Bab 10 : Ayah Sakit

8 5 6
                                    


"Tidak ada yang mengerti, bagaimana perasaan benci ini harus ditekan dalam-dalam demi menuruti orang yang kau sayangi."

.

----
Happy Reading
----


Butuh waktu 5 detik untuk Theo menyadari bahwa pasti ada yang terjadi setelah 10 menit berlalu, tapi, seseorang yang ditunggu kehadirannya belum juga tertangkap oleh matanya. Dan tentu saja itu bukanlah hal yang dapat membuat Theo tetap duduk diam dan tenang.

"Theo! Lo mau kemana, anj*ng?! Pesawat kertasnya buang-buangin ke tong sampah dulu! Yang bikin gue nyesel banget jadi ketua kelas itu cuma karena lo—THEO! WOY! SETAN! MATI LO SERIGALA SIALAN!"

Ketua kelas XI MIPA 4 itu mengerang frustasi. Rambut panjangnya kusut karena ia jambak demi menahan kekesalan setiap kali menghadapi berandal satu itu.

"ARGGHH! THEO ANJ*NG BUKAN SERIGALA LAGI DIA!"

"Lo kenapa, Ka?" Seorang perempuan yang merupakan wakil ketua kelas itu menepuk pundak ketua kelasnya.

Naka—si ketua kelas—merapihkan kembali rambut sebahunya, lalu berdeham. "Liat aja, bakal gue bales deh, nanti."

Lana—wakil ketua kelas—tentu tahu siapa yang sudah membuat Naka menjadi seperti ini. Ia tersenyum manis dan merapihkan rambut Naka. "Jangan sengaja dibikin berantakan, nanti makin banyak cewek yang suka sama lo. Kalo udah gitu, gue makin susah dapetin lo. Paham, kan, Ka?"

Hanya hembusan napas lelah yang diberikan Naka. "Gak penting, tau, gak?" Setelah itu, ia duduk di kursinya dan meletakkan kepalanya ke atas meja.

Dengan begitu Lana akan tahu, bahwa saat ini Naka tak ingin diganggu oleh dirinya dan perasaan bernama "cinta" yang tak jelas itu.

***

Terdiam.

Apa yang harus Theo lakukan saat melihat sahabatnya diam terpaku dengan kepala menunduk dan tangan yang terkulai lemah di sisi tubuhnya?

Seorang Novela menundukkan kepala di tempat banyak orang yang dapat melihatnya—tidak, apakah itu benar Novela?

Melihat Agatha dan Dean yang melangkah menjauh setelah berbicara—Theo tak tahu apa yang dibicarakan, tapi Theo yakin bahwa apapun itu, pasti ... telah berhasil memukul dada Novela.

"Ve—" Rasanya seperti dicekik. Suara Theo tak mau keluar.

Ketika ia memilih untuk kembali melangkah mendekati seseorang yang membuatnya kembali menjadi hidup, setiap sel di tubuhnya mengirim rasa sakit. Semua mengarah ke jantung. Ke hati. Setiap langkahnya mengetuk lantai, rasa sakit itu bergetar. Menyengat.

Dan rasa sakit itu semakin kuat saat gadis dengan rambut tipis sebahunya itu kembali mengangkat wajah penuh percaya diri. Wajah cantik itu mengarah pada Theo, membuatnya tercekat dengan jantung berdetak lebih cepat.

Sebuah senyuman lebar terukir dari bibirnya yang pucat. Mata sayunya menyipit secara alami. Seolah sudah terbiasa. Seolah sudah menjadi kewajibannya. Menutupi segalanya terasa bukanlah hal sulit lagi untuk dilakukan Novela.

"Gue baik-baik aja, Yo."

Dan seolah Theo juga sudah terbiasa. Seolah itu juga sudah menjadi kewajibannya.

Jadi, ketika kalimat yang terucap setelah senyuman itu terbit dan masuk ke gendang telinga, yang bisa Theo lakukan hanya percaya—

"Lo percaya gue, kan, Yo?"

"Selalu, Ve."

—karena Theo hadir untuk itu. Karena Theo hadir untuk selalu memercayai gadis itu. Karena Theo hadir untuk selalu memihak gadis itu. Karena sejatinya Theo tahu, bahwa dirinya masih merupakan orang baru di hidup sahabatnya itu.

Without 'You'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang