Bab 11 : Belum Cukup Hebat (1)

6 5 1
                                    


"Orang hebat tidak mengakui, tapi diakui. Tidak menuruti, tapi dituruti."

.

----
Happy Reading
----

"Bunda sendirian di rumah? Tumben?" Cecil merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Ponselnya berada di antara telinga kanan dan pundak kanannya.

"Oh? Papa sakit?" Ia menggemblok kedua tali tasnya ke pundak setelah mengambil alih ponsel dengan tangannya.

"Ouh? Mungkin hidup papa emang gak bisa lama." Ia bediri diam sambil terus mendengarkan orang di seberang sana berbicara.

"Bunda gak mau ikut ke rumah sakit. Tempat itu terlalu ngebosenin. Warna putihnya cukup cantik, sih, tapi Bunda tetep gak suka."

Cecil terkekeh. "Iya, gak usah dateng ke rumah sakit. Bunda di rumah aja."

"Oh ya, Cecilia. Kamu udah tau kalau kamu punya kakak, kan?"

"Tentu. Gimana, Bunda? Cantik?" Pandangan Cecil kembali bepusat pada seorang perempuan yang duduk di barisan paling depan dekat dengan jendela yang menghadap keluar gedung sekolah.

"Cantik. Bunda suka. Anak-anak Bunda memang harus cantik."

Cecil bergumam setuju. Matanya berkilat saat melihat perempuan yang duduk di bangku depan itu mengembuskan napas lelah.

"Bunda bingung, deh. Kok, mantan istrinya masih mau nemenin papa, ya?"

"Gak usah dipikirin. Papa sama mantan istrinya udah selesai. Toh, kalo mereka masih ada hubungan, selagi papa gak ambil semua aset yang udah dikasih ke Bunda, selama itu juga Bunda gak akan rugi." Cecil tersenyum licik. "By the way, Bunda udah tau kalau aku juga harusnya punya adik tiri yang cuma beda beberapa bulan dariku, kan?"

"Bunda gak tau, tuh. Apa dia cantik?"

Tanpa sadar Cecil menggeleng. "Menurutku cantik. Tapi kayaknya Bunda bakal kurang suka, karena rambutnya pendek."

"Hmm, gitu, ya?"

"Iya. Kalo gitu ...," ucap Cecil, sengaja menggantung kalimatnya ketika melihat perempuan yang tak lain adalah Novela, mulai menggemblok tasnya dan berjalan keluar kelas. Ia melanjutkan, "Aku tutup teleponnya, ya. Bunda baik-baik di rumah. Dan untuk penyakit ... aku rasa jangan telalu beharap."

"Iya, Bunda tau itu."

Cecil menutup teleponnya. Ia tersenyum lebar sambil terus memperhatikan Novela sampai hilang dari pandangannya.

"Karena udah bikin Novela jadi kayak gitu, Cecil harap papa tidur dengan tenang aja, ya." Ia mengalihkan pandangan menatap langit dari jendela. "Tidur untuk selamanya, Om Tirta."

***

Cih.

Pulang sekolah hari ini terasa menyebalkan. Novela pikir—setidaknya—ia bisa dengan damai menikmati waktu luang selama 30 menit di ruang kesenian untuk melukis.

Nyatanya, sejak sekolah memulangkan murid-muridnya lebih cepat 30 menit dari jadwal yang sudah ditentukan, Novela disibukkan dengan pikirannya sendiri. Pikiran yang sebenarnya antara penting dan tidak penting.

Keputusan dari hal yang dipikirkannya pun didapat setelah menenangkan diri di dalam kelas dengan earphone yang menyumpal kedua lubang telinganya. Lagu Gloomy Sunday yang—entah kenapa—menjadi lagu favoritnya, menyalurkan perasaan yang cukup membuat tenang.

Without 'You'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang