Bab 18 : Lebih Berbahaya

4 4 0
                                    


"Dia yang memulai aksinya, menginginkan sesuatu yang lebih hebat."

.

----
Happy Reading
----

"Ve! Dengerin gue dulu, dong. Jangan ngehindar gini, tolong. Ve ...."

Cewek berseragam lengan panjang itu tak peduli. Rambut sebahunya yang mulai memanjang, tertiup angin saat dirinya berjalan semakin cepat. Cowok dengan seragam berantakan itu tetap mengejar di belakang, berusaha membujuk agar mau berbicara dengannya.

"Ve, gue mohon ...." Theo memelas.

Novela tetap keras kepala. Ia masuk ke dalam toilet dan menutup pintunya dengan cepat. Butuh waktu lebih lama untuk menerima semua situasi yang menimpanya saat ini. Turun dari posisi sebagai murid dengan nilai terbaik bukanlah hal yang ada dalam kamus hidupnya.

Dia butuh waktu untuk berpikir.

"Ve ... gue minta maaf."

Novela menghela napas jengah. Theo yang dulu jarang sekali meminta maaf, akhir-akhir ini jadi sering mengucapkan kata tak berarti itu—setidaknya bagi Novela.

Memangnya apa yang bisa diperbuat oleh kata 'maaf'? Menunjukkan bahwa orang itu bersalah? Tapi, apa orang itu benar-benar merasa bersalah?

Siapapun bisa mengucapkan kata maaf itu seperti menelan ludah.

Tapi Novela memang membutuhkan kalimat maaf dari orang lain. Dia membutuhkan kata maaf itu meski ia menganggapnya tak berarti. Dia butuh, agar dia tahu bahwa kehidupannya saat ini bukanlah kesalahannya. Bahwa kehidupannya ini dicampuri oleh perbuatan jahat orang lain. Bahwa semua rasa sakit yang diterimanya bukan karena dia pantas menerimanya.

"Gue yakin ada kesalahan, Ve. Gue yakin sebenernya lo yang ada di posisi pertama. Vela, ayo ke ruang kepala sekolah buat cek nilai kita. Gue yakin nilai lo pasti jauh lebih tinggi dari gue. Ve?"

Meski terhalang oleh pintu, Novela seolah bisa melihat wajah Theo yang bersedih. Wajah tampan dengan mata tajam yang selalu menyorot teduh padanya. Bibir berwarna pucat yang selalu membentuk kurva manis saat melihatnya. Rambut berantakan yang membuatnya gemas untuk mengacak-acaknya. Theo selalu semanis itu di mata Novela. Tapi, rasa kalah ini membuatnya ingin menjauh dari pemuda yang selalu mempercayainya.

"Kalo lo gak mau, biar gue aja yang ke ruang kepsek. Tapi, please, Ve ... ayo bicara sama gue dulu. Jangan menjauh dari gue. Jangan ngehindar atau benci gue. Lebih baik lo marah aja. Marah ke gue sepuas lo. Gue bakal terima semuanya. Ya?"

Novela membuka pintunya. Ia mendorong pelan Theo agar mundur beberapa langkah.

"Apa yang lo harapin dari gue, sih, Yo? Hm?" Nada bicaranya dingin. Sorot matanya datar. "Lo berharap gue bakal senyum lebar sampe mata gue menyipit? Kayak dulu?"

"Gue cuma berharap lo baik-baik aja, Ve."

"Dan 'baik-baik aja' versi lo itu gimana?" Sorot mata itu berubah tajam. "Selalu senyum dengan ramah, ngomong dengan nada bersahabat, dan atau sabar dengan semua hal? Lo serius? Idiot banget."

"Nggak, Vela! Gue gak mikir gitu—"

"Gue sedikit nyesel karena gak mau menjauh disaat nyokap nyuruh gue menjauh dari lo."

Theo tertegun.

"Mulai sekarang, jangan ikutin gue. Berhenti ngelakuin hal semacam ini lagi, karena gue gak bakal peduli sama kelakuan lo selagi gak ngusik gue. Gue masih bisa hidup walau tanpa lo." Novela tersenyum sarkas. "Percaya gue, kan?"

Without 'You'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang