berdansa setiap malam, dalam diam. Satu yang ia tak tahu adalah, laki-laki itu menya...