"Selama waktu masih berputar, selama itu pula tidak ada yang namanya akhir.".
"Biar gue mengambil kutipan dari Marilyn Monroe. 'Aku egois, tidak sabar dan sedikit tidak aman. Aku membuat kesalahan, aku lepas kendali dan kadang-kadang sulit untuk ditangani. Tapi jika kamu tidak bisa menangani aku pada saat terburukku, maka kamu yakin sekali tidak layak menerima aku pada saat yang terbaik.'"
Wanita berumur 20 tahun, tinggi 172 cm, kulit putih, rambut coklat tua sepinggang, memakai setelan baju tidur bercelana panjang, dan sumpah demi apapun, ia baru bangun dari tidurnya dan belum cuci muka atau sikat gigi sama sekali.
Entah ide konyol dari mana, pria di hadapannya ini—sedang berlutut dengan cincin berlian yang di-desain sangat sederhana di dalam kotak beludru berwarna biru navy yang terbuka di tangan kanannya—datang ke kamarnya dan meminta untuk bertunangan dengannya.
Agatha Valerie, cucu pertama keluarga Valerio, penerus bisnis keluarga selanjutnya, menguap dengan lebar tanpa mempedulikan keluarga besar yang sedang melihatnya.
"Jadi ... gimana, Tha?" Dean Dwi Bagaskara, kekasihnya sejak tahun terakhir SMA, tersenyum cemas.
Agatha berkacak pinggang. "Kok, gimana? Gue sampe ngutip pekataan Marilyn Monroe, loh!"
Masih dengan posisinya, Dean bertanya tak paham. "Anu, gue gak paham."
"Hiih! Maksudnya, lo sanggup, gak, ngadepin sikap gue yang jelek-jelek? Lo sanggup, gak, nerima gue di saat terburuk gue?"
Dean tersenyum tulus. "Gue sanggup terima semua sisi dari diri lo, Tha."
Agatha mendengkus. "Ya, udah. Pakein cincinnya!"
"Lo ...."
"Kenapa?" Agatha tersenyum. "Status kita sekarang tunangan."
***
Hm.
Gadis berponi itu mengerutkan keningnya. Ia memperhatikan pemuda yang sedang tidur bersandar pada pohon rindang di hadapannya ini.
"Naka." Gadis itu berbisik ditelinga si pemuda.
Cara itu ternyata jitu. Pemuda bernama Naka, berdarah Indonesia-Jepang, dengan rambut panjang yang dikuncir turun, sedikit menggeliat dan akhirnya membuka matanya.
"Semalem begadang main game lagi, ya!"
Naka mendengkus. Ia berdiri, lalu membekap kepala gadis itu dengan erat.
"Lo bisa sehari aja gak gangguin gue, ha?!" omel Naka.
"Gak mau! Abisan Naka susah banget, sih, dijadiin pacar!" Gadis itu mengerucutkan bibirnya.
Naka memutar bola matanya malas.
"LANA!" Seorang pria dari kejauhan berteriak memanggil nama gadis berponi itu.
Naka mengernyit. "Siapa?"
"Kakak tingkat gue di jurusan Sastra Indonesia. Cakep tau, ramah banget lagi. Bentar, gue samperin dia dulu—eh?"
Baru selangkah Lana ingin pergi, Naka sudah menariknya ke arah lain.
"Gak usah ketemua dia. Paling cuma mau modus doang," cibir Naka.
Senyum jahil terbit di wajah Lana. "Cemburu lo sama dia? Ngaku lo!!"
Naka mendelik. "Apaan?! Nggak!"
"Ngaku!"
"Ngapain?!"
"Ngaku lo gak suka gue deket-deket cowok lain!"
"BODO AMAT!" Naka memilih jalan duluan meninggalkan Lana yang tertawa puas di belakangnya.
***
Keluarga Van Regardo adalah salah satu keluarga bepengaruh yang telah diakui kekayaan dan kekuasaannya.
Namun, siapa sangka bahwa cowok yang semasa SMA-nya menjadi berandal tukang bolos adalah keturunan pertama keluarga tersebut.
Theodore Aksa Van Regardo.
Saat ini, pemuda itu berdiri di depan gerbang rumah berlantai 3 yang memiliki pekarangan luas. Banyak kamera yang menyorotnya, serta orang-orang yang belalu lalang menyempatkan waktu mereka untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Sadar atau tidak, kekerasan pada anak sering terjadi di lingkungan masyarakat kita." Theo memulai kalimatnya dengan penuh wibawa.
Semua mendengarkan dan banyak yang merekamnya.
"Kekerasan pada anak dan remaja bukanlah hal sepele yang pantas untuk dipandang remeh. Mereka membutuhkan lingkungan dan ajaran yang baik demi pertumbuhan karakter dan kesehatan mental mereka. Tidak ada seorang anak yang pantas mendapatkan kekerasan."
Theo berhenti sejenak. Ia menggigit bagian dalam bibirnya. Benar. Tidak ada seorang anak yang pantas mendapat kekerasan. Termasuk kamu, Ve.
Pemuda itu menghela napas tipis dan melanjutkan, "Saya, Theodore Aksa Van Regardo, dengan ini meresmikan tempat yang saya bangun untuk menampung anak-anak yang butuh perlindungan."
Theo memotong tali pita di hadapannya. "Rumah Bahagia resmi beroperasi mulai sekarang."
Pemuda itu membuka gerbang dan masuk ke pekarangan rumah diikuti yang lain. Ia tersenyum melihat anak-anak yang bisa leluasa tersenyum dan melakukan apa yang mereka mau.
Theo mendongak, menatap langit cerah yang berawan.
"Lulus sekolah, gue berharap bisa bangun sebuah tempat untuk menampung anak-anak yang butuh pertolongan."
"Kalo gitu, ayo kita buat! Mau lokasih nama apa, Ve?"
"Rumah Bahagia."
Theo merasakan nyeri di sudut hatinya. Ia tersenyum manis saat seorang anak berusia 5 tahun memegang kakinya. Theo menggendong anak itu dan mengelus kepalanya hati-hati.
Hey, Ve. Saya harap kamu bahagia di sana.
"Kak Theo!!" Anak-anak berseru sambil mengerumuninya, membuat Theo terkekeh.
Kamu gak perlu khawatir. Saya dan yang lain baik-baik saja. Kamu yang tenang di sana.
"Makasih Kak Theo!!" seru anak-anak itu dengan bahagia.
Lihat? Saya sudah cukup bisa mengikhlaskan kamu dan mencari kebahagiaan saya. Saya akan mengabdikan diri untuk tempat dan anak-anak ini.
"Sama-sama. Ayo masuk, udah waktunya jam makan siang."
Saya cinta kamu Novela. Selalu.
~TAMAT~
Terima kasih sebanyak-banyaknya untuk kalian yang sudah membaca cerita saya ini sampai akhir. Rasanya luar biasa senang karena untuk pertama kalinya (bacanya di dramatisir yaa, hehe), untuk pertama kalinya saya bisa menamatkan karya yang saya mulai sendiri.
Semoga ke depannya, saya bisa menamatkan banyak karya yang mengandung banyak moral juga pelajaran.
Terima kasih sekali lagi ^-^
KAMU SEDANG MEMBACA
Without 'You'
Teen Fiction[15+] Kehidupan Novela dan Agatha sudah dibuat menderita sejak kecil oleh ibu kandungnya sendiri. Mereka yang selalu dibandingkan, hidup dengan membenci satu sama lain. Perceraian orang tua. Kematian Deon. Kematian ayah mereka. Masalah datang bertub...